Crispy

Ramadhan Lockwdown di Albania, Membangkitkan Memori Komunis

  • Di era komunis, ketahuan beribadah adalah kematian.
  • Kini, beribadah di masjid berpotensi terjangkit virus.
  • Lockdown justru membuat Muslim Albania makin serius beribadah, meski semua dilakukan di rumah.

Tirana — Osman Hoxha, lelaki berusia 81 tahun, tak bisa apa-apa kecuali mengunci diri di apartemennya bersama keluarga. Ia tak bisa mengunjungi masjid tak jauh dari rumahnya untuk shalat tarawih pertama di malam Ramadhan.

Usai shalat Maghrib di ruang keluarga, Osman terdiam sejenak. Pikirannya melayang jauh ke belakang, ke saat-saat dirinya — dan seluruh Muslim di Albania — tidak mengunjungi masjid dengan alasan lain.

Pandemi virus korona, yang mengharuskan Muslim dan umat agama lain menahan diri tidak terlibat dalam ritual berjamaah, mengingatkannya pada masa kekuasaan komunis.

“Kami harus shalat di balik dinding rumah kami, karena takut dipenjara atau dihukum mati,” kenang Hoxha. “Kini, kami harus shalat di rumah agar tidak terjangkit wabah.”

Setelah hari pertama Ramadhan, Osman masih belum bisa memaklumi keadaan ini. Jika ada yang menghibur dirinya, mungkin hanya satu, ia kini bebas menjalankan ibadah puasa.

“Selama komunis berkuasa, kami harus menjalani puasa diam-diam,” kata Minire (74), istri Osman Hoxha. “Jika seseorang tahu, dan melaporkannya ke aparat, kami akan mati.”

Enver Hoxha, diktator terakhir Albania, mengadopsi Marxisme sepenuhnya. Ia menjalankan ajaran Karl Marx, yang menyebut agama adalah candu.

Tahun 1967, Enver Hoxha mendeklarasikan Albania sebagai engara atis pertama. Ia melarang semua ibadah agama, dan berusaha mengubah rakyat beragama menjadi ateis.

Selama berkuasa 40 tahun, Enver Hoxha menghancurkan ratusan masjid peninggalan Ottoman. Beberapa masjid diubah menjadi kantor pemerintah atau museum.

Ratusan imam, ulama, dan guru agama, dijatuhi hukuman kerja paksa. Banyak yang meninggal saat menjalani kerja paksa. Yang keras kepala tidak ingin menanggalkan agama tewas di depan regu tembak.

Secara keseluruhan sekitar 6.000 penduduk Albania dieksekusi rejim Enver Hoxha, dengan tuduhan pengkhianatan, perjalanan ke luar negeri, dan mempraktekan keyakinan agama.

Osman Hoxha salah satu yang menjalani kerja paksa. Tahun 1960-an, saat masih muda, Osman bekerja di sebuah tambang. Saudara Osman melarikan diri ke luar Albania, yang membuat seluruh keluarga dicurigai.

Yang menarik, keluarga Osman memelihara iman dengan beribadah secara rahasia. Itu berlangsung sampai tahun 1990, ketika rejim Enver Hoxha berakhir dan masjid dibuka kembali.

Sejak saat itu Islam bangkit di Albania. Lebih 2,8 juta orang mengidentifikasi diri sebagai Muslim, dan lainnya Katolik dan Kristen Orthodox.

Dalam beberapa tahun terakhir, Osman mengembalikan ritual buka puasa di keluarga. Biasanya, sekitar 20 orang berkumpul di meja makan menunggu adzan maghrib.

Tahun ini tidak ada lagi kerumunan di meja makan, karena setiap keluarga terkunci di rumah masing-masing. Osman tidak bisa lagi makan bersama Agron, anaknya, menantu dan cucu-cucunya.

Osman kehilangan ritus mengajak dua cucu ke masjid untuk shalat maghrib. Atau shalat berjamaah di rumah.

Pandemi virus korona di Albania telah merengut 30 nyawa, dengan ratusan orang terjangkit. Pemerintah Albania menerapkan kuncian ketat, karena tidak ingin kehilangan lebih banyak penduduk.

Teknologi baru menghapus kesepian Osman selama Ramadhan. Ia kerap mengeluarkan ponsel saat berbuka puasa, dan berbicara kepada keluarganya.

“Kami justru lebih dekat dengan keluarga selama Ramadhan lockdown,” kata Agron, yang kini punya kebiasaan menerima video call ayahnya saat berbuka puasa.

Minire mengatakan; “Yang penting adalah menjaga kesehatan, tidak terjangkit, dan menghormati semua ritual dan praktek keagamaan.”

Back to top button