Depth

Jatuh Bangun Sekeping Republik Depok

Maka hoetan jang laen jang disabelah timoer soengei Karoekoet sampai pada soengei besar, anakkoe Anthony Chasteleyn tijada boleh ganggoe sebab hoetan itoe misti tinggal akan goenanya boedak-boedak itoe mardaheka, dan djoega mareka itoe dan toeroen-temoeroennja ….

Surat wasiat Cornelis Chastelein, 14 Maret 1714.

Kalimat di atas adalah cuplikan surat wasiat Cornelis Chastelein, pemilik tanah partikelir Depok. Empat bulan setelah menulis surat itu, tepatnya 28 Juni 1714, Chastelain meninggal dunia.

Tanah-tanah Depok, yang mencakup wilayah Depok saat ini, sedikit wilayah Jakarta Selatan, plus Ratujaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, jatuh ke tangan 12 keluarga budak yang telah dimerdekakan (mardijker). Sejarah Belanda Depok dimulai.

Namun, tak keliru jika sejenak menoleh ke belakang, atau ke masa awal kedatangan Cornelis Chastelein. Meneer Belanda itu berlayar ke Batavia pada 24 Januari 1674, dengan kapal ‘t Huis te Cleff, dan tiba di Jakarta 16 Agustus 1674.

Pada 18 Mei 1691, Chastelein membeli sebidang tanah, yang saat ini mencakup Depok, Mampang, dan Karang Anyar, seharga 700 ringgit dari seorang tuan tanah Cina; Tio Tiong Ko. Tanah ini dibeli dengan hak eigendom.

Dalam Burgerrecht art. 570 disebutkan hak eigendom adalah hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan suatu benda (tanah) itu dengan kekuasaan yang sepenuhnya. Tanah itu juga bernama tanah partikelir, yang memiliki sifat dan corak istimewa, memiliki hak yang bersifat kenegaraan, yang disebut landheerlijke rechten atau hak-hak pertuanan.

Ketika tanah harus diolah, Chastelein mendatangkan 150 budak dari Bali, Borneo (Kalimantan), Makassar, Maluku, Ternate, Kei, Pulau Rote, Batavia, karena warga Depok Asal–penduduk yang telah ada di tanah itu jauh sebelumnya–tidak mungkin diandalkan.

Para budak diajarkan agama Kristen dan dibaptis. Ia juga mendirikan gereja pertama yang disebut De Eerste Protestansts Onderdant Kerk, disingkat Depok, yang artinya Gereja Rakyat Protestan Pertama.

Namun, laporan ekspedisi Sungai Ciliwung 1703, 1704, dan 1709, Abraham van Riebeeck–inspektur jenderal VOC–menyebutkan, “Kami melalui benteng, Tujililitan, West Tandjong, dan Seringsing, dan Depok.” Artinya, nama Depok telah ada sebelum gereja pertama berdiri.

Setelah surat wasiat diberlakukan, para budak merdeka menggarap tanahnya dan hanya menyerahkan sepersepuluh hasil panen kepada Keluarga Chastelein. Warga Depok Asal menyerahkan seperlima. Warga Depok Asal dicoba dikristenkan, tapi gagal.

Chastelein tidak sekadar menulis surat wasiat. Ia menjadi orang pertama yang membebaskan para budak. Bahkan, ia melakukannya 60 tahun sebelum perbudakan dilarang di muka bumi.

Sejarah mencatat, tatanan organisasi Gemeente Bestuur Depok mulai disusun tahun 1871 oleh seorang advocaat dari Batavia, Mr MH Klein. Ia menulis konsep reglement pembentukan organisasi dan pimpinan desa serta pengaturannya yang bercorak republik.

Pada 28 Januari 1886 disusunlah Reglement Van Het Land Depok. Di tahun 1891 diadakan revisi kecil, dan pada 14 Januari 1913 reglement tersebut kembali direvisi untuk memenuhi keadaan.

Reglement tersebut ditandatangani oleh G Jonathans sebagai Presiden dan MF Jonathans sebagai Sekretaris. Jabatan yang diatur dalam reglement; seorang presiden, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan dua orang gecomitteerden.

Selama masa penjajahan Belanda, warga Depok hidup mewah berkat tanah sedemikian luas. Di masa Jepang, Depok tak sempat tersentuh sepatu lars Nippon.

Di masa kemerdekaan, warga Belanda Depok mencapai tahap paling menyedihkan. Mereka menjadi sasaran kebencian warga Depok Asal. Mereka dirampok dan dibunuh. Ketika tentara sekutu datang, mereka diungsikan pasukan Gurkha ke Bandung, dan kembali setelah Indonesia merdeka.

Tahun 1952, tiga tahun setelah pemberlakuan UU Agraria yang menghapus tanah-tanah partikelir, Belanda Depok menyerahkan seluruh tanahnya kepada pemerintah. Presiden Soekarno memberi ganti rugi Rp 229.261,26, dan masih boleh menggarap sedikit tanah dan memiliki gedung-gedung.

Pemerintahan Belanda Depok berakhir.

Back to top button