Crispy

Militer Kudeta Aung San Suu Kyi: Akhirnya Sang Madam Sekadar Pion

Menurut Bertil Lintner di Asia Times, akan lebih tepat jika menyebut Suu Kyi sebagai “pemimpin nominal Myanmar”, karena pemimpin de facto bangsa yang sebenarnya adalah panglima militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

JERNIH–Dengan tank berseliwerian di jalan-jalan Yangon, meningkatnya ketegangan politik di ibu kota Myanmar, Naypyitaw, dan para elit bersinyinyir soal dugaan penyimpangan pada pemilu November lalu, beredar spekulasi Myanmar mungkin kembali berada di ambang kudeta militer.

Asia Times melaporkan, Panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing baru-baru ini mengatakan, kudeta tidak dapat dikesampingkan. Tidaklah sulit bagi militer untuk membuat krisis yang memungkinkannya untuk mengambil alih kekuasaan secara legal di bawah ketentuan keamanan nasional dalam konstitusi.

Tidak jelas apa yang mendorong keributan militer terbaru ini, meskipun beberapa berspekulasi menyatakan hal itu dapat berakar pada kekhawatiran, Partai National League for Democracy (NLD) milik Aung San Suu Kyi mungkin akan segera berusaha untuk memangkas kekuatan militer setelah kemenangan pemilu yang gemilang pada November lalu.

Yang jelas, rumor spekulatif yang selalu berputar dengan teori konspirasi, sekarang menyebar dengan liar menjelang pengambilan sumpah resmi pemerintahan baru yang dipimpin NLD, catat Asia Times. Satu teori konspirasi mengatakan, militer akan bergerak sebelum sidang pertama parlemen baru yang dijadwalkan pada 1 Februari.

Banyak yang mengangkat kejadian paralel pada awal Maret 1962, ketika militer pertama kali merebut kekuasaan dan menggerakkan beberapa dekade pemerintahan militer yang tidak terputus. Pada saat itu, tank memasuki Yangon dan mengepung gedung-gedung penting. Sementara tentara menahan Perdana Menteri U Nu, menteri, dan pemimpin etnis yang berkumpul untuk membahas masalah konstitusional.

Tidak ada oposisi langsung dari luar terhadap kudeta itu karena sebagian besar pihak yakin militer hanya merebut kekuasaan untuk sementara. Ternyata tidak demikian. Ketika para mahasiswa akhirnya berdemonstrasi di akhir tahun itu, diktator Jenderal Ne Win mengirim pasukan untuk menembak jatuh para demonstran dan meledakkan gedung serikat mahasiswa yang bersejarah.

Namun, masih belum jelas apakah sejarah akan terulang. Pada 1962, tank meluncur ke Yangon pada tengah malam tanpa terlihat oleh kebanyakan orang dan hanya beberapa jam sebelum militer mengumumkan, mereka telah merebut kekuasaan. Saat itu militer juga bukan institusi terkuat negara seperti yang ada saat ini di bawah ketentuan konstitusi yang dirancang dan disahkan di bawah pengawasan militer.

Ketentuan itu memberi para petinggi Myanmar hak untuk memveto upaya apa pun yang akan mengubah struktur kekuasaan yang dijamin konstitusi negara itu, di mana para jenderal berada di puncak dengan penunjukan pemegang kekuasaan de facto veto di parlemen dan kendali tiga kementerian terpenting, yaitu urusan pertahanan, dalam negeri, dan perbatasan.

Sementara Suu Kyi, yang baru saja memenangkan pemilu kedua, sering disebut sebagai “pemimpin de facto” negara itu. Ia menjabat sebagai penasihat negara, setingkat di bawah pangkat presiden. Namun, menurut Bertil Lintner di Asia Times, akan lebih tepat jika menyebut Suu Kyi sebagai “pemimpin nominal Myanmar”, karena pemimpin de facto bangsa yang sebenarnya adalah panglima militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Lintner berpendapat, sebagai institusi paling kuat di negara itu, tidak masuk akal bagi militer untuk melakukan kudeta yang akan mempertaruhkan kecaman internasional dan berpotensi memicu kerusuhan di jalanan. Tidak seperti tahun 1962, warga Myanmar tidak akan menunggu berbulan-bulan untuk berdemonstrasi menentang penangguhan demokrasi kali ini.

