CrispyVeritas

Emil Salim: Indonesia Harus Prioritaskan Pembangunan Kader

Karena kepemimpinan dan regenerasi bukanlah hal yang instan, Prof Emil tidak percaya bahwa hal-hal yang bersifat top down dan kebijakan sesaat bisa membangun regenerasi yang baik.  

JERNIH– Keprihatinan akan regenerasi dan estafeta kepemimpinan kembali mengemuka. Kali ini disuarakan ‘Guru Bangsa’ Prof Emil Salim, yang sekian lama membaktikan diri dalam pendidikan dan sektor lingkungan negeri ini. Prof Emil melihat generasi muda millennial masih kurang berani mengambil kesempatan, selain mereka juga terkesan miskin imajinasi.

Pernyataan tersebut dilontarkan Prof Emil Salim dalam wawancara dengan Jernih.co dan Jurnal Populer Pemikiran Ekonomi Islam, Kasyaf, yang dilakukan beberapa waktu lalu di kediaman beliau, di Komplek Taman Patra Kuningan, Jakarta.  

Tentu saja, menurut Emil, dirinya tidak menafikan munculnya beberapa kalangan muda yang kreatif dan menonjol. Tetapi ia mengaku masih menyaksikan kecenderungan besar kaum milenial yang tak mau segera berperan serta dan menentukan pijakan untuk berkontribusi memajukan Indonesia.

“Saya percaya, pemimpin itu tak bisa dikarbit,” kata Prof Emil. “Kalau seseorang dikarbit karena berjasa atau memberikan hal-hal material kepada seseorang, dia akan menjadi pemimpin yang gagal, karena tak punya watak.” Watak itulah, menurut Prof Emil, yang membedakan seorang pemimpin dengan umumnya tipe manusia yang dipimpin.  

Karena kepemimpinan dan regenerasi bukanlah hal yang instan, Prof Emil tidak percaya bahwa hal-hal yang bersifat top down dan kebijakan sesaat bisa membangun regenerasi yang baik.  

“Pembangunan dan pengembangan kader atau kader vorming itu bersifat budaya, bukan kreasi maklumat. Bukan kreasi Kepres, misalnya. Kebudayaan itu living entity yang hidup dalam masyarakat tersebut. Jadi kita harus menumbuhkan suasana yang memungkinkan tumbuhnya para pemimpin di masyarakat,” kata Prof Emil.

Di masa lalu, kata Prof Emil, partai politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang melakukan fungsi tersebut. Karena itu tidak heran bila para founding fathers negeri ini sejak muda telah terbiasa untuk berpikir jauh ke depan. “Mereka visioner, berpikir ke depan, dan tak pernah hanya mengutak-atik hari ini.”

Namun, ketika partai politik dan ormas gagal melakukan pembangunan kader—kalau bahkan tidak melakukannya sama sekali, hasilnya memang terlihat sebagaimana kita saksikan hari ini. “Anak-anak muda takut mengambil peran untuk hal-hal besar, dan justru mengesankan masih memelihara sifat-sifat kolot di abad 21 ini,” kata Prof Emil.

Ia percaya, anak-anak muda sebaiknya tidak bergantung kepada system, namun justru mengubah dan memperbaiki system. “Kalau kita tua dan hidup dalam dan dari sistem, maka kita tak akan pernah menjadi unsur pengubah. Tak akan pernah menjadi agent of change.” Kata Prof Emil. “Jadi kalau yang muda pun bersifat tunduk pada sistem, matilah dia. Dia sudah jadi tua sebelum seharusnya.”

Untuk itu kata Prof Emil, dirinya ingin sekali memberikan semangat kepada milenial tersebut. “Kalian itu entitas independen. Anda yang tentukan diri dan tentukan Indonesia masa depan. Bukan para orang tua!” Saat berkata seperti itu, tak terlihat bahwa orang yang berjasa menumbuhkan iklim berkembangnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu telah berusia 90 tahun!

Namun Prof Emil menyadari bahwa semua itu membutuhkan kesadaran dari para anak muda sendiri untuk terus belajar. Dengan keinginan kuat untuk terus belajar, kata dia, otak akan hidup dan senantiasa siap memberikan karya. “Jadi, sebenarnya tinggal memilih saja, atau use your brain or lose your brain,” kata mantan menteri beberapa kali dalam Kabinet Pembangunan tersebut. [ ]

Back to top button