POTPOURRI

Cerita Pendek: “Jalan Pergerakan”

“Selama lebih dari 48 jam sebelum kematiannya, Sovian berada dalam kekuasaan banyak pihak. Diambil oleh satu kekuatan, lalu di-bond oleh yang lain, lalu dipinjam lagi untuk dikorek keterangannya. Lalu dia bisa lari, tertabrak, masuk rumah sakit, dan aku tak tahu lagi yang terjadi.”

Oleh   :  Hardy R. Hermawan

JERNIH– Mereka mengenakan masker kain hitam, bergambar tengkorak atau motif ala anarko[1] lainnya, berorasi bergantian dari beberapa spot. Tak ada mimbar, tapi massa memberi ruang leluasa untuk para orator.

Kalimat-kalimat mereka sangat kuat, runtut, dan mudah diterima logika.  Postur tubuh mereka nyaris mirip satu sama lain.  Kaus hitam, celana hitam, dan topeng hitam juga dipakai oleh seratusan demonstran lainnya. Ribuan sisanya berpakaian biasa—dengan atau tanpa kain penutup muka.  Cuaca begitu panas dan kelembabannya membikin peserta rally mandi keringat.

Tak ada mobil komando. Hanya megaphone tangan yang jadi pelantang. Ratusan spanduk menjulur tinggi, menempel pada tongkat kayu panjang seukuran lengan. 15 menit berlalu, suasana kian panas dan yel-yel makin menggema. Demonstran terus merambati jalan raya menuju Istana. Percepatannya tambah naik seiring orasi yang berubah menjadi seruan komando. “Serbuuuu!,” teriak si orator.  Pot kembang di marka jalan menjadi sasaran pukulan kayu yang tadinya tiang spanduk.  Lemparan batu berdesingan. Massa kini berlari menyerang.

“Taktik blackbloc[2] mereka berjalan,” ujar Edwin tanpa menoleh kepada beberapa anak buahnya, yang ternyata hanya manggut-manggut dan saling pandang satu sama lain. Tatapan lelaki pertengahan 40-an itu tak lepas dari 10 layar televisi di depan meja kerjanya. Pelbagai sudut aksi tampak di sana, termasuk angle udara yang didapat dari dronecamera yang mereka kirim.

Stasiun televisi berita tempat Edwin bekerja sangat unggul dalam peliputan aksi ini. Mereka mengirim empat tim sekaligus. Dua ditaruh di antara massa; satu di ujung depan dan satu di tengah rally. Satu tim memantau aparat keamanan dan satu lagi mengendalikan drone.  Tim liputan regular di Istana dan DPR siap stand up melaporkan situasi dengan perangkat TVU[3]

Edwin Hidayat, Current Affairs ManagerSigma TV, tak mau kalah dari para koleganya di Departemen News yang terus meyajikan live report dari lokasi. Ia sudah menampilkan serentetan talkshow dan menyusun TV Magazine[4] mengulas aksi yang memasuki hari ketiga ini. Tahun 2019 hampir usai. Mereka harus mempertahankan keunggulan sebagai TV berita terbaik di Indonesia.

Layar kamera drone menunjukkan gerak polisi memblokade jalanan dengan tameng setinggi badan. Tinggal beberapa belas meter jarak mereka dengan gelombang massa. Di belakang barisan tameng, polisi bersenjata membentuk formasi. Mobil cannon water berdiri garang. Anjing-anjing dengan lidah basah terjulur menyalak kencang. Edwin mulai mengalihkan perhatian dari layar televisi dan menatap kumpulan anak buahnya. “Sebentar lagi pasti rusuh..”

“Kita bikin apa, Bos?” Entah siapa yang bertanya. Ruangan begitu sesak. Tiga tim produser esekutif yang dibawahi Edwin berkumpul di sana.

“Bikin magazine dengan angle gerakan Anarko. Riset yang bener,” kata Edwin. “Bagaimana komentar para pejabat?”

 Beberapa orang menggerakkan jari di seluler mereka. “Panglima menyebut aksi ini ditunggangi pihak asing,” kata salah seorang produser eksekutif.

“Kapolri tidak berkomentar. Hanya ngomong akan menegakkan hukum secara tegas..”

“Istana menyerahkan soal ini kepada aparat hukum..”

“Orang DPR gak ada yang ngasih pernyataan bagus. Kalo gak normatif, ya provokatif..”

“Aksi ini mudah ditebak,“ kata seorang produser perempuan sambil menyimak ponselnya.

Edwin tertegun. “Siapa yang bilang?”

“Kepala Badan Intelijen..”

“Rivai Muchtar?”

“Ya, Bos…”

“Saya mau dia jadi narasumber pekan ini. Kontak segera. Katakan, saya yang undang!”

“Siap!”

***

Taktik blackbloc ternyata tak mudah diterapkan.  Alih-alih menimbulkan efek hebat di pihak aparat, justru para demonstran yang dibikin kocar-kacir.  Pola anonimitas kolektif dengan atribut serbahitam membuat komunikasi terhambat.  Demonstran  sulit mengenali satu sama lain dan tak mudah memahami pesan yang disampaikan mulut tertutup masker. Kepemimpinan di lapangan samar padahal aksi melibatkan masa heterogen–mahasiswa, buruh, aktivis NGO, anak punk dan musisi underground, dan kaum miskin kota—kendati jumlahnya hanya 300-an orang.  

Namun perusak utama taktik blackbloc adalah respon tentara yang kelewat brutal. Baru lima menit aksi berjalan, belasan truk datang dan derap sepatu laras menyerbu membabi-buta. Para demonstran tak sempat bersuara ketika tersungkur, benjol, dan berdarah-darah.

Mereka  terkena hantam popor senapan atau tongkat rotan. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi hingga massa lintang pukang dan sebagian langsung ditangkap.  Tembakan meletus berkali-kali. Orang berteriak di sana-sini. Klakson kendaraan dan salak anjing menambah riuh sausana. Raung sirine menyayat udara. Di paruh pertama tahun 1997, tentara tak ubahnya pemilik negara yang semena-mena. Pasukan polisi yang sudah berjaga sejak awal akhirnya ikut menyerbu.

