Dum Sumus

Surealisnya Sinetron Indonesia di Mata Orang Luar

Manoj mengatakan bahwa untuk tetap berada dalam rating, tim produksi sering kali “Harus menghasilkan sesuatu yang tidak Anda percayai”.

JERNIH—Kita seringkali melihat semua ini di layar televisi: akting berlebihan seorang ibu tiri yang teramaaat amat jahat, atau seorang wanita yang tidur dengan riasan muka lengkap. Lalu adegan tragis dimainkan dalam gerakan lambat dan musik latar yang keras dan dramatis. Siapa pun yang datang berkunjung ke Indonesia, ia akan diberi ucapan “Selamat Datang” plus dunia sinetron Indonesia yang ganjil.

Sinetron– demikian sebutan dalam bahasa Indonesia untuk opera sabun–adalah pertunjukan dengan rating tertinggi dan terlama di negara ini. Hal yang tidak biasa, mengingat popularitas sinetron seperti “Eastenders” di Inggris atau “Neighbours” di Australia. Tetapi sinetron Barat dan Indonesia sama seperti sepak bola dan hoki es—keduanya adalah olahraga, tetapi jelas keduanya permainan yang sama sekali berbeda.

sinetron ganjil,jernih.co
Salah satu adegan khas sinetron Indonesia

Dalam salah satu sinetron paling populer di negara-negara Asia Tenggara, “Nadin”, yang diproduksi maestro sinetron Ramm Punjabi dan ditayangkan di jaringan ANTV, plot yang muncul mungkin dianggap benar-benar tidak masuk akal. Berlatar zaman modern, salah satu alur cerita dimulai dengan Ihsan muda memasuki hutan bersama ayahnya. Mereka bertemu dengan ular—yang sebenarnya pria bernama Manu yang secara misterius berubah bentuk. Manu bertengkar dengan Chandra, seorang penyihir jahat. Ayah Ishan mencoba melindungi Manu tapi terbunuh, sedangkan Ihsan terluka parah. Dua ular lain juga mati dalam bentrokan tersebut, setelah itu mereka berubah kembali menjadi bentuk manusia. Halo?

Produsen asing mungkin akan kesal menyaksikan hasil proses pasca produksi seperti itu. Misalnya, salah satu trik kamera yang seolah menjadi ‘merek dagang’ sinetron itu adalah memperbesar dan memperkecil wajah karakter secara cepat, untuk menekankan reaksi dramatis—cara yang mungkin dilakukan manakala tindakan berlebihan tidak juga menyampaikan pesan.

More is more” tampaknya resep yang digunakan untuk musik latar. Untuk menekankan humor,editor produksi beralih ke kartun “Tom and Jerry” sebagai inspirasi– menggunakan klip suara lonceng dan peluit. Musik organ yang tidak menyenangkan menambah suasana pada adegan yang dramatis, sedangkan balada piano murahan menjadi keharusan saat seorang karakter menangis.

Kritikus mengklaim sinetron menggambarkan pandangan dunia yang tidak realistis. Aktor utamanya hampir selalu muda dan menarik. Jika ada aktor yang tidak menarik dalam sinetron, mereka biasanya memainkan peran sebagai karakter komedi–teman gendut, atau bibi jelek.

Ekspatriat asal Kanada yang lama tinggal di Indonesia, Sacha Stevenson, memiliki chanel YouTube populer berjudul “How to Act Like an Indonesian”. Ini adalah serial web satir yang berfokus pada karakteristik dan keeksentrikan khas orang Indonesia. Episode “5 Signs it’s a Sinetron” miliknya telah ditonton lebih dari 173.000 kali (sampai 2017). Episode itu menyoal soal riasan tebal sebagai salah trade mark sinetron.

“Tokoh sinetron Indonesia tidur dengan make-up lengkap,” katanya sambil tersenyum lebar. Adegan kemudian beralih ke Stevenson yang berpakaian seperti bintang sinetron dengan gaun rias, memakai bulu mata palsu dan terlalu banyak pemerah pipi.

Danik Dwiyanti, seorang pekerja sosial untuk zakat di Yogyakarta, mengatakan karakter yang ditampilkan dalam sinetron memperkuat pandangan kecantikan yang tidak realistis, terutama di kalangan anak-anak.

“Model peran seperti apa yang mengajari anak-anak bahwa mereka harus tampil rapi dan memakai banyak riasan sepanjang hari?”kata dia. Danik ingin melihat karakter dalam sinetron mempromosikan kecantikan alami yang nyata, tanpa banyak riasan. “Tapi ini, tentu saja, tidak akan mendongkel peringkat.”

