CrispyVeritas

Hadapi Protes Anti-Presiden As-Sisi, Mesir Terjunkan Gelombang Aparat Keamanan

“Rebut kembali negaramu! Jangan serahkan ke tangan AS-Sisi. Jangan pulang! Kita telah berada di jalanan, dan harus tetap di sana!”

JERNIH—Mesir kembali memanas, setelah hari Ahad (20/9) lalu ribuan massa turun ke jalan, menuntut Presiden Mesir Abdul Fatah As-Sisi menyingkir karena dinilai  tidak sah. Pemerintah Mesir menghadapinya dengan menerjunkan regu-regu aparat keamanan secara massif.

Klip video yang beredar di media sosial menunjukkan para demonstran memegang spanduk dan meneriakkan slogan-slogan yang menyerukan As-Sisi mundur. Yang lainnya membakar mobil polisi, sementara massa juga melawan tembakan peluru (kosong?) aparat dengan melemparkan batu-batu.

Puluhan orang berdemonstrasi di Distrik Al-Basateen, di kawasan Kairo selatan, dan beberapa lingkungan sekitarnya. Para pengunjuk rasa juga bergerombol di Maadi, distrik besar lainnya tempat berbagai kedutaan besar dan perumahan orang asing, serta daerah kelas menengah di Kairo.

Di beberapa daerah, pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan massa.

Mesir telah menerapkan kondisi siaga tinggi setelah mantan kontraktor militer Mohamed Ali menyerukan protes anti-pemerintah pada 20 September, untuk memperingati satu tahun demonstrasi serupa diluncurkan di negara itu.

Menurut outlet media lokal Mada Masr, beberapa kafe di kota-kota di seluruh negeri terpaksa ditutup pada Senin (21/9) lalu. Sebuah media local menulis,”Tinggalkan As-Sisi adalah slogan yang diteriakkkan orang-orang di Desa Kadaya, Giza, saat mereka menghancurkan mobil polisi karena marah atas situasi dan penutupan pabrik batu bata. Kami mohon kepada Tuhan agar ini menjadi awal dari akhir dari kudeta.”

Dalam sebuah demonstrasi yang jarang terjadi setelah As-Sisi melarangnya, ribuan orang berunjuk rasa di kota-kota di seluruh Mesir pada September tahun lalu, menuntut pengunduran diri As-Sisi, menyusul seruan untuk protes dari Ali. Ali adalah seorang aktor dan pengusaha yang mengatakan perusahaannya pernah melaksanakan proyek untuk militer Mesir.

Tahun itu Amnesty International melaporkan pemerintah telah menangkap lebih dari 2.300 orang, sebagai respons keras atas demonstrasi itu. Guna mencegah meluasnya demonstrasi, Badan Keamanan pada hari Minggu lalu menangkap para pemimpin dan tokoh-tokoh politik, termasuk pemikir politik sayap kiri Amin al-Mahdi, dan sejumlah aktivis, terutama di kota timur, Suez. Beberapa pengguna media sosial juga melaporkan kafe-kafe terpaksa tutup selama seminggu terakhir.

Selain tindakan keras pemerintah terhadap tokoh dan aktivis oposisi, sebagaimana terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, media pro-pemerintah menyebut massa yang turun ke jalan sebagai “bagian dari konspirasi eksternal yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah”.

“Ambil kembali negaramu!”

Ali, yang tinggal di pengasingan di Spanyol, berharap bisa terjadi demonstrasi yang besar melawan pemerintah Mesir dan kondisi kehidupan sehari-hari yang kian memburuk. Dalam wawancara dengan Al Jazeera minggu lalu, Ali berkata: “Jika lima juta orang turun ke jalan (pada hari Minggu lalu), tidak ada yang akan ditangkap sama sekali. Terakhir kali (September 2019), para demonstran kembali ke rumah mereka masing-masing, yang memudahkan rezim untuk menangkap mereka,” kata Ali.

Dalam pesan video, Ali meminta pengunjuk rasa untuk tetap berada di luar sampai tuntutan mereka dipenuhi. “Orang Mesir bersatu. Karena cinta untuk rakyat Mesir, rebut kembali negaramu. Jangan serahkan ke tangan AS-Sisi,”katanya. “Jangan pulang. Jika kita pulang, mereka akan menahan kita. Kita berada di jalanan dan kita harus tetap di sana.”

William Lawrence, mantan diplomat AS dan profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Amerika, mengatakan protes itu “tidak terlalu besar dan meluas” terutama karena “tindakan rezim Mesir”.

 “Ada lebih dari 1.000 penahanan pre-emptive … dan ada tindakan keras (dengan)

penangkapan intelektual, mahasiswa, warga negara biasa–semua untuk mencegah protes yang lebih besar,” katanya kepada Al Jazeera. “Yang penting di sini bukanlah ukuran protes, tetapi fakta bahwa itu terjadi bahkan dalam situasi yang dikontrol pemerintah dengan ketat.”

Mesir melarang semua demonstrasi pada tahun 2013 setelah AS-Sisi, sebagai menteri pertahanan, memimpin penggulingan militer atas presiden yang terpilih secara demokratis, Mohamed Morsi, setelah terjadinya demonstrasi massal.

Sejak itu, pihak berwenang Mesir telah memenjarakan dan menuntut ribuan orang, menurut kelompok hak asasi manusia, dengan tindakan keras nasional yang meningkat setelah As-Sisi pertama kali terpilih pada 2014 dengan 97 persen suara.

Beberapa aktivis Mesir telah memperingatkan bahaya yang ditimbulkan protes terhadap kehidupan para demonstran, mengingat apa yang mereka sebut keamanan ketat oleh pihak berwenang.

Pada 25 Januari 2011, rakyat Mesir memulai revolusi mereka yang menggulingkan presiden lama Hosni Mubarak. [Al Jazeera]

Back to top button