Sejak serangan pertama terjadi, Edwin sontak meloncat menjauhi kerumunan. Masker ia lepas dan, sambil berlari, ekor matanya melihat Soviet, temannya sesama aktivis mahasiswa, sudah dipiting leher dan lengannya oleh dua-tiga orang tentara. Edwin mengenali postur Soviet dan gambar grup band Metallica di kaus hitamnya. Yuri, teman Edwin yang lain, tampak berlari ke arah berlawanan. Ia satu-satunya yang memakai kemeja biru dongker.

Edwin mempercepat langkah. Beberapa ratus meter sudah ia menjauh sambil terus mengingat-ingat rute pelarian yang ia pelajari sebelum aksi diadakan. Hingga ia tak sadar sudah terkepung tiga sosok berseragam loreng. Ia mati langkah.

“Sudah! Bubar!”

Tanpa banyak cakap, tiga tentara itu mundur, berbalik meninggalkan si mahasiswa yang kebingungan. Suasana di sekitar tidak terlalu ramai. Orang-orang lebih fokus menengok pusat kericuhan. Edwin mencari si empunya suara. Sesosok pria pertengahan 30-an, dengan kemeja biru muda dan rambut tipis berombak, duduk di belakang kemudi Daihatsu Taft GT hitam yang terparkir menyala, sekitar tiga meter dari tempat Edwin berdiri.

Itu Mayor Rivai Muchtar, perwira intelijen Kodam. Hanya sepersekian detik dia menatap Edwin, mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi.  Taft GT itupun melaju entah ke mana.

Edwin tahu itu Rivai karena orang itu pernah mendampingi Panglima Kodam berkunjung ke kampusnya setahun silam. Selain rombongan panglima, hanya 50 orang yang hadir di sana. Rektor membawa 20 pejabat kampus dan peserta lainnya adalah mahasiswa. Kalau tak sedang ada kepentingan dengan rektor, malas pula Edwin seruangan dengan para penjagal itu. Ia menyadari, tak ada aktivis jalanan yang ikut acara tersebut. Kebanyakan para mahasiswi.

Mereka ini berbinar-binar genit, sok cari perhatian, ketika si Panglima memper-kenalkan Rivai: Akmil 1984, enam tahun bertempur di Aceh dan Timor-Timur, bekas perwira pasukan komando, mengikuti banyak pelatihan dan pernah dididik di Amerika, Belgia, dan Mesir. Rivai beroleh kenaikan pangkat luar biasa sewaktu berlaga di front Lhokseumawe dan menjadi yang tercepat di angkatannya yang meraih pangkat mayor. Lantas beramai-ramai para mahasiswi itu merengek, berpura-pura kecewa, kala Panglima mengabarkan, Rivai baru menikah enam bulan lalu, sebelum berdinas di Kodam. 

Kini Rivai menyelamatkan dirinya dan Edwin sama sekali tak mengerti. “Persetan!” Ia merutuk dan meneruskan langkah, menyusuri labirin gang yang padat. Topi dan kaus hitam berlengan panjang ia lepas lalu dibuang begitu saja. Kini ia memakai kaus oblong putih yang basah oleh keringat sambil berusaha berjalan lebih lambat, mengatur nafas.

Sulit mencari angkutan kota. Tentara memblokade jalan entah dari radius berapa kilo dari lokasi aksi. Edwin terus menghindari jalan besar hingga ia menemukan pangkalan tukang ojek dan meminta satu dari mereka mengantarnya ke sebuah tempat: Gang Cempaka, safe house aktivis mahasiswa.

“Kalian aman?” tanya Edwin begitu masuk rumah itu. Nafasnya kembali memburu. Tadi ia sengaja berhenti di mulut gang dan berjalan cepat sejauh 500 meter untuk sampai ke sana. Dua orang yuniornya bergeletakan di lantai. Lelah dan ketakukan.

“Aman, Bang. Kami juga baru datang,” jawab Johan, mahasiswa Sospol semester enam yang sejak jadi mahasiswa sudah ikut bergabung di rumah tersebut. Satunya lagi Atong, mahasiswa Tionghoa yang kuliah akuntansi. Mukanya kian tampak pucat. 

Hanya dua mahasiswa itu, selain Edwin, Soviet, dan Yuri yang tahu tempat ini. Secara resmi, Soviet yang menyewa—untuk kepentingan markas rahasia.  Yuri yang membayarinya. Dia bendahara Jaringan Muda Kompeten, organisasi mahasiswa yang dipimpin Edwin. Tiga minggu lalu, Yuri menjadi sarjana ekonomi setelah tujuh tahun kuliah.  Skripsinya setebal 500 halaman menyoal lemahnya daya saing ekonomi Indonesia.

“Kalian yakin tak diikuti?”

“Yakin, bang,” ujar Johan. “Kami juga tidak datang berbarengan…”

“Oke, kita istirahat sebentar. Kau beli makanan dulu…” 

“Siap, Bang!”

Edwin memberikan tiga lembar uang 20 ribuan. Uang itu pun asalnya dari Yuri. Edwin selalu kagum pada kemampuan Yuri merayu para senior agar mau membekali mereka dalam beraktivitas.

“Sekalian beli rokok dan kopi. Sisa duit kau pegang saja.” Edwin menambah lagi dua lembar 20 ribuan. “Jangan sendirian. Atong ikut. Pakai motor, sekalian keliling dan lihat situasi.”

Atong seketika bangkit. “Siap bang!” Rupanya ia bersemangat lagi. Atong dan Johan segera mengeluarkan motor Honda GL 100 hitam yang terparkir di dalam rumah.

Sudah setahun motor itu ada pada mereka. Lagi-lagi Yuri yang mendapatkannya. “Warisan dari senior yang mau nerusin kuliah ke Jerman,” katanya waktu itu. Yuri sendiri tak pernah mengendarainya. Ia tak suka naik motor.

Ketika datang, kondisi motor sangat menyedihkan. Menurut STNK-nya, motor keluaran 1991 ini tak pernah dibayar pajaknya sejak pertama kali dibeli. BPKB tidak ada. Nama pemilik di STNK juga bukan nama si aktivis yang mewariskannya kepada Yuri. Soviet pernah mencoba menelusurinya. Gagal. “Orangnya sudah pindah entah kemana,” kata Soviet.