Menurut salah satu sumber di Yangon: “Sebagian besar warga sipil telah mengekspresikan keinginan mereka untuk turun ke jalan jika ada kudeta.”

Simbolisme militer versus demokrasi sempat terjadi pada 1988, ketika orang-orang bangkit melawan kediktatoran militer yang berkuasa pada Agustus dan September tahun itu.

Terlepas dari tuduhan kecurangan pemilu, tidak ada yang dapat menyangkal, NLD mencetak kemenangan telak pada November, merebut 396 dari 498 kursi yang diperebutkan di kedua kamar parlemen.

Pemilu Myanmar

Militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, memiliki 56 orang yang diangkat di majelis tinggi dan 110 di majelis rendah, cukup untuk menghalangi setiap mosi untuk perubahan konstitusi. Namun legitimasi demokratis mereka kurang: Partai USDP (Union Solidarity and Development Party) yang didukung militer mencetak tujuh kursi di majelis tinggi dan 26 di majelis rendah, dengan total 33 anggota parlemen.

Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Myanmar pada 28 Januari, “Baik individu maupun organisasi tidak dapat mengubah keinginan pemilih di luar hukum, dan tidak ada kecurangan dalam pemilu karena lemahnya daftar pemilih.” Militer dilaporkan telah meminta Suu Kyi untuk membubarkan Komisi Pemilihan Umum, namun dia tolak.

Bertil Lintner berargumen, ada kemungkinan militer bosan mendukung USDP yang terus menerus kalah dalam pemilu. Pada 1990, militer mendukung Partai NUP (National Unity Party), nama baru untuk Burma Socialist Program Party dan sebelumnya satu-satunya partai politik yang diizinkan secara resmi di Myanmar hingga pemberontakan 1988. Itu mengarah pada diperkenalkannya sistem politik multi-partai tanpa merusak kekuatan militer.

NLD mencetak kemenangan telak pada pemungutan suara 1990, yang disajikan untuk mengisi parlemen. Tetapi junta militer yang berkuasa saat itu menggeser tiang gawang. Parlemen tidak pernah bersidang sementara hanya sebagian kecil dari anggota parlemen terpilih terdaftar dalam proses perancangan konstitusi yang dipimpin oleh orang-orang yang ditunjuk militer.  Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan junta.

Pemilu baru diadakan 20 tahun kemudian pada 2010, tetapi NLD memboikot pemilu itu dan USDP maju dalam pemilu tanpa lawan, yang memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan baru yang dipimpin oleh mantan jenderal Thein Sein. Ketika NLD ikut serta dalam pemilu 2015, NLD mengalahkan USDP. Kemenangan pemilu NLD pada 2020 bahkan lebih besar, memberikannya mayoritas absolut di kedua majelis.

Dengan latar belakang politik ini, masuk akal bagi militer untuk mencoba mengintimidasi NLD dan masyarakat umum untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya masih berkuasa, tulis Lintner. Setelah periode ancaman kudeta, militer kemudian dapat berupaya mencapai semacam kompromi yang menunjukkan kesediaannya untuk bekerja sama dengan NLD yang kurang berani secara demokratis.

Itu, tentu saja, akan membutuhkan kesediaan Suu Kyi untuk berkompromi, yang menurut sejarah bukanlah keahlian kuatnya. Yang pasti adalah, Lintner mencatat, perkembangan politik di Myanmar sedang memasuki periode baru yang penting, di mana bahkan peramal terkenal di negara itu tidak berani memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. [Asia Times]

Back to top button