Persona

Malaikat Itu, Radhar Panca Dahana

Jika alam semesta tak menghadirkan Radhar dalam perjalanan hidup saya yang serba kebetulan ini, mungkin saya tak pernah memahami dan mencintai dunia tersebut. Hal yang kemudian mengantarkan saya bergaul akrab dengan lingkungan luar biasa dan mencerahkan itu. Radhar Panca Dahana adalah malaikat pembuka pintu surga yang memperkaya pengalaman dan pemahaman saya tentang dunia yang asyik tersebut.

Oleh : Jilal Mardhani

JERNIH– Saya: “Bung Radhar, apakah punya ungkapan pribadi tentang ibunda yang boleh saya kutip, dan kumpulkan dengan yg lain, sebagai hadiah ultah ibu saya ke 80 tanggal 19/12 yad?” — 2 November 2020, jam 23:35 —

Radhar:

“Berdaster merah dadu,

di jembatan airmataMu

Ibu menurunkan waktu

penjadi jadi aku.”

— 3 November 2020, jam 03:01 —

Jilal Mardhani

Ungkapannya yang puitis itu, menjadi salah satu penyempurna buku istimewa yang saya persembahkan saat ibunda tercinta berulang tahun, akhir tahun kemarin.

+++

Alam semesta telah menghadirkan Radhar dalam perjalanan hidup saya yang serba kebetulan ini. Pertemuan kami bermula saat saya bekerja di RCTI tahun 1993. Dia sedang membantu membenahi majalah Vista, TV Guide yang sahamnya diambil-alih stasiun televisi swasta pertama itu. Saya ditugaskan untuk menyelia pengembangannya.

Saat itu, Sindo Citra Media baru saja menambah program pemberitaan. Dari semula hanya Seputar Indonesia yang tayang selama setengah jam setiap pukul 18:30. Kemudian dilengkapi dengan Nuansa Pagi (06:00-08:00), Buletin Siang (12:00-12:30), dan Buletin Malam (23:30-24:00). RCTI juga baru menambah jam siarnya. Tanpa jeda. Mulai subuh hingga tengah malam. Salah satu tantangan yang dihadapi kala itu adalah, mengembangkan program-program untuk mengisi tayangan pada jam siar baru, dari pagi hingga sore hari.

Kami berembuk untuk menyalurkan liputan dunia hiburan yang sebetulnya menjadi ‘ranah’ majalah itu — kemudian populer disebut ‘infotainment’ — sebagai peluang pengembangan bisnis.

Vista memang ingin tertib. Menghindar dari liputan gosip dunia hiburan yang justru menjadi andalan dua tabloid saingan pada pasar pembacanya (Citra dan Nova). Keredaksian mereka yang juga disupervisi dua wartawan senior ex Majalah Tempo, memilih tata cara liputan yang ‘elegan dan beretika’. Sementara pasar justru ingin yang ‘saru dan seru’.

Saya menawarkan mereka ‘jalan tengah’. Untuk menyalurkannya lewat liputan audio-visual. Semacam Kabar-kabari dan Cek n Ricek yang kemudian hari mengisi jam tayang sore stasiun tersebut. Pertimbangannya, saat itu, Sindo memiliki peralatan kamera dan perlengkapan penyunting (editing) yang berlebih. Seandainya berkenan, kolabo-rasi kedua unit usaha tersebut tentu sangat memungkinkan.

+++

Setelah DPR tak menerima pertanggung jawabannya (1999), almarhum BJ Habibie tak termasuk dalam bursa pemilihan presiden yang kemudian ditempati almarhum Gus Dur dan Megawati. Upaya pendanaan Global TV melalui Islamic Development Bank, tak berhasil. Salah satu dari lima izin stasiun televisi baru yang dikeluarkan pasca Reformasi 1998 itu, kemudian ditawarkan ke Bimantara Citra. Saya dan sejumlah teman yang diminta mempersiapkannya, kecewa. Sejumlah wartawan datang ke kantor kami untuk menelisik lebih jauh. Radhar juga hadir di sana. Saya tak ingat dia mewakili media mana.