Soviet, Wahyu Sovian, adalah anak pesisir selatan Jawa Barat. Ejaan namanya tak lazim, memakai huruf ‘v’ alih-alih “f”pada nama Sovian. “Bapak kau pasti  orang kiri. Nama asli kau Wahyu Soviet. Karena takut tentara, diubah jadi Sovian,” ujar Yuri suatu ketika.

Yang diledek malah tertawa, tak berusaha menyembunyikan rasa bangga, bahkan mencoba membenarkan cerita itu. Yuri dan Edwin pun memanggilnya Soviet–atau Iyet jika di depan banyak orang. Anak ini luwes, periang, dan terampil di lapangan. Ia yang ditunjuk jadi sekjen Jaringan.

Soviet punya teman sekampung yang membuka bengkel. Sekali waktu, ia mengecat ulang tangki motor dan mengubah joknya menjadi lurus seperti roti tawar dan lebih rendah. Pegangan tangan di samping jok dipotong belakangnya dan dicat hitam. Kali lain, ia ubah lampu dan spidometer dengan limbah partmoge 70-an. Mesin dikrom jadi mengilat. Spatbor dan ban dibuat lebih lebar: 10 centi di depan dan 12 centi di belakang. Spion dibuang. Untungnya, tak pernah motor itu kena tilang. Bahkan Edwin pernah lewat begitu saja di hadapan polisi yang sedang razia.

Dengan motor itu, sebulan lalu Edwin mengantar pacarnya ke Markas Kodam. Ya, ke Markas Kodam. Salma perlu menemui pamannya, seorang mantri tentara yang bekerja di Rumah Sakit Militer. Salma, mahasiswi tingkat akhir Akademi Keperawatan, menemui sang paman untuk meminta uang praktik lapangan dan ujian akhir.  “Om sedang penataran di Kodam. Jadi aku tak bisa datang ke rumahnya,” kata Salma dengan manisnya.

Ah, Salma. Ketika dua yuniornya itu pergi, Edwin langsung disergap rasa rindu.  Baru dua malam mereka tak berjumpa. Kendati sibuk mempersiapkan aksi yang gagal total ini, Edwin selalu datang malam-malam kepada Salma yang menerimanya dengan suka cita.

Namun, tiga malam lalu, ketika mereka berada di ruang tamu rumah Salma, keduanya mendengar derap kaki dan bisik-bisik orang di luar.  Edwin mengintip, dua orang lelaki terlihat mengawasi tempat kostnya yang berada tepat di seberang kontrakan Salma.  Mereka bukan teman. Bahkan tidak hanya berdua, seorang lagi terlihat di dekat mulut gang. Edwin ketakutan, rasanya ingin segera kabur. Tapi mau ke mana? Lewat mana?

Lagi pula ada Salma yang membuatnya malu dan salah tingkah. Keringat dingin menetes di dahinya. Apalagi, ia ingat, sepatunya ada di atas keset di depan pintu rumah Salma. “Mudah-mudahan mereka tak melihat sepatu sialan itu.” rutuknya, gugup.

Tanpa suara, Salma yang ikut mengintip di sebelah Edwin menggerakan bibir sambil menunjuk ke luar, “Siapa?” 

Mereka bertatapan, Edwin menggeleng sambil satu tangannya terangkat, telunjuk dan jempolnya membentuk simbol pistol dan telunjuknya itu diletakan di tepi dahi. Telapak tangan Salma menyentuh dada Edwin, memintanya tenang. Telunjuk di tangannya yang lain menempel di bibirnya.

Cukup lama Salma menahan tangannya di sana. Lalu telapak tangan itu mundur perlahan sambil sesekali menekan-nekan udara, menegaskan lagi agar Edwin tetap tenang. Salma tersenyum. Segera ia bangkit, membuka pintu, berjalan ke teras, bicara agak kencang dari sana. “Mas-mas, temannya Mas Edwin, ya?

Edwin terpaku, bersender di dinding di balik pintu. Suara Salma begitu kenes, manja, tapi jawaban lawan bicaranya tak terlalu jelas terdengar. 

Nunggunya di sini saja, Mas. Sekalian, saya juga lagi nungguin dia.” Lagi-lagi suara yang menggemaskan. Biasanya Edwin langsung menerkam Salma karena suara sekenes itu. Kali ini ia semaput. “Undangan” Salma kepada orang-orang asing itu membuat jantungnya kian berdegub.

“Mas Edwin nggak pulang-pulang! Kalau mas ketemu, tolong sampaikan, dicari pacarnya, Salma!”

Edwin mendengar lagi derap kaki itu melangkah, mendekat lalu menjauh..”Iya, Mas.. Sama-sama. Terimakasih juga!” teriak Salma sambil tetap berada di teras, berpura-pura memberesi sesuatu, lalu memasukan sepatu Edwin ke dalam rumah. Dengan perlahan dan wajar, ia masuk dan menutup pintu, menguncinya, lalu menghambur ke pelukan Edwin.

Salma sama sekali tak membahas apa yang terjadi. Ia mencumbui Edwin semalaman hingga Edwin mengendap-endap pulang sebelum subuh. Padahal Salma mengaku sedang praktik di Rumah Sakit sambil menyiapkan ujian akhir. Teman-teman sekontrakan Salma, dua perempuan bekerja yang usianya jelang 30 tahunan, sepertinya tenang-tenang saja. 

Sepatu Edwin yang tersimpan di teras rumah Salma juga pernah menjadi petunjuk buat Soviet menemukan sahabatnya itu. Setelah uring-uringan karena gagal mencari Edwin di tempat kostnya, Soviet mengenali sepatu itu di teras sebuah rumah. Tanpa ragu Soviet mengetuk pintu, membuat Edwin dan Salma yang ada di dalam terkejut dan buru-buru merapihkan pakaian.

Gilaaa…mantap banget,” bisik Soviet ketika Salma berlalu ke belakang untuk mengambilkan minuman.

“Kenapa?” Edwin berlagak dingin.

“Dilihat dari depan, Salma itu 95 persen Avi Basuki.”

Hmmm…” Edwin tersenyum bangga

 “Dari belakang, 120 persen hahahaha….” Soviet terbahak lalu seketika berhenti tatkala Salma datang lagi membawakan segelas teh manis. Ia lantas cengar-cengir norak.

