Crispy

Syiah Sampang yang Ingin Pulang, Dibaiat Menjadi Sunni

Jernih — Tragedi Syiah Sampang pada tahun 2012 adalah satu dari sekian banyak konflik berdarah di Indonesia yang mengatasnamakan agama. Bagi warga (atau mantan) Syiah Sampang maupun warga Desa Karang Gayam dan Bluuran, tragedi tersebut sama-sama menimbulkan luka.  

Bagi Tajul Muluk alias Ali Murtadho, mantan pemimpin Syiah Sampang dan pengikutnya luka-luka itu sudah berusaha dilupakan. Mereka akan kembali ke Sunni. Harapan untuk kembali ke kampung halaman yang delapan tahun lalu mereka tinggalkan, selangkah lagi akan terwujud.

BBC Indonesia mengabarkan, Tajul Muluk dan kelompok yang dipimpinnya berencana pulang ke kampung halamannya di Tanah Madura. Rencana tersebut munguat setelah ia dan pengikutnya berniat untuk melakukan baiat kembali ke keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni).

Pembaitannya sendiri direncanakan akan berlangsung hari ini (5/11/2020) di Pendapa Bupati Sampang.287 bekas anggota “Syiah Sampang” direncanakan akan mengucap ikrar yang disaksikan oleh Pemerintah Sampang dan ulama-ulama Madura, demikian Koran Madura melaporkan.

Kepala Kantor Kementrian Agama Sampang, Pardi, mengatakan bahwa ikrar ini akan diucapkan satu per satu oleh mereka yang kini tinggal di Rumah Susun (Rusun) Puspa Agro, Sidoarjo, yang menjadi tempat pengungsian para warga Syiah Sampang sejak 2012 silam.

Namun, Pardi menyatakan bahwa pelaksanaan ikrar ini tidak ada hubungannya dengan rencana kepulangan mereka ke Sampang.

“Perlu kami tegaskan kembali, kegiatan itu intinya yaitu kegiatan murni pernyataan atau ikrar kembalinya mereka menjadi warga Aswaja [Ahlussunnah wal Jamaah]. Belum ada  kaitannya mengenai pembahansan lainnya termasuk akan kemblai ke kampung halaman. Bahkan soal itu belum ada penyataaan langsung dari Tajul Muluk,” tutur Pardi.

Hal yang berbeda disampaikan Tajul Muluk pada BBC Indonesia. Meski tidak secara tegas, namun penyataannya menyiratkan ia berkeingianan pulang kampung, terlebih setelah ia dan pengikutnya kembali menjadi Aswaja (Sunni).

“Kami terusir karena keluar dari Sunni, ketika kami ke Sunni, maka tidak ada alasan bagi kami tidak bisa pulang ke Madura. Saya yakin para kyai dan maysrakat di sana akan menerima dan menyambut kami,” kata Tajul.

Meski Tajul Muluk telah menyatakan akan kembali ke Sunni, namun ia mengaku bahwa keputusan itu merupakan sikap pribadi. Ia tidak memaksa para pengikutnya untuk turut serta.

Dari 350 orang pengungsi Syiah Sampang yang tinggal di Rusun Puspa Agro, 287 di antaranya telah menyatakan kesediaannya berikrar kembali ke Sunni. Sisanya, yakni sekitar delapan kepala keluarga, memilih tetap menjadi Syiah.

Keinginan mereka untuk pulang disikapi berbeda oleh “saudara” mereka di Sampang. Seorang warga Karang Gayam, Syarifin, mengatakan bahwa isu kepulangan Tajul Muluk membuat warga resah.

“Masih ada [luka lama], masih trauma dan membekas. Tidak akan bisa pulih. Pokoknya ada isu Tajul mau pulang, masyarakat sudah resah semua,” kata Syarifin.

Sementara itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama Sampang, Muhammad Itqon Busiri, mengatakan bahwa ulama-ulama tidak bisa berbuat banyak karena apa yang terjadi delapan tahun lalu itu membuat luka sangat dalam bagi masyarakat.

“…tradisi yang ada di daerah sana dianggap salah oleh Tajul Muluk dan pengikutnya. Padahal tradisi itu sudah terjadi sejak zaman dahulu, ini yang kemudian memicu konflik,” jelas Busiri.

