Crispy

Pemerintah Diminta Tetapkan OPM sebagai Kelompok Teroris

“OPM selama ini jelas-jelas menolak secara tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia”

JAKARTA – Pemerintah diminta menetapkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris. Sebab, tindakan OPM selama ini merupakan bentuk teror terhadap warga Papua, selain menyuarakan perlawanan terhadap eksistensi negara.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Efriza, mengatakan sudah selayaknya apabila OPM dikatakan sebagai organisasi teroris, karena aksi yang dilakukan bukan hanya memakan korban dari kalangan aparat keamanan, tapi juga masyarakat Papua melalui tindakan yang bersifat teror.

“OPM selama ini jelas-jelas menolak secara tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia,” ujarnya dalam webinar bertajuk OPM sebagai Organisasi Teroris, Minggu (17/1/2021).

Ia mencontohkan aksi teror yang baru-baru dilakukan OPM, yakni bertepat di daerah Intan Jaya dengan membakar pesawat misionaris milik PT MAF pada tanggal 6 Januari 2021 lalu. Selain itu, membunuh belasan karyawan PT Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek Jalan Trans Papua di Nduga pada tahun 2018 silam.

“Kekejaman OPM juga sering kita lihat saat mereka menembaki heli milik TNI yang sedang mengevakuasi prajurit dan membawa logistik ke daerah pedalaman Papua. Lalu ada juga peristiwa pembacokan tukang ojek di Intan Jaya,” katanya.

Ia menjelaskan, pemerintah berupaya menghadirkan negara secara nyata di Papua, yang diimplementasikan dengan pendekatan kesejahteraan melalui pemberian dana Otsus dan berbagai pembangunan infrastruktur.

Namun di sisi lain, kata dia, tindakan OPM malah berseberangan dengan sikap pemerintah, yaitu dengan menunjukkan perlawanan dan ketidaksetujuan apabila Papua sejahtera.

Oleh karenanya, dia menilai selain menggunakan pendekatan kesejahteraan juga perlu dibarengi dengan pendekatan militer, untuk memberikan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat Papua dan dengan memasukkan OPM sebagai organisasi teroris di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Konsekuensinya ketika jadi organisasi teroris, maka Indonesia tidak dapat diintervensi oleh PBB. Hal ini juga untuk membatasi ruang gerak OPM, sehingga tidak lagi mendapat sumbangan dana dari LSM luar negeri,” katanya.

“Bila ini dilakukan, maka ada kemungkinan OPM akan lebih agresif dan mencoba terus menujukkan identitasnya. Karena itu, Papua butuh penguatan kekuatan militer dengan jumlah yang proporsional untuk terus menjaga situasi wilayah agar tetap aman dan damai,” Efriza menambahkan.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan selama ini label teroris selalu ditujukan pada kelompok yang melakukan aksi teror dengan menggunakan simbol keagamaan.

Namun menurut dia, masyarakat kurang “aware” pada aksi teror OPM yang selama ini dilakukan dan telah memakan korban, baik dari kalangan aparat keamanan dan masyarakat sipil Papua.

“Varian radikalisme di Indonesia bisa dikategorikan pada tiga hal, yaitu dalam hal politik, keyakinan, dan tindakan. Kategori Politik dan tindakan bisa dilihat pada OPM yaitu tindakan brutal yang menyebarkan aksi teror,” ujarnya.

Dia berpendapat walaupun aksi teror OPM tidak berbasis pada simbol keagamaan, namun lebih pada aspek geografis, dan itu justru lebih berbahaya karena, bila dibiarkan terus-menerus akan menghabisi wilayah Republik Indonesia.

Back to top button