Salma memang memesona. Putih, berambut sebahu, dan, ya, agak-agak mirip Avi Basuki yang model itu. Lebih pendek tapi cukup tinggi. Mungkin 162 centi. Ia suka mengenakan rok dan siapa pun akan terpana pada kakinya yang jenjang, kencang, dan halus bak pualam. Dan jika berjalan, dua bundaran sempurna di atas tungkainya akan bergerak ritmis bersama degup jantung penatapnya.

Ketika diam pun, kedua bundaran itu sudah sangat indah. “Tak ada yang lain yang seperti itu di dunia,” gumam Edwin sambil tiba-tiba merasakan darah mengalir deras ke pangkal pahanya. Otot-ototnya meregang. Tapi Edwin tak bisa berlama-lama mengingat Salma. Kedua yuniornya sudah datang membawa kabar dan makanan.

“Teman-teman selamat semua, Bang. Mereka ada di kampus masing-masing,” ujar Johan sambil mengunyah nasi bungkus. “Sekretariat kita kosongkan. Sudah tak ada dokumen apa-apa.”

Syukurlah, mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Muda Kompeten tak ada yang tertangkap atau masuk rumah sakit. Kelompok mahasiswa ini memang hanya mengirim 20 orang untuk ikut aksi. Dan hanya sebanyak itulah anggota mereka. Tadinya mereka hanya kelompok diskusi.

Di kota ini, kelompok mahasiswa yang dipimpin Edwin adalah yang terkecil. Anggotanya tak seberapa jika dibandingkan kelompok mahasiswa kiri, apalagi yang di kanan. Kelompok Edwin beken karena aktif dalam aksi mahasiswa. Namun, kelebihan utama mereka terletak pada kemampuan membuat dan menguasai forum diskusi, kekuatan jaringan hingga ke luar negeri, dan sering menulis opini di media. Mereka selalu diundang pertemuan aktvis internasional. Enam bulan lalu, Jaringan menjadi host pertemuan aktivis Asia-Pasifik. Susah mendapat izin lokasi, akhirnya mereka membeli tiket kapal KM Kambuna rute Tanjung Priok-Bitung sebanyak jumlah peserta dan panitia, lalu menggelar pertemuan di kapal selama perjalanan.

Sambil menyalakan rokok, Edwin kembali menatap Johan. “Belum ada kabar tentang Yuri dan Soviet?”

“Belum ada, Bang.”

Atong datang membawa baki berisi tiga cangkir kopi yang mengepul.  “Situasi gawat, Bang,” kata anak yang di KTM[5]-nya bernama Anton Suryadi itu. Sambil menyodorkan kopi, ia terus berucap, “10 anak punk masuk rumah sakit, 5 lagi ditahan di kodim. Dari kelompok buruh, 3 ditahan dan 5 dirawat. Teman-teman kiri juga banyak yang kena. 15 orang diopname.”

“Aku lihat Soviet kena tangkap. Kalian tak dapat informasi soal itu?” ujar Edwin

Atong menggeleng. “Kami melihat daftar nama yang dipegang Bang Indra. Tak ada nama Bang Yuri dan Bang Sovian di sana.”

“Aku akan temui Bang Indra sekarang. Kalian tunggu di sini.”

“Abang jalan sendirian?” tanya Atong

Ya, mumpung belum Maghrib. Kalian jangan keluar rumah. Hati-hati.”

Baru tengah hari esoknya Edwin kembali. Ia menemukan Johan dan Atong sibuk di depan komputer masing-masing. Johan mencatat jurnal kegiatan—yang suatu hari nanti ia cita-citakan terbit sebagai memoar seorang aktivis. Sesekali ia mengecek kabar terbaru dari milis. Atong menyusun data keuangan untuk menjadi laporan pertanggungjawaban bagi para donor di luar negeri. Lagi-lagi Yuri yang membuat mereka bisa mengakses funding dari donor.

Copy semua dokumen di disket. Kosongkan memori.” Edwin memerintah sambil melangkah ke dapur. 

Mereka bertiga tahu, sesuatu yang besar tengah terjadi dan mereka bisa tergulung oleh kemelut ini. Kabar-kabar yang didapat Johan dari milis[6] sudah menjelaskan: aktivis hilang, diskusi dibubarkan, dan beberapa orang ditangkap. Edwin tak banyak cakap lagi. Ia menjerang air dan meracik kopinya sendiri. Sambil merokok, ia berusaha duduk nyaman. Semalaman ia tak tidur.

Sejak kemarin di kantor Lembaga Advokasi Publik, Edwin melihat pemimpinnya, Indra Siregar, mengkoordinasikan orang-orang meng-update informasi tentang mereka yang terdampak aksi. Lembaga Advokasi Publik menjadi sentra informasi. Semua yang memiliki info terkait aksi itu harus mengirimkannya ke sana.

Indra mengirim satu per satu pengacaranya mendampingi aktivis yang ditahan sambil menyibak kemungkinan aktivis terciduk di markas militer dan polisi. Relawan disebar ke rumah sakit, mencari tahu demonstran yang terluka. Paralegal sibuk dengan urusan administrasi.

Edwin tak sempat lama berbincang dengan Indra. Pengacara itu mengatakan, kelompok Edwin bagus dalam menjalankan protokol darurat. Makanya semua selamat. Indra juga meyakinkan Edwin, Yuri dan Soviet pasti selamat juga.  Toh keduanya sudah senior. “Tapi situasi memang makin berbahaya. Beberapa aktivis di Jakarta, Jogja, dan Surabaya sudah ada yang hilang. Penangkapan di mana-mana. Junta sedang panik,” ujar Indra sambil memperlihatkan data terbaru tentang keberadaan para aktivis yang ikut demonstrasi tadi pagi.

Data itu lebih aktual dari yang diperlihatkan kepada Atong dan Johan siang sebelumnya. Nama Yuri dan Sovian dicatatkan dalam kolom “Belum Ditemukan”. Hanya nama mereka berdua yang ada di sana. Edwin lemas membayangkan kemungkinan terburuk pada keduanya. Ia teringat lagi pada malam ketika beberapa orang mengawasi tempat kost-nya. Semua berputar-putar dalam kepalanya. “Kunci pintu. Salah satu dari kalian tetap berjaga,” katanya kepada Johan dan Atong. Siang itu, Edwin tidur dengan gelisah.

