Crispy

Junta Militer Myanmar Malah Bebaskan Biksu Penjagal, Wirathu

Pertalian antara organisasi radikal kanan dan militer sudah terjalin jauh sebelum kudeta 1 Februari 2021. Jendral Min sendiri pernah mendonasikan uang secara langsung kepada Ashin Wirathu, seperti dilaporkan The Irrawaddy. Pada 2019, sekelompok perwira tinggi Tatmadaw menyerahkan uang donasi kepada Ma Ba Tha senilai hampir 20 ribu dolar AS.

JERNIH—Tanpa diadili, sepuluh bulan setelah ditahan atas dakwaan hasutan publik, atau sejak Selasa (7/9) lalu, biksu ‘teror’ Ashin Wirathu dibebaskan junta militer Myanmar. Majalah Times pada 2013 menjuluki biksu yang tega memerintahkan penjagalan terhadap ratusan Muslim Rohingya itu sebagai “wajah teror Buddhisme”.  

“Kasusnya ditutup dan dia dibebaskan sore ini. Tapi meskipun Wirathu sudah bebas, dia masih menjalani perawatan kesehatan di rumah sakit Tatmadaw,” kata Mayor Jendal Zaw Min Tun, juru bicara militer Myanmar, seperti dilansir harian People Media.

Bebasnya bhikkhu radikal di tengah pemberontakan oposisi anti-militer ditanggapi positif para pendukungnya. “Kami menyambut pembebasannya,”ujar Par Mount Kha, seorang bhikkhu cum aktivis Buddha nasionalis, yang juga berteman dekat dengan Wirathu.

Wirathu ditahan sejak November 2020 setelah divonis bersalah “menghasut kebencian” dan “menyulut ketidakpuasan terhadap” pemerintah. Butir dakwaan terhadapnya turut mencantumkan hinaan kasar terhadap pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi.

Wirathu dikenal banyak menghasut kebencian terhadap minoritas Rohingya, yang menurutnya mengancam etnis mayoritas, Bamar. Akibat aksinya itulah dia mendapat julukan “bin Ladin” oleh majalah Time. Kelompok pendukung Wirathu sejak lama bersitegang dengan pemerintahan demokratis Myanmar.

Salah seorang bhikkhu radikal lain, Parmaukkha, menuduh NLD mendiamkan “islamisasi” lewat minoritas Rohingya, serta bertanggung jawab atas “kepunahan agama kami, etnisitas, dan seisi negeri,” katanya.

Wirathu sendiri mencerminkan perpecahan di kalangan pemuka agama Buddha di Myanmar.  Ketika ribuan bhikkhu mengawali “revolusi safran” melawan junta pada 2007, dan sebabnya menjadi sasaran persekusi, sekelompok kecil lain mengorganisasi diri di bawah bendera Ma Ba Tha atau Aliansi Patriotik Myanmar.

Organisasi ini dibentuk pada 2013 dengan misi melindungi “ras dan agama” mayoritas etnis Bamar. Mereka meyakini, kekuatan militer adalah satu-satunya cara meredam “islamisasi” di lembah Irrawaddy.

“Mereka yang mampu berpikir jauh ke depan tidak akan melawan pemerintah yang sekarang,” kata Parmaukkha, membela aksi kudeta Jendral Min Aung Hlaing (Jenderal Mimin), kepada AFP. Dia menyalahkan media atas tewasnya ratusan warga sipil, karena dianggap menghasut kekerasan.

Ma Ba Tha kini berganti nama menjadi Yayasan Buddha Dhamma Parahita sejak dilarang oleh pemerintah demokratis Myanmar pada 2017. 

Pertalian antara organisasi radikal kanan dan militer sudah terjalin jauh sebelum kudeta 1 Februari 2021. Jendral Min sendiri pernah mendonasikan uang secara langsung kepada Wirathu, lapor harian berbahasa Inggris Myanmar, The Irrawaddy.

Pada 2019, sekelompok perwira tinggi Tatmadaw menyerahkan uang donasi kepada Ma Ba Tha senilai hampir USD 20.000.

Ketika ditanya, Juru Bicara Militer, Zaw Min Tun, berdalih dana sumbangan itu tidak digunakan untuk sesuatu yang merugikan. “Kami tidak punya niatan apapun,” kilahnya kepada The Irrawaddy, “Kami hanya mendukung apa pun yang kami anggap perlu.” [Deutsche Welle/ The Irrawaddy]

Back to top button