Meski demikian, ia menambahkan, jika Tajul dan pengikutnya benar-benar meninggalkan Syiah dan kembali ke ajaran “yang sudah ada sejak zaman nenek moyang” seraya berusaha menjalin hubungan baik dengan warga, mereka akan mau menerima dan bahkan akan menjemput.

Pendapat lain disampaikan sebagian warga yang menyatakan khawatir apa yang diikrarkan oleh Tajul Muluk dan pengikutnya merupakan taqiyyah, hal yang dalam pemahaman warga pada umumnya sama dengan kebohongan atau berpura-pura. 

Dalam pemahaman umum Syiah, taqiyyah dimaknai sebagai sikap hati-hati dan waspada dalam menjalankan praktik keyakinan Syiah demi alasan keselamatan diri. Dalam praktiknya, hal itu bisa berarti tidak menunjukan sikap atau identitas ke-Syiah-an mereka baik berupa praktik ibadah atau hal lainnya.   

Konflik Syiah Sampang

Tajul Muluk dikenal luas setelah konflik Syiah Sampang antara warga Syiah di Sampang dan kelompok anti-Syiah atau yang mendaku sebagai Sunni pada Agustus 2012. Kelompok Syiah menyebut insiden itu sebagai “serangan”. Sementara kelompok Sunni menyebutnya sebagai “bentrokan”.

Sebuah laporan yang dirilis Liputan 6 pada Agustus 2019 menyebut, sebagian pihak menilai konflik ini bukan murni pertentangan Sunni-Syiah, melainkan ada unsur konflik keluarga antar Tajul Muluk dan adiknya, Roisul Hukama.

Tajul Muluk mulai secara terang-terangan menyebarkan Syiah sejak 2003 di Sampang. Pada 2006,   sebagian masyarakat dan tokoh di Sampang menolak ajaran yang dibawa Tajul. Meski kerap dimediasi, namun pertentangan antara kelompok Tajuk dan kelompok anti-Syiah ini tidak bisa diselesaikan melalui dialog.

Sejak tahun itu, ancaman pembunuhan dan teror mulai diterima Tajul dan kelompoknya. Tahun 2009 adiknya, Roisul, memutuskan keluar dari komunitas Syiah karena berkonflik dengan sang kakak. Keduanya menjadi tokoh yang memiliki basis massa, hal yang membuat konflik Syiah Sampang semakin meruncing dan runyam.

29 Desember 2011 Pesantren Misbahul Huda dan rumah milik Tajul Muluk diserang dan dibakar. Pertengahan April 2012, Tajul Muluk dijatuhi hukuman empat tahun penjara atas tuduhan penistaan agama. Ia dilaporkan sendiri oleh adiknya, Roisul setelah Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur   mengeluarkan fatwa sesat terhadap ajaran yang diajarkan Tajul.  

Menurut Komisi Untuk Orang Hilang (Kontras), ketika komunitas Syiah Sampang itu tidak memiliki pemimpin, tepatnya pada 23 Agustus 2012, anak-anak warga Syiah yang hendak berangkat ke pondok pesantren Syiah diluar Sampang dihadang sejumlah warga anti-Syiah.

Tiga hari berselang, pada 26 Agustus 2012 pagi hari, sekitar 500 orang yang membawa celurit, pedang, bom Molotov, dan “senjata” lainnya berkumpul di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Bentrokan (atau dalam istilah Syiah Sampang “serangan”) tak terelakan.

Ratusan rumah dibakar. Satu orang dilaporkan tewas dalam kerusuhan tersebut sementara tujuh lainnya kritis dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka. 350 warga Syiah Sampang diungsikan pihak keamanan.

Warga Syiah Sampang lantas diungsikan ke Sidoarjo dan mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur berupa uang Jaminan Hidup (Jadup) sebesar Rp709.000 per bulan per orang. Demi bertahan hidup, sebagian pengungsi tersebut bekerja menjadi buruh pengupas sabut kelapa di pasar yang tak jauh dari sana.

Kini, setelah mereka kembali ke Sunni, mereka berharap bisa juga kembali ke kampong halamannya di Tanah Madura.

Back to top button