Hingga waktu Isya, bukan azan yang membangunkan Edwin, melainkan goncangan keras Atong pada kakinya. “Bang Yuri pulang!”

Edwin terloncat. Banyak pertanyaan di kepalanya yang ingin ia lontarkan dengan antusias dan penuh rasa syukur. Tapi ia terhenyak. Yuri begitu pucat, murung, dan kumal. Ia terduduk lemas di kursi tempat Edwin minum kopi tadi. Diam saja. Kemeja biru dongkernya masih melekat.  Kacamatanya pecah sebelah. Tatapannya kosong.  “Bang Yuri sakit. Demam,” ujar Johan, tangannya memegangi dahi Yuri.

“Kau rebus air panas! Carikan handuk dan pakaian bersih,” ujar Edwin kepada Johan.  Lalu ia menengok Atong. “Hubungi Sentra Informasi lewat telepon umum, kasih tahu Yuri sudah pulang. Beli obat dan makanan!”

Edwin bersyukur Yuri telah pulang. Sudah mandi air panas, berganti baju bersih, dan berusaha beberapa kali menyuap bubur ayam. Untungnya ada tukang bubur ayam yang mangkal. Kacamatanya juga sudah berganti kacamata cadangan yang sengaja ia simpan di rumah itu.  Sekarang ia mengenakan celana training dan baju kemeja putih longgar tipis. Itu baju tidurnya.

Yuri memang unik. Dia hanya mau mengenakan baju kemeja untuk aktivitas apapun. Kalau berolahraga, cuma lari-lari atau sekadar ikut-ikutan main bola, dia memakai kemeja flannel. Ke mana-mana ia perlente dengan kemeja dan celana bahan. Rambutnya tersisir rapih dengan pomade ala remaja 70-an.

Tapi Yuri tak pernah diam begini. Ia orator hebat, pendebat yang tangguh, punya retorika memukau. Jaringannya di Jakarta luar biasa.  Kalangan aktivis sejak angkatan 66 mengenalnya. Begitu pun bekas-bekas Jenderal yang berbalik melawan Orde Baru, wartawan-wartawan senior, para seniman, penulis, orang kedutaan asing, sampai beberapa pengusaha.       

“Bang Yuri sudah minum obat, mudah-mudahan dia cepat tidur,” ujar Johan sambil menghampiri Edwin di ruang depan.

Edwin hanya terpekur. “Apa yang bisa bikin orang sehebat Yuri Pramudya menjadi seperti ini?” Pertanyaan itu berputar-putar mengelilingi otaknya. Ia lalu menoleh pada Johan. “Kau hati-hatilah menulis memoar di bagian ini. Kita belum tahu apa yang terjadi. Jangan berspekulasi.”

“Ya, bang..”

“Istirahatlah. Hari-hari esok sepertinya bakal makin meletihkan..”

Hingga azan Isya esok harinya, Yuri masih juga diam meski badannya tampak lebih segar. Edwin tak tahan. Melihat Yuri di depannya sudah menelan suapan bubur ayam yang terakhir, ia langsung menyergah. “Apa yang terjadi? Kau sudah 24 jam tak bicara. Soviet sudah 60 jam hilang. Koran hari ini sudah menulis soal hilangnya Soviet”

Yuri masih diam. Raut mukanya mengeras. Ia seperti mengumpulkan energi. Johan dan Atong memperhatikan kedua seniornya. Mereka berempat duduk mengelilingi meja.

“Bicaralah,”  ujar Edwin lagi. “Kita sudah bertahun-tahun jalani ini semua. Jika kau ingin keluar, tak apa-apa. Tapi pastikan kau akan baik-baik saja..”

Yuri mereguk air minum di gelas. “Aku sudah bilang, jangan ikut gerakan blackbloc itu. Mereka petualang,” katanya, lemah.

Edwin menunggu, tapi Yuri tak melanjutkan omongannya. “Maksud kau apa?” Edwin penasaran. “Awalnya kau memang tidak setuju. Tapi akhirnya ikut juga. Kenapa dengan aksi itu?

Yuri masih diam. Edwin gemas.  “Kita sudah berkali-kali bikin aksi atau ikut aksi yang dibikin kawan-kawan. Biasa, ‘kan?” Suara Edwin meninggi, jemarinya menunjuk-nunjuk.

“Aku menjaga kalian,” Yuri menjawab pelan.

“Masa bodoh! Kita saling menjaga. Apa sebenarnya yang kau tahu?”

“Aksi itu bukan inisiatif mahasiswa..” ujar Yuri, kini suaranya sudah lebih kencang.

“Memang bukan. Kita semua tahu soal itu. Itu gagasan aktivis senior. Tapi kita semua setuju melakukannya”

“Itu provokasi agar tentara punya legitimasi menangkapi semua aktivis.”

“Bah! Semua aksi juga bisa dianggap seperti itu. Kau jangan asal ngomong. Lagipula kita semua pakai masker.”

“Percuma pakai masker, semua jaringan sudah diketahui. Bahkan jaringanku di Jakarta sudah terdeteksi,” sengit Yuri. “Kau tahu, Edwin, dari persiapan aksi kemarin itu, semua informasi tentang aktivitas oposisi di kota ini bocor semua.”

“Maksud kau?”

“Penculikan, penangkapan, sudah dimulai di kota-kota lain. Di sini mungkin sebentar lagi. Dari bocornya persiapan aksi kemarin, mereka mendapat banyak data penting. Besok-besok kau akan lihat, para penyandang dana di kota ini akan dimatikan bisnisnya. Dijegal karirnya”

“Aku tak percaya,” kata Edwin. “Mereka mungkin sudah punya data itu jauh sebelumnya. Bahwa ada tekanan kepada oposisi, itu biasa dalam perjuangan. Lagipula, kenapa kau sampai harus bersikap tak jelas seperti tadi?”

“Karena aku tak tahu harus bersikap apa kepada kau?”

“Maksud kau?”

“Edwin Hidayat,” Yuri menarik nafas. “Kau yang dianggap sebagai pembocor data itu! Kau yang dianggap informannya! Intel!  Mata-mata!”

