Crispy

In Memoriam Jakob Oetama, Bung Yakin Ingin Jadi Wartawan?

Jakarta – Palmerah Selatan, tahun 1995, gedung unit II, bertempat di ruang serba guna, sekitar 15 wartawan muda duduk rapi menanti Jakob Oetama. Meski bukan dari unit Harian Kompas, tetapi ketika berada dalam sebuah pelatihan jurnalistik dan bertemu orang nomor satu di Kompas, maka perasaan sebagai jurnalis itu sudah membanggakan.

Di kelompok Kompas Gramedia, kala itu, khususnya dari kelompok harian maupun kelompok majalah selalu digelar pelatihan dasar jurnalistik. Saban tahun hanya satu kali. Pembicaranya jelas qualified, para jurnalis sangat senior. Salah satu di antaranya Atmakusumah Astraatmadja.

Jakob Oetama diberi waktu membuka. Anak-anak KG memanggilnya “Pak”, Pak Jakob Oetama. Di KG hanya ada dua orang yang dipanggil “Pak”, yaitu P.K Ojong dan Jakob Oetama. Sisanya disapa “Mas” atau “Mbak”, meskipun selisih usia antara yang memanggil dan yang dipanggil ibarat anak dan bapak.

Entah mengapa. Tetapi tampaknya lebih kepada sebuah penghormatan kepada sang founding fathers.

Pak Jakob memulai sapa pagi itu dengan mencek daftar absen. Seperti seorang guru saja. Lalu dengan canda yang biasanya ia ikuti dengan tertawa sendiri, ia bertanya, “Kok tidak ada yang lulusan jurnalistik?”

Terperanjat anak-anak muda itu sembari sama-sama senyum simpul. Maklum, para pemuda-pemudi ini multijurusan dan non-jurnalistik. Untuk sampai ke kelas pelatihan ini jelas tak gampang. Mereka melalui persaingan, ada tes bidang, tes psiko, dan tes kesehatan. Lalu masih pula ditambah tes kerja selama beberapa bulan.

Dengan pertanyaan Pak Jakob itu, apakah kemudian mereka salah pekerjaan? Salah tempat?

Tetapi tampaknya tidak. Pak Jakob tersenyum lagi. Kemudian bertuturlah ia. Tentang dunia jurnalistik, tentang etika jurnalisme, tentang sosok jurnalis. Sampai pada satu kata “wawasan”.

Wawasan yang terasah yang harus terus diperkaya adalah “modal” utama seorang wartawan. Wawasan tidak boleh sempit, harus terbuka pada apa saja. Sepanjang hamir 30 menit Pak Jakob yang enerjik kala itu sebenarnya tengah pula memberikan wawasan pada anak-anak muda ini yang bahkan ada pula yang baru kenal apa itu pekerjaan menjadi wartawan.

Salah satu anak muda itu kena “tembak” pak Jakob. “Bung, yakin ingin jadi wartawan?”

Berbekal sepenangkapan wawasan tentang kewartawanan yang baru berdurasi 30 menit itu membuatnya berkata, “Yakin!”. Meskipun argumentasinya terlalu normatif dan cenderung idealis.

Pak Jakob mengulas senyum. Entah apa yang ada di benaknya. Toh yang ia hadapi hanyalah anak-anak bawang yang baru benar kemarin sore mengalungi kartu pers, yang bisa saja karena terpaan zaman lalu mengelupas janjinya itu. Untuk kemudian menggantungkan kartu pers bertulis media masing-masing itu di lemari buku,  berhijrah ke profesi lain.

“Bekerja itu ibadah.” Frase ini dilontarkan mendekati akhir sambutannya. Lumayan bikin terperangah. Sebab, bagi anak-anak itu bekerja (apalagi baru dapat pekerjaan) jelas tak terkait dengan istilah ibadah. Bekerja adalah proses berlanjutnya hidup usai menuntaskan kuliah. Bekerja adalah saatnya mendapatkan uang untuk bisa membeli ini-itu. Bekerja adalah sebuah kebanggaan dalam konteks sosial ekonomi.

Bekerja adalah ibadah membukakan hati sekali. Sebab ibadah maknanya sangat luas dengan dimensi positif yang beragam. Pak Jakob tidak merinci pengertian dari frase yang diucapkannya itu. Seperti biasa, untuk mecari maknanya silakan cari sendiri, pahami sendiri. Suatu kali kelak, kita akan menemukan kebenarannya.

Seiring proses pekerjaan menjadi jurnalis itu berlangsung, ternyata begitu banyak risiko yang dihadapi. Sekalipun berhadapan dengan maut. Dan, dua jurnalis media aviasi dari grup majalah meninggal dalam tugas. Maut yang menuntaskan keibadahan kedua awak media ini.

Pak Jakob yang sudah mulai terlihat kecapekan, tak bisa menyimpan kesedihan itu. Gugur dalam tugas, katanya. Ia duduk mendampingi keluarga almarhum jurnalis itu, setia menemani dan memimpin upacara pelepasan jenazah.

Perjalanan tugas jurnalis berlanjut terus. Tetapi tampaknya penjualan media cetak lamat-lamat mulai tergerus. Berbagai jurus dilakukan untuk memulihkan, paling tidak menjaga kondisi bisnis dan keuangannya. Bahkan jurnalis yang sudah pada senior pun harus ikut memikirkan bagaimana proses bisnis sebuah media terus jalan dan ngebul dapurnya.

Lama tak bersua, pada sebuah pertemuan Pak Jakob hadir menemui. Usianya kian senja. Jalannya tertatih, tetapi terlihat bibirnya terus mengulas senyum. Anak muda yang hampir 20 tahun silam itu pernah ditanya soal keyakinan pekerjaan yang akan memenuhi perjalanan ibadahnya, lalu bertanya, “Saya sejak awal belajar jurnalistik, saya hanya ingin belajar itu saja. Tetapi mengapa saya harus berbisnis pula?”

Tenang sekali Pak Jakob menjawab, “Sebab kita berada di institusi bisnis.”

Apakah ini perspektif baru yang dipahami seorang Jakob Oetama?

Tidak. Hanya dulu, anak-anak yang sudah jadi jurnalis senior ini membawa semangat dan idealismenya masing-masing. Targetnya memburu berita, mengolahnya menjadi sebuah produk jurnalistik, menyajikannya, dan mempertanggungjawabkan kepada pembacanya, audiensnya.

Di balik semua keprofesionalitasan yang ditempa lewat setiap ucapan Jakob Oetama ada peran lain yang diam-diam ia suntikkan. Apa itu? Manajerial, proses bisnis, dan segala tetek bengek berkaitan dengan menegakkan bendera perusahaan.

Loyalitas tak cukup ditunjukkan dengan bekerja standar. Harus ada produktivitas mengikutinya. Kalau produktif artinya akan lebih banyak karya-karya kreatif yang bisa disodorkan kepada internal maupun stakeholder.

Ah, itu rupanya yang dimaksud sang guru. Semakin hari kepintaran kita semakin bertambah, tetapi kita tidak cukup hanya bekerja in the box, harus out of the box.

Pak Jakob tidak pernah membuaikan, meski sekali-kali anak-anak itu senangnya minta ampun, karena pada suatu kali HUT setiap orang mendapat kejutan sekali take home pay. Ini sekadar wujud dari syukur.

Dan, kelanjutan dari “Bekerja itu Ibadah” rupanya ada lagi sandingannya setelah Anda menemukan nikmatnya keibadahan itu. Apa? “Bersyukur”.

Terima kasih sang guru…..(*)

Back to top button