DepthVeritas

Sejarah Panjang Perseteruan Turki- Yunani

Perang kemerdekaan Yunani yang didorong meningkatnya nasionalisme melawan Kekhalifahan Utsmani dan antusiasme Kristen terhadap Islam, secara signifikan memengaruhi perspektif Athena tentang Turki

JERNIH— Pada Minggu (6/9), Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan memperingatkan Yunani untuk memasuki pembicaraan mengenai klaim Laut Mediterania yang disengketakan, atau menghadapi ‘pengalaman menyakitkan’.

Erdogan dengan tegas memperingatkan Yunani untuk memasuki pembicaraan mengenai klaim teritorial Mediterania timur, atau bersiap dengan konsekuensi menyakitkan.

“Mereka akan memahami bahasa politik dan diplomasi, atau mengalami pengalaman di lapangan yang menyakitkan,” kata Erdogan Sabtu lalu pada upacara pembukaan sebuah rumah sakit di Istanbul.

Kedua sekutu dalam NATO itu telah terkunci selama berminggu-minggu dalam kebuntuan yang menegangkan di Mediterania timur, di mana Turki terus menyelami dasar laut untuk mencari cadangan energi di daerah yang diklaim Yunani sebagai landas kontinennya sendiri. Siprus juga menuduh Turki melanggar kedaulatannya dengan mengebor di perairan mereka. Semua pihak telah mengerahkan angkatan laut dan udara untuk menegaskan klaim mereka di wilayah tersebut.

“Mereka akan memahami bahwa Turki memiliki kekuatan politik, ekonomi dan militer untuk merobek peta dan dokumen tidak bermoral yang diberlakukan,” kata erdogan, merujuk pada daerah yang ditandai oleh Yunani dan Siprus sebagai zona maritim ekonomi mereka.

Jelas, hal itu bukan pertanda baik bagi kawasan tersebut. Hal itu mengingatkan kita pada refleksi pemimpin Republik Turki, Mustafa Kemal, dalam sebuah surat di musim panas 1914 tampaknya selalu relevan dengan hubungan krusial dan penuh pertentangan antara Turki dan Yunani.  

Illustrasi ini bisa menggambarkan bagaimana kompleksnya peperangan Turki-Yunani, bila itu terjadi,

“Ini sangat berbahaya. Tidak jelas ke mana kami harus pergi,”tulis Mustafa Kemal yang saat itu masih membawa-bawa epaulet kolonel di bahunya.  Saat itu Jerman baru saja menginvasi Belgia, dan Kekhalifahan Turki Utsmani yang menjalin aliansi dengan Jerman, segera terlibat dalam perang dunia. Kemal benar. Perang Dunia Pertama itu menyebabkan berakhirnya Kekhalifahan Utsmani yang telah berdiri lebih dari setengah millennium lamanya.

Di hari-hari terakhir ini, Turki tampaknya berpotensi bertikai kembali dengan Eropa. Dari seberang, Yunani bicara dalam bahasa perang. Sementara Turki pun siap untuk melupakan kompromi dan melanjutkan pencarian minyak dan gas mereka di perairan yang diklaim Yunani di timur Mediterania.  Jelas ini bukan sekadar sengketa bilateral antara dua negara bertetangga. Gambarannya jauh lebih besar. Jika Eropa luput, wilayah itu potensial untuk emnjadi hotspot baru, tak hanya apa yang kini berkembang di Timur Tengah.

Hubungan Turki dengan Yunani harus diakui lekat dengan kebencian, baik secara sejarah maupun kompetisi keduanya di kawasan regional. Kepercayaan antara Ankara dan Athena terlalu lemah untuk diperbaiki.

Sejarah membentuk kebencian hubungan bilateral Turki-Yunani. Yunani modern didirikan setelah perang intensif dengan Kekhalifahan Utsmani pada awal abad ke-19. Perang kemerdekaan Yunani yang didorong oleh meningkatnya nasionalisme melawan Kekhalifahan Utsmani dan antusiasme Kristen terhadap Islam secara signifikan memengaruhi perspektif Athena tentang Turki saat ini.

Sementara itu, Turki modern didirikan dari kemenangan militer melawan invasi militer Yunani di wilayah pesisir barat Turki setelah Perang Dunia Pertama. Di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk pasukan militer Turki berhasil mengusir pasukan Yunani pada tahun 1923 dan mendirikan Turki modern.