Dalam dunia sinetron, menjadi “Indo” (campuran Indonesia dan Barat) juga membantu untuk mendapatkan peran. Menjadi lajang juga menguntungkan aktor, seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan aktris Indo yang bercita-cita tinggi.

adegan ganjil,jernih.co
Adegan sinetron: makin ganjil kian joss?

“Ketika saya berusia pertengahan 20-an, saya pikir akan menyenangkan berakting di sinetron,” kata Melati Kartini, yang memiliki ayah berkebangsaan Inggris dan ibu Indonesia. “Saya mulai berbaur dengan orang-orang di industri ini, tetapi mereka semua mengatakan kepada saya bahwa saya tidak akan pernah berhasil,” kata Melati, yang kini menjadi ibu berusia 30-an.

Melati sudah menikah, fakta yang tidak menguntungkannya. “Ini adalah industri yang gelap. Saya diberi tahu bahwa saya akan bisa mendapatkan peran utama jika saya lajang dan ‘lepas’, “katanya. Dia juga diberitahu bahwa pada usia 25 tahun, dia hanya akan bisa mendapatkan peran sebagai sosok ibu. “Maksudku, berapa banyak ibu berusia 25 tahun yang kamu kenal?” katanya sambil tertawa.

Lantas mengapa–dengan skrip, akting, dan pascaproduksi yang begitu mengerikan– sinetron Indonesia begitu populer?

“Pecinta sinetron adalah wanita kelas atas atau menengah yang memiliki pembantu dan terlalu banyak waktu luang, atau kelas bawah yang tidak berpendidikan,” kata Danik. “Setelah pemirsa terseret ke dalam cerita, mereka tidak sabar untuk mengetahui bagaimana kelanjutannya dan tidak akan berhenti untuk menontonnya.”

Danik yakin sinetron Indonesia secara sosial bisa merugikan kehidupan keluarga. “Alih-alih menghabiskan malam dengan berbicara dan menghabiskan waktu berkualitas dengan anak-anak mereka, (orang tua) terpaku pada layar TV untuk menonton sesuatu yang tidak memiliki nilai positif atau nilai pendidikan sama sekali,” katanya.

Ketimpangan sosial dan kemiskinan bisa menjadi alasan begitu banyaknya penonton kelas bawah yang memirsa tayangan seperti itu. “Kelas bawah terpesona oleh orang-orang cantik di sinetron, sehingga perhatian mereka dialihkan dari isu-isu nyata di sekitar mereka. Ini adalah cara untuk membodohi dan membuat publik diam, “kata Danik, menambahkan bahwa sinetron mencuci otak masyarakat.

Ketika sinetron pertama ditayangkan pada 1990-an, plot biasanya berputar di sekitar orang Indonesia kaya di rumah mereka yang besar dan mewah. Namun, dalam 15 tahun terakhir, telah masuk sinetron religius, atau sinetron religi, tempat umat Islam di seluruh negeri mengambil bimbingan spiritual.

Sinetron religi bisa jadi juga bertanggung jawab atas penyebaran Islam yang lebih konservatif. Manoj Samtani, seorang produser televisi dan film yang telah berkecimpung di industri ini selama lebih dari 27 tahun, mengatakan ia memutuskan untuk meninggalkan dunia sinetron pada 2010 karena banyak tantangannya.

Dia yakin persaingan antara stasiun TV yang mengejar rating adalah penyebab buruknya konten sinetron. Sekitar 15 stasiun nasional dan 80 penyiaran regional beroperasi di negara ini. “Kami akan syuting episode hari ini untuk ditayangkan besok. Itu sangat kejam,”katanya.

Pada zamannya, kata Manoj, tim produksi akan diberi tahu tentang rating harian, termasuk tanggapan menit demi menit dari penonton tentang apa yang paling mereka sukai. “Kemudian mereka akan meminta kami untuk mengubah berbagai hal berdasarkan peringkat,” katanya. “Misalnya, mereka mungkin meminta kami untuk mengembangkan karakter tertentu, dan kami harus memasukkannya ke dalam pengambilan gambar untuk ditayangkan pada hari berikutnya. Ini tidak terjadi di negara lain. “

Manoj mengatakan bahwa untuk tetap berada dalam rating, tim produksi sering kali “Harus menghasilkan sesuatu yang tidak Anda percayai”. Dia mengutip contoh plot di mana seorang anak kecil dipukuli di sekolah. “Kami selalu bolak-balik di sekitar alur cerita yang sama yang bahkan tidak kami sukai,” katanya.

Jadi, bagaimana masa depan sinetron Indonesia? Manoj berharap penonton menjadi lebih terdidik. “Saya yakin mutu konten akan meningkat,” katanya. “Pemirsa ingin menonton sesuatu yang memiliki pelajaran yang lebih berharga.” [Angela Jelita/South China Morning Post]

Back to top button