Crispy

‘Reformasi’ Ala Erdogan Ditanggapi Sepi

Committee to Protect Journalists yang berbasis di New York, sebuah kelompok advokasi kebebasan pers non-partisan, menyatakan saat ini Turki memiliki jumlah jurnalis di balik jeruji besi tertinggi kedua di dunia setelah Cina.

JERNIH—Sebagai upaya merespons perekonomian yang melaju lambat, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada 2 Maret lalu meluncurkan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia baru yang mengedepankan 11 prinsip, sembilan tujuan, 50 target, dan 393 tindakan. Paket itu juga mencakup isu-isu dari praduga tidak bersalah, diskriminasi gender, hingga kebebasan berbicara.

Beberapa waktu kemudian, pada 10 Maret, Erdogan mengumumkan paket reformasi ekonomi baru yang berupaya mengubah Turki menjadi salah satu dari 10 ekonomi teratas dunia, meningkatkan disiplin fiskal, dan meningkatkan penggunaan mata uang lira yang rusak.

Anatolian News Agency (AA), kantor berita resmi pemerintah, mendeskripsikan rencana tersebut sebagai “pelopor” dan “terobosan baru”, namun di masyarakat paket-paket baru itu disambut dengan skeptisisme.

Amnesty International, misalnya, dalam pernyataan mereka 12 Maret lalu menyatakan rencana hak asasi manusia tersebut “tak ada artinya” dan hanyalah “upaya menutup-nutupi”. “Tidak ada apa pun yang menangani masalah nyata,” kata Erdem Aydin, pakar Turki dan direktur konsultan RDM Advisory, kepada Asia Times.

“Bicara kemerdekaan peradilan, kebebasan pers, bagaimana Anda bisa berbicara tentang hal-hal seperti itu ketika ada jurnalis di penjara?” kata dia, retoris.

Turki sekarang memiliki jumlah jurnalis di balik jeruji besi tertinggi kedua di dunia setelah Cina, menurut Committee to Protect Journalists yang berbasis di New York, sebuah kelompok advokasi kebebasan pers non-partisan.

Rencana ekonomi baru Erdogan juga menimbulkan keraguan di kalangan analis dan pengamat. “Program reformasi ekonomi pemerintah,” kata Jason Tuvey, dari Capital Economics, dalam catatan 15 Maret kepada para investor, “tak banyak dalam hal reformasi yang sebenarnya.”

Hal ini menyebabkan beberapa analis mengatakan, pengumuman baru-baru ini mungkin didorong oleh tujuan yang sangat berbeda dari yang disebutkan. “Rencana hak asasi manusia benar-benar merupakan pendahulu untuk mengubah konstitusi,” kata Aydin dari RDM Advisory.

Erdogan tidak merahasiakan keinginannya untuk merevisi konstitusi 1980, yang disahkan setelah kudeta militer tahun itu. Dia juga ingin mengubah sistem presidensial yang dia bawa pada 2017.  “Meskipun ini sudah memberi Erdogan banyak kekuatan,” sambung Aydin, “tampaknya dia tidak senang bahkan dengan itu.”

Jajak pendapat yang digelar baru-baru ini pun tidak memberi angina baik bagi Erdogan dan pendukungnya. Pada Februari lalu, jajak pendapat Avrasya Arastirma menunjukkan, Wali Kota CHP Ankara, Mansur Yavas dan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, sama-sama mengungguli Erdogan dalam popularitas dengan selisih 5-6 poin persentase.

Lembaga polling Istanbul Economics baru-baru ini mencatat penurunan yang stabil dalam dukungan untuk Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Erdogan dan mitra koalisi Aliansi Rakyat (PA)-nya, Partai Aksi Nasional (MHP).

Pada pemilihan umum 2018 lalu, AKP memperoleh 42,56 persen suara, sedangkan MHP memenangkan 11,1 persen. Pada Februari tahun ini, jika suara ragu-ragu ditinggalkan, suara ini telah turun menjadi sekitar 29 persen untuk AKP dan 7 persen untuk MHP.

Di bawah aturan pemilu Turki saat ini, partai dengan kurang dari 10 persen tersingkir, menciptakan prospek kekalahan besar dalam pemilu untuk Aliansi Rakyat yang pro Erdogan.

“Para pemilih pemula, pemilih muda, Kurdi konservatif, mereka tidak akan memilih AKP lagi,”ujar Ozgur Unluhisarcikli, direktur German Marshal Fund’s Ankara, kepada Asia Times. “Saat ini, dia tidak memiliki jalan yang jelas menuju kemenangan.”

Rencana aksi hak asasi manusia mungkin sedikit membantu. Ada ketentuan untuk menurunkan ambang batas pemilihan 10 persen menjadi 7 persen dalam rencana tersebut, yang juga mencakup cara baru untuk menggambar batas-batas wilayah pemilu.

“Ini berarti partai yang lebih besar bisa mendapatkan lebih banyak anggota parlemen,” ujar Unluhisarcikli. Ini adalah cara bagi aliansi yang berkuasa untuk mempertahankan dirinya dalam jabatan.

Di bawah konstitusi saat ini, presiden dipilih melalui pemungutan suara langsung, di mana seorang kandidat harus mendapatkan 50 persen+1 suara untuk menang. Itu berarti peluang terbaik untuk menang datang dari aliansi yang dibuat antara partai-partai yang mendukung satu kandidat, di mana AKP bersekutu dengan MHP pada pemilihan terakhir untuk menempatkan Erdogan dalam jabatan.

Namun, “Erdogan tidak ingin bergantung pada partai lain,”ujar Aydin, “Jadi rencananya adalah mengubah konstitusi untuk meningkatkan kekuatan tunggalnya.”

Pada saat yang sama, kekalahan sekutu Erdogan di Gedung Putih pada November 2020 (Donald Trump) dan kemenangan Presiden Joe Biden telah menciptakan tantangan lebih lanjut bagi Ankara.

“Persepsi Biden akan lebih keras terhadap Turki dalam hal demokrasi dan hak asasi manusia,”ujar Unluhisarcikli. “Jadi, rencana tindakannya adalah mencoba mendahului ini.”

Turki juga menghadapi kemungkinan sanksi dari Uni Eropa, sebagai tanggapan atas ketidaksepakatan atas Mediterania Timur, serta atas pelanggaran hak asasi manusianya yang kronis. Dengan Eropa akan bertemu pada 25-26 Maret untuk memutuskan kemungkinan sanksi, Turki jelas membuat upaya baru dengan rencana aksi hak asasi manusia, ujar Aydin.

Terdapat tantangan serius di balik reformasi yang dipertanyakan secara luas ini. “Tidak ada yang senang dengan sistem peradilan di Turki,” ujar Aydin, “termasuk pemerintah.”

Memang, sistem hukum yang tidak berfungsi dan kurangnya hak, menciptakan ketidakpuasan domestik dan iklim negatif bagi investasi ekonomi.

“Jika Anda tidak memiliki aturan hukum,”ujar Aydin, yang dikutip Asia Times, “Buat apa Anda berinvestasi?”

Hal ini, pada gilirannya, berdampak negatif terhadap perekonomian, yang semakin menurunkan dukungan kepada pemerintah. Dengan demikian, rencana ‘reformasi’ aksi ekonomi mungkin merupakan kesempatan yang terlewatkan bagi AKP, serta bagi banyak jurnalis, aktivis, dan oposisi yang masih mendekam di penjara Turki. [Asia Times]

Back to top button