Perang antara Turki dan Yunani disertai dengan pembersihan etnis satu sama lain di wilayah yang didominasi Turki dan Yunani mendominasi wilayah tersebut, dan kebencian etnis antara Turki dan Yunani dikenang hingga saat ini. Kebencian antara Turki dan Yunani semakin kuat dalam edisi Siprus pada 1960-an dan 1970-an. Dua kelompok etnis di Siprus, Turki dan Yunani, didorong oleh meningkatnya nasionalisme, akhirnya melakukan konfrontasi total. Turki dan Yunani saling menyalahkan tanggung jawab dalam konflik Siprus, dan akhirnya, Siprus terpecah menjadi Siprus utara yang dikuasai Turki  dan masyarakat internasional mengakui Republik Siprus di selatan.

Perang Turki-Yunani setelah Perang Dunia Pertama dan persaingan Turki-Yunani di Siprus menyebabkan konflik maritim di Mediterania Timur antara Ankara dan Athena. Meskipun sebagian besar pulau di Laut Aegea hingga Turki barat dibawah Yunani dalam Perjanjian Lausanne pada tahun 1923, beberapa pulau kecil diklaim oleh Yunani dan Turki. Pulau-pulau ini menjadi bahan konflik saat ini.

Mengenai eksplorasi sumber daya perairan pesisir Siprus, Turki menyatakan bahwa eksplorasi sumber daya harus didasarkan pada kesepakatan baik dari Siprus utara maupun pemerintah Siprus selatan. Sementara Siprus dan Yunani menolak untuk mengakui keabsahan rezim Siprus utara dan memandang keterlibatan rezim Turki dalam masalah Siprus sebagai pelanggaran integritas nasional Siprus.

Di satu sisi, eksplorasi sumber daya alam Turki dipahami sebagai langkah penting menuju kemandirian energi dan meningkatkan klaim maritim atas pulau dan pulau kecil yang disengketakan melawan Yunani. Namun, kekuatan politik Islam Turki yang meningkat dibawah kepemimpiunan Partai Keadilan dan Pembangunan dianggap oleh Yunani sebagai tekad dan minat Turki untuk memulihkan Kekaisaran Ottoman lama di Balkan dan Mediterania Timur.

Di sisi lain, sikap tegas Yunani di Mediterania Timur dan Siprus dapat dipahami oleh orang Yunani sebagai pengamanan perairan teritorial, tetapi penolakan Yunani untuk mengakui klaim Turki di Laut Aegea dan penolakan untuk menerima Turki sebagai mitra hukum dalam masalah Siprus dianggap oleh Turki sebagai penghinaan yang sombong dari Eropa. Hal ini karena pengalaman Turki yang dipermalukan karena berulang kali ditolak menjadi anggota resmi Uni Eropa dan justru menerima keanggotaan Yunani serta Siprus.

Dengan latar belakang ini, bentrokan dan konflik apa pun antara Turki dan Yunani dapat dengan mudah menyebabkan antagonisme total kedua negara. Hubungan bilateral antara Turki dan Yunani terbelenggu oleh kebencian historis dan persaingan, dan persaingan Ankara-Athena di Mediterania Timur mungkin berlangsung lama.

Di satu sisi, situasi sebelum Perang Dunia I adalah bayangan cermin dari apa yang kita lihat di sekitar Mediterania saat ini. Pada 1914, kekuatan Eropa telah bersatu dalam dua aliansi yang bermusuhan. Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia membentuk Triple Alliance. Sedangkan Inggris Raya, Prancis, dan Rusia menjadi bagian dari Triple Entente. Perang melawan salah satu negara berarti perang terhadap seluruh aliansi.

Saat ini jika dilihat juga ada dua aliansi yang bermusuhan. Beberapa orang mungkin mengira kedua kubu itu adalah negara Muslim Sunni versus Syiah. Tapi ini sebenarnya jauh lebih kompleks dari itu. Di satu sisi, ada ‘aliansi revolusioner’ yang terdiri dari Turki, Qatar, sebuah gerakan regional yang dikenal sebagai Muslim Brothers dan Iran. Di sisi lain ada ‘status-quo entente’ yang terdiri dari Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Israel.

Persaingan antara dua “blok” itu, tidak lagi, hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga, semakin meningkat, di Mediterania timur seperti yang ditunjukkan oleh perselisihan baru-baru ini antara Turki dan Yunani. Ini bukan tentang insiden terisolasi di sekitar tema tertentu – seperti ekstraksi gas atau minyak – tetapi tentang konflik kepentingan yang kompleks di teater luas yang membentang dari Yunani dan Libya hingga Iran.

Pada saat yang sama, beberapa negara Eropa dengan jelas memilih sisi dan bahwa mereka mengikat gerobak mereka ke salah satu aliansi di Timur Tengah. Prancis, Yunani, dan Siprus mendukung status-quo. Spanyol dan Malta tampaknya lebih siap untuk mendukung aliansi revolusioner. Sementara Italia berjalan di antara keduanya, tergantung pada arahnya.