Lalu ada yang bertanya. Bagaimana langkah selanjutnya yang akan saya dan teman-teman lakukan. Karena mereka memaklumi kami yang bercita-cita mengembangkan siaran televisi berjaringan. Sesuai dengan semangat UU Siaran yang baru. Lalu saya katakan,”Sudahlah. Mulai saat ini, saya tak ingin lagi berkecimpung di pertelevisian. Undang-undang itu bakal mandul. Atau dimandulkan. Saya tak mau terlibat dalam perkartelan-nya.”

Radhar kemudian melemparkan pertanyaan di luar konteks, “Apakah bung bersedia membantu Taman Ismail Marzuki?” Saya begitu saja mengiyakannya.

Ternyata hal tersebut kemudian disampaikannya kepada Yayasan Kesenian Jakarta. Lembaga yang selama ini menyantuni Pusat Kesenian Jakarta itu. Beberapa hari berselang, yayasan yang diketuai almarhum Wiyogo Atmodarminto tersebut menghubungi saya untuk menjadwalkan pertemuan. Demikianlah sejarah kepemimpinan saya di pusat kesenian milik DKI Jakarta yang berada di Jl. Cikini tersebut.

Jika alam semesta tak menghadirkan Radhar dalam perjalanan hidup saya yang serba kebetulan ini, mungkin saya tak pernah memahami dan mencintai dunia tersebut. Hal yang kemudian mengantarkan saya bergaul akrab dengan lingkungan luar biasa dan mencerahkan itu.

Radhar Panca Dahana adalah malaikat pembuka pintu surga yang memperkaya pengalaman dan pemahaman saya tentang dunia yang asyik tersebut.

+++

Radhar pernah mengembangkan kanal pribadinya. Beredar di Youtube dengan menggunakan tagline ‘Kopi Panas’. Dia pun kerap mengirimkan tautan dan saya selalu menyaksikannya.

Setelah beberapa episode, saya berkirim pesan padanya, “Bung, saran gw yang tak harus diikuti, jangan pakai judul kolom ‘Kopi Panas’. Meski gw tau bung RPD berbeda. Juga ‘kopi’ bukan hak cipta dia yang terlanjur mempopulerkannya. Banyak kata atau benda unik yang bisa Bung gunakan. Pensil, sendawa, keselek, dan lain-lain hehehe.

Radhar membalasnya dengan emoji senyum lebar dan, “Terima kasih.”

Begitu pula ketika saya secara khusus menuliskan status di Facebook untuk dirinya. Berjudul ‘Soal Gonjang-Ganjing TIM” tanggal 19 Februari 2020 lalu (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10222191547001083&id=1336550387)

Persahabatan saya dan Radhar yang ‘meski kadang-kadang jauh tapi selalu erat’ itulah yang menjadi inspirasi kalimat penutup pada status beberapa hari lalu berikut ini:

Kawan sejati adalah mereka yang mendorong dan mendukung keyakinan kita. Meski dirinya mungkin memiliki keyakinan yang berbeda. Tapi juga berani menegur. Bahkan menghardik. Ketika sikap, kata, dan perbuatan kita tak sejalan dengan nilai-nilai kehidupan yang sebelumnya kerap didengungkan maupun dipertontonkan. Apalagi ketika penyimpangannya mengganggu. Bahkan menyebabkan kerugian yang lain. Terutama mereka yang selama ini tak menyadari, bahkan teperdaya oleh tipu daya dan kepalsuannya.”

+++

Sebagian cetakan buku hadiah ulang tahun untuk ibunda tercinta yang memuat ungkapan puitis Radhar, baru saja saya terima. Tiba-tiba sebuah pesan masuk. Menyampaikan kabar duka. Salah seorang sahabat yang pernah bekerja bersama-sama dulu, meninggal dunia.

Saya berupaya menemukan dokumentasi fotonya pada arsip yang berserak. Tapi justru menemukan sepucuk surat Radhar yang pernah dikirimkannya kepada saya. Saya segera memfoto dan mengirimkan dia.

“Demi masa lalu yang pernah kita lalui.”

Malaikat yang membuka cakrawala luas mata-hatiku, Radhar Panca Dahana, terima kasih, Bung. Selamat jalan. Beristirahatlah, kawan. Kau telah meninggalkan begitu banyak kebaikan di dunia ini. Tak mungkin hilang dan terlupakan. Innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiuun.

“Berdaster merah dadu

di jembatan air mata-Mu

Ibu menurunkan waktu

penjadi jadi aku.”

Mardhani, Jilal — 23 April 2021 [ ]

Back to top button