“Apa?!” Edwin seketika bangkit hendak menerjang Yuri. Johan dan Atong sigap menahan.

“Mereka memberikan ini..” kata Yuri seraya membuka dompetnya dan menarik sehelai foto dengan tenang. Edwin segera melihatnya.

“Gila! Ini foto aku di Kodam sebulan lalu. Kau tahu aku mengantar Salma menemui Om-nya di sana. Kalian semua tahu soal itu sejak lama!”

“Aku tahu, aku percaya kau, Win. Tapi foto ini akan segera tersebar di kalangan aktivis. Dan aku mencemaskan kau!”

“Aku bisa menjelaskan kepada mereka!”

“Sulit. Sebentar lagi milis aktivis akan dipenuhi kabar tentang pengkhianatan kau. Tentara juga punya catatan sejak persiapan aksi kemarin. Siapa yang kasih donasi, siapa yang bertugas menghubungi media, semuanya. Itu pun kabarnya kau yang membocorkan!”

“Aku tak pernah bicarakan aksi ini sama siapa pun. Aku juga tak pernah kehilangan catatan apa pun,” Edwin tercenung.

“Aku bisa saja percaya kau. Sejak kemarin aku diam bukan karena soalku sendiri. Aku mencemaskan kau dan aku sulit memulai menjelaskannya kepada kalian. Kau terkena gerpol[7] tingkat tinggi para petualang itu. Kau dihajar agar para aktivis pergerakan mati sendiri dalam intrik.”

Mereka berempat terdiam..

Tok!  Tok! Tok!

Ada yang mengetuk pintu. Tak ada yang tahu alamat ini dan tak pernah ada yang bertamu ke sini. Edwin sigap mengintip lantas membukakan pintu.  “Salma?” Edwin segera menarik tangan perempuan itu agar masuk dan lekas menutup pintu kembali. “Ada apa?”

“Kang Sovian yang memberi alamat ini sewaktu pertama kali dibawa masuk ke rumah sakit, tadi sore. Aku sedang ada di sana. Sejam lalu Kang Sovian meninggal.”

***

Ribuan pelayat mengantarkan jenazah Soviet ke pemakaman di kampungnya di tepian Samudra Hindia. Pelbagai media dalam dan luar negeri berdatangan.  Yuri berhasil mengusahakan wawancara banyak media terkemuka dengan Edwin, seputar kematian Soviet dan pergerakan menentang Orde Baru. Edwin juga memanfaatkan momentum itu untuk menyangkal fitnah yang ditimpakan kepadanya. Sejauh ini berhasil. Selebaran bahwa Edwin adalah informan militer dan foto bahwa dia pernah berada di Kodam bisa terbantahkan dengan sangat halus.

Bahkan namanya menjadi sangat popular dan dihormati. Para aktivis senior dari kota-kota utama menyatakan dukungan dan sanjungan terbuka lewat milis dan media. Dan itu membuat kalangan opisisi di kotanya sungkan mengecam Edwin karena isu pengkhianatan dan foto itu.

“Soviet menyelamatkan aku. Tidak hanya aku, tapi seluruh pergerakan di kota kita,” kata Edwin ketika mereka berempat berkumpul di tepi pantai, di hari ketiga kematian Soviet, di malam yang diterangi sabit jingga. “Kematian Soviet membetot seluruh perhatian publik dan isu kian menggumpal. Gerpol kepadaku jadi dianggap isu kecil. Kini semua berani bersuara, berani turun ke jalan. Bahkan aksi kacau yang kita lakukan kemarin jadi tak relevan lagi.”

“Soviet orang yang baik,” ujar Yuri. “Sejarah akan mencatat nama dia selama-lamanya. Pahlawan Wahyu Sovian”

“Tapi kematiannya akan tetap menjadi misteri.”

Soviet konon masih sadar ketika dibawa ke Rumah Sakit sebagai korban tabrak lari 15 menit sebelumnya. Padahal sudah dua hari dia menghilang. Empat jam setelah masuk IGD, dia dinyatakan meninggal. Banyak saksi mata melihat langsung peristiwa tabrak lari oleh mobil sejenis Kijang itu. Lokasinya hanya satu dua kilo dari Rumah Sakit. Pelakunya masih gelap. Entah di mana Soviet berada usai aksi sial itu kocar-kacir hingga ia terlihat ditabrak Kijang.

Yuri juga mengaku melihat Soviet ditangkap tentara. Tapi ia juga apes—atau malah beruntung—karena kena garuk polisi, bukan tentara. Kacamatanya sampai pecah sebelah. Ia sempat menunggu di Markas Polres. Didiamkan begitu saja. Ketika hendak diperiksa, ia meminjam telepon sang penyidik untuk menghubungi kontaknya di Jakarta: seorang tokoh politik nasional, berpengaruh internasional, aktivis lama yang juga pemilik jaringan media terkemuka. 

Sejak itu situasi jadi menguntungkan buat Yuri. “Polisi tidak jadi memeriksa aku. Mereka hanya menahan selama 24 jam supaya aku tidak dipungut pihak lain. Kepada anak buah Bang Indra, mereka tak mengaku aku ada di dalam,” katanya.

“Setelah itu, Bang?” Atong sampai ia lupa jika gelas kopi di genggamannya telah jadi dingin. Debur ombak yang tak henti bersahutan tak ia dengar lagi.

“Kami jadi saling bercerita. Aku ngomong sejarah gerakan perlawanan polisi di era kemerdekaan dan dia bercerita soal informasi yang katanya bocor lewat si Edwin ini. Mereka juga yang ngasih foto Edwin di Kodam. Katanya itu sudah tersebar kemana-mana”

Edwin terbahak. Ia membayangkan Yuri menguliahi polisi itu dengan cerita tentang perjuangan Brimob. Atong dan Johan pun terkekeh. Yuri tak akan bercerita soal detail aksi.  Dia tak pernah tertarik. Dia adalah penikmat sejarah, ide-ide besar, dan grand theory.  Di luar itu, hanya modeling economy yang memikatnya. Namun, sekering apapun ceritanya, Yuri punya kemampuan berkisah yang luar biasa. Edwin, Johan, dan Atong membayangkan si polisi terpikat pada cerita Yuri—seperti yang sering mereka alami–lalu keceplosan dan balik bercerita soal bocornya informasi dari para aktvis, lalu memberi foto Edwin yang berada di Kodam.

