POTPOURRI

Abu Yazid Al-Busthami, Wali Sufi yang Dalam Rahim Pun Berontak Bila Masuk Makanan Haram

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika bertemu, Abu Yazid menyaksikan guru termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diartikan menghina kota Makkah), karena itu segera ia pulang ke Bustham.  

JERNIH– Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, demikian nama lengkap wali sufi yang hidup sederhana ini. Beliau sering pula disebut dengan Bayazid al-Busthami.  

Lahir di Bustham, timur Laut Persia, Abu Yazid meninggal di tanah kelahirannya pada 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang syeikh yang ada dalam silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh lain. Kakek Abu Yazid merupakan penganut Majusi atau Zoroaster, dan ayahnya pun seorang terkemuka di Bustham.

Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya,”kata ibunya, “Bayazid yang masih berada dalam rahimku memberontak dan tidak mau berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali.” Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.

Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan arti satu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”.

Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “Izinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang ke rumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa?”

“Tidak” jawab Abu Yazid, yang saat kecil dipanggil Thoifur.  

“Pelajaranku sampai pada ayat di mana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepadamu, wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata.”

“Anakku” jawab ibunya, “Aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah.”

Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut :

Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka aku pun mengambilnya, ternyata di dalam tempayan kami tak ada lagi air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itu pun kosong. Karena itu aku pergi ke sungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur.”

Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendo’akanku. Waktu itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu?” ibuku bertanya.

“Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”.

Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu itu. Begitulah yang sering kulakukan berkali-kali.”

                                                **

Abu Zayid melakukan disiplin diri dengan terus-menerus dan berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.

Di antara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk di hadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu.”

“Jendela?” jawab Abu Yazid.  “Jendela yang mana?”

”Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”

”Tidak”, jawab Abu Yazid, “Apa peduliku dengan jendela? Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang ke sini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini.”

“Jika demikian,” kata si guru,” Kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.

                                                **

Abu Yazid mendengar bahwa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika bertemu, Abu Yazid menyaksikan guru termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diartikan menghina kota Makkah), karena itu segera ia kembali ke Bustham.  

”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah,”Abu Yazid berkata mengenai guru tadi, ”Niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya.”

Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu.

                                                **

Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku demikian?” tanya seseorang.

“Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang dholim. Atau lihat do’a Abunawas,”Ya Allah kalau Engkau masukkan aku ke dalam sorga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja taubatku).”

                                                **

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!” Seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban.”

Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada di atas punggung onta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”seru si pemuda.

”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku,”kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?” [  ]

Dari “Muslim Saints and Mystics” Fariduddin Aththar

Back to top button