Persaingan antara kubu revolusi dan status quo berakar cukup panjang. Asal muasal aliansi revolusioner kembali ke tahun 1928, ketika Ikhwanul Muslimin didirikan untuk melawan campur tangan kolonialis dari Eropa di Timur Tengah dan untuk pembentukan kembali kekhalifahan Islam yang telah dihapuskan Mustafa Kemal.

Mereka memandang penuh simpati pada revolusi Iran pada 1979. Musim Semi Arab tahun 2011 juga tampaknya membawa Ikhwanul Muslimin lebih dekat ke kekuasaan di seluruh wilayah.

Qatar mendukung tren itu, sementara Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan menjadi contoh utama bagaimana berhasil menggabungkan Islam dan demokrasi. Ini membawa Turki, Qatar, Muslim Brothers, dan Iran ke kelompok yang dianggap sama.

Di sisi lain, bagi Arab Saudi, Musim Semi Arab adalah mimpi buruk. Saudi takut akan ketidakstabilan di Timur Tengah, sebagian karena alasan ekonomi, dan takut akan revolusi di negara mereka sendiri. Hal yang sama berlaku untuk Emirates. Ketika presiden Mesir saat ini, Abdel Fattah Assisi, menggulingkan presiden terpilih pertama negara itu, almarhum Muhammad Mursi, kelompok status-quo lahir.

Fakta bahwa Erdogan terus mendukung Ikhwanul Muslimin membuat assisi dan Presiden Turki laiknya musuh bebuyutan. Israel, pada bagiannya, juga lebih menyukai stabilitas. Ada perjanjian damai dengan Mesir sejak 1979. Itu juga membuat perdamaian dengan Emirates pada 13 Agustus 2020 ini. Dengan cara ini, hubungan antara Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat, dan Israel menjadi semakin jelas.

Beberapa orang akan berpendapat bahwa segala sesuatunya lebih kompleks dari itu. Lihat saja perang di Suriah, di mana Iran dan Turki berada di pihak yang berlawanan. Namun terlepas dari kerumitan kedua belah pihak terlihat semakin dekat dan semakin bermusuhan satu sama lain.

Turki dan Mesir saling berhadapan di Libya, tempat masing-masing memberikan dukungan militer kepada pihak yang berlawanan dalam konflik. Contoh lainnya adalah Qatar. Ketika Arab Saudi, Uni Emirat dan Mesir memberlakukan blokade terhadap Qatar pada tahun 2017, Turki segera mengirimkan 3.000 tentara tambahan ke semenanjung tersebut. Sementara Iran membuka wilayah udaranya untuk semua penerbangan Qatar Airways.

Pemihakan Eropa

Yang membuat semua jadi lain, sekarang negara-negara Eropa juga terlibat dalam aliansi ini. Untuk memfasilitasi eksplorasi minyak, Mesir membuat perjanjian maritim dengan Yunani dan Siprus, serta Israel. Sementara Turki mencapai kesepakatan tandingan dengan pemerintah resmi di Libya. Kedua kesepakatan maritim tersebut diperdebatkan oleh pihak lain.

Turki yakin Mesir tidak memiliki bisnis di perairan sekitar Kreta dan Siprus, sementara Mesir tidak ingin melihat kapal militer Turki di lepas pantai negara tetangganya Libya. Ketika ketegangan memuncak antara Yunani dan Turki, dua sesama anggota NATO, Prancis meminta NATO dan Uni Eropa untuk memberikan sanksi terhadap Turki.

Spanyol, di sisi lain, menyelesaikan perjanjian perdagangan bilateral dengan Turki pada 27 Juli dan pembicaraan perdagangan juga sedang berlangsung dengan Italia. Di Libya, Italia, Malta dan Turki juga memutuskan untuk memperkuat kerja sama mereka. Jika negara-negara Timur Tengah memihak salah satu dari dua aliansi Eropa dalam Perang Dunia I, negara-negara Eropa sekarang condong ke dua kubu berbeda di Timur Tengah.

Prancis, Yunani, dan Siprus mendukung status-quo entente, sementara Spanyol dan Malta menyesuaikan diri dengan aliansi revolusioner dan Italia berada di antara keduanya berdasarkan kasus per kasus.

Tentu saja, seperti pada tahun 1914, tidak satu pun dari negara-negara ini yang menginginkan Perang Besar. Mereka hanya ingin melindungi kepentingan nasional, seperti yang dilakukan negara pada tahun 1914.

Tetapi jika negara-negara Eropa menghancurkan persatuan mereka dan terjebak dalam konflik yang membusuk, segalanya mungkin terjadi lagi.  Kini, apa yang menjadi kegalauan Mustafa Kemal di awal abad lalu itu terngiang kembali. “Ini sangat berbahaya. tidak jelas ke mana kita akan pergi.” [Aljazeera/ cgtn/euobserver/jejaktapak]

Back to top button