“Aku kelelahan di kantor polisi. Lupa makan, tegang, tidak tidur karena kebanyakan minum kopi. Tapi gerpol yang dilakukan kepada Edwin bikin aku cemas. Ini pasti melibatkan sebagian orang militer,”  ujar Yuri.

“Sebagian?” tanya Johan.

“Iya… Edwin ada di Kodam. Pasti mereka yang memotret. Entah siapa. Kita hanya tahu bahwa militer terpecah sejak beberapa tahun ini…

“Sehabis itu?”

“Akhirnya kontak kita di Jakarta mengirim utusan untuk menjemputku dari Polres.” Yuri menghela nafas panjang. “Setelah ini, aku akan ke Amerika. Akan kukampanyekan Piagam Samudra di sana.”

Sore selepas Ashar tadi, tiga ratusan aktivis, jurnalis, dan warga sini mengadakan tahlilan tiga hari kematian Soviet. Rumah Soviet tak bisa menampung orang sebanyak itu hingga jemaah luber sampai ke pantai. Usai tahlilan, di kala sunset di pesisir, para aktivis membacakan pernyataan yang sudah mereka susun sejak pagi. Isinya soal tuntutan pengusutan kematian Soviet. Tentu ada juga desakan agar Presiden mundur, tentara berhenti berpolitik, dan sejumlah agenda reformasi lainnya. Mereka menamakan pernyataan itu “Piagam Samudra”.

“Kapan Abang pulang?” tanya Atong.

“Beberapa tahun lagi. Aku akan meneruskan kuliah di sana.”

Atong dan Johan terbelalak. Tapi Edwin sudah tahu rencana itu sebelum Yuri lulus menjadi sarjana.

Sambil melepas kacamata dan membersihkannya dengan sapu tangan, Yuri menatap Johan. “Eskalasi politik pasti bakal kian memanas. Kau sekarang yang memimpin pergerakan.”

“Lho? Bang Edwin?” Johan kebingungan, matanya beralih kepada Edwin.

“Aku jadi anak buah kau. Tapi sekarang aku mau beresin skripsi dulu. Kalau stuasi makin panas, nanti kampus keburu ditutup, makin lama aku jadi sarjana. Sudah enam tahun aku kuliah! hahaha!.”

“Tapi, Bang,” Atong lebih cepat bicara sebelum Johan membuka mulut lagi. “Dalam situasi begini, kepemimpinan abang berdua sangat dibutuhkan…”

Yuri tersenyum lebar. Padahal dia yang tampak lucu. Malam-malam di tepian pantai, dia masih berkemeja rapih, bersepatu pantofel. “Kau sudah berpengalaman dan tahu apa yang harus dikerjakan. Atong akan membantu. Pastikan saja, ada struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu, dalam struktur semacam itulah kepemimpinan kau akan efektif.”

“Foucault[8]…” desis Johan disambut bahak mereka semua. Kalau ada Soviet, kalimat Yuri tadi pasti langsung didebat. Tidak seperti itu Soviet memandang struktur dalam kekuasaan.

Johan mulai bergaya serius, “Ini menjelaskan apa yang kita alami. Kekuasaan tidak bulat, ia lebih berkaitan dengan strategi berkuasa. Makanya polisi melepaskan Bang Yuri karena mereka juga berstrategi dalam kemelut ini…”

“Maksud kau, polisi merasa sudah saatnya tidak tunduk pada tentara?” sergah Atong.

“Boleh jadi begitu. Dan kekuasaan tentara juga tidak dipegang satu orang tertentu.” Edwin yang malah menjawab. “Ada ketimpangan di tubuh militer sehingga ada persaingan keras di sana.”

“Dan kekuasaan terpengaruh oleh wacana. Kekuasaan-pengetahuan. Terkonsentrasi dalam kebenaran ilmiah,” Atong menimpali sambil tak henti terkikik. “Kita ini aneh, ngobrol di sini seperti di forum diskusi saja. Membahas peristiwa harus paketeori.”

Johan tertawa dan memungut sekeping karang yang pipih. “Kekuasaan-pengetahuan itu yang bikin Abang berdua fokus lagi ke studi?” tanyanya ambil melempar karang itu ke laut.

“Ya,” Yuri menjawab pelan. “Awal 98 nanti, Edwin sudah harus jadi sarjana komunikasi. Dia juga akan ke Amerika untuk meneruskan studi sambil magang di CNN.”        

Johan dan Atong lagi-lagi terperangah.

“Hahaha…. Sudahlah,” Edwin tertawa menimpali. “Ini waktunya buat kalian. Pimpin pergerakan dan pastikan kita menang. Aku harus menepi supaya gerpol kemarin tidak mengganggu pergerakan kita.”

“Dan, ingat,” sahut Yuri, serius. “Jangan terpesona retorika kiri ekstrem. Mereka tidak efisien.”

Kilatan cahaya tiba-tiba membelah langit tanpa gemuruh apa pun. Malam sesaat jadi terang. Orang-orang sini menyebutnya kingkilaban. Edwin menengadah, menghembuskan asap rokok ke langit. “Soviet tak setuju ucapan kau,” katanya kepada Yuri. “Dia tak suka kau mengecam orang kiri.”

Keempat sahabat itu terdiam beberapa jenak. Debur ombak sekarang terdengar lebih kencang. Lampu perahu nelayan berkedip nun di tengah laut.

“Win, kau serius dengan Salma?”  Tiba-tiba Yuri memecah kesunyian.

“Entahlah, umurku baru 24.”

“Salma juga 24 tahun, ‘kan? Perempuan seumur itu suka menuntut lebih cepat menikah.”

“Ya, Salma seumur denganku. Dia baru mau lulus Akademi Perawat karena sempat menganggur dua tahun selepas SMA. Tak ada biaya. Omnya itu yang sekarang biayai dia.”

“Berapa lama abang pacaran dengan Teh Salma?” Atong penasaran.

“Hampir setahun, setelah Salma mengontrak rumah di depan kost-an.”

“Abang sudah pernah ikut ke kampungnya?” Kali ini Johan yang mau tahu.

“Belum…” Edwin menjawab lemah. “Om-nya itu pun tak pernah aku jumpai. Waktu aku antar Salma untuk ketemu Om-nya di Kodam, aku hanya sampai pos penjagaan dalam.”

Yuri mereguk air minum di botolnya.  “Kalian harus bicara secara khusus. Kau akan cukup lama di Amerika, Win.”

“Ya…”

Edwin tahu dia amat mencintai Salma. Tapi kematian Soviet membuat Salma amat terpukul. Benar-benar ia menyesali kegagalan rumah sakit menyelamatkan nyawa Soviet. Salma menilai Soviet sangat tak layak terbunuh seperti itu. Ia pun mendesak Edwin meninggalkan pergerakan. “Aku tak mau kehilangan kamu,” katanya. Ia senang Edwin tak lagi memimpin jaringan dan tak suka jika Edwin bertandang ke sekretariat. Pertengahan 1997, Salma lulus dari Akademi lalu magang di rumah sakit.

Edwin kadang ikut aksi mahasiswa yang terus memanas jelang tahun 1998. Ia juga harus menyelesaikan skipsinya sesegera mungkin. Pertemuannya dengan Salma menjadi jarang. Kadang seminggu sekali, kadang dua mingguan. Ia sempat mengatakan ingin melanjutkan studi ke Amerika. Tapi kekasihnya malah tersenyum geli. “Selesaikan dulu skripsimu.” 

Sehabis bicara skripsi, tak banyak kata yang mereka ucapkan. Hanya gairah yang tertumpah saat bercumbu. Sampai pada suatu malam, Salma terdiam di pelukan Edwin. “Aku sudah mendapat surat penempatan,” ujarnya, pelan. Kepalanya bersandar di dada Edwin.

“Ke mana?”

“Dilli.”

Edwin terperanjat. Kedua tangannya menggenggam bahu Salma “Jauh sekali? Kamu akan ambil?”

“Aku perlu penghasilan sendiri. Sudah terlalu lama aku menjadi beban orang lain..”

“Kamu tak sedih harus meninggalkan aku?”

“Edwin, aku sangat mencintai kamu. Aku tahu, aku tak akan pernah lagi jatuh cinta seperti ini. Tapi jalan ini harus aku tempuh, untuk hidupku dan keluargaku…”

Edwin tak tahu harus bicara apa. “Kapan kamu berangkat?”

“Bulan depan…”

Maka sebulan itu pun mereka jadi sering bersama. Tanpa mimpi masa depan yang terjanjikan. Mereka seperti bersepakat untuk menikmati waktu yang ada, mereguk cinta, menelan cemas, sampai nasib memisahkan. 

“Aku akan kirim surat. Nomor telepon Dilli jangan sampai hilang,” kata Salma di stasiun itu. Mereka berpelukan erat. Kereta ke Surabaya sebentar lagi berangkat. Ciuman perpisahan baru berakhir ketika para penumpang kembali diminta memasuki kereta. Salma melambaikan tangan, menghapus butiran air mata di pipinya, dan berbalik melangkah menuju gerbong. Edwin menatap nanar. Dua bundaran sempurna di atas tungkai kaki itu mulai bergerak indah. “Tak ada yang lain yang seperti itu di dunia,” bisik hatinya.

                                                  ***

Salma tak pernah pergi. Ia selalu ada dalam kenangan Edwin.  Begitu banyak malam dilewati Edwin dengan mimpi-mimpi tentang Salma dan air matanya tiba-tiba mengalir. Ia tak pernah bisa lagi menjumpai kekasihnya setelah perpisahan di stasiun itu. Hanya sekali suratnya pernah datang—dan itu ia simpan selama bertahun-tahun. Sambungan telepon ke Dilli pada saat itu teramat sulit.

Hingga angkara melanda Lorosae[9], Edwin tak tahu lagi Salma di mana.  Di Amerika, Edwin kerap membeku dalam rindu. Media sosial yang muncul belakangan tak juga bisa menolong. Dari orang di rumah sakit di kota itu, ada kabar, Salma hilang dalam rusuh referendum 1999[10].

Hanya Salma yang hilang dari hidup Edwin. Setelah fase kehidupan di kota itu, Edwin selalu tahu di mana Yuri, Atong, dan Johan berada. Bertahun silam, sebuah reuni kecil diadakan di kota mereka. Yuri datang dengan atribut mentereng:  PhD dari Boston University, direktur lembaga riset terkemuka, dosen luar biasa di banyak kampus, konsultan Bank Dunia, dan komisaris bank swasta terbesar di Indonesia.

“Doktor Yuri Pramudya!  Generasi termuda Mafia Barkeley[11],” Edwin mengangkat gelas, mencandai temannya yang baru tiba.  Namun Edwin tak sepenuhnya merasa bercanda. Yuri bakal memegang kendali ekonomi negeri ini, tak lama lagi. Dan yang dicandai cuma bisa mengumpat kecut. “Semprul...”

Johan masih tinggal di kota itu, menjadi dosen di almamaternya, aktif dalam gerakan Hak Azasi Manusia, dan tengah menuntaskan S3 Sosiologinya di IPB. Atong menyelesaikan MBA di Singapura, menjalankan bisnis keluarga dengan amat berhasil, dan menjadi miliarder yang siap menjajaki politik di DPRD Provinsi di kampungnya, di Sulawesi.  Edwin sendiri, setelah kehilangan Salma, kehilangan minat pada politik dan organisasi. Sepulang magang dan kuliah di Amerika, ia bergelut di industri media, menulis di sana-sini, dan tampil di banyak forum diskusi. Ia mencoba menyelesaikan lagi studi master keduanya di dalam negeri, di bidang ilmu ekonomi.

Sehari usai reuni kecil di kota itu, mereka melawat ke pesisir Samudra Hindia, mengadakan haul 10 tahun kematian Soviet.  Edwin, Atong, dan Johan benar-benar kaget melihat Yuri mengendarai motor. Model pakaian dan rambutnya mirip biker necis. Betul, mereka sudah bersepakat akan ke pesisir samudra dengan naik motor. Tapi, hingga Yuri datang dengan motornya sendiri, mereka belum percaya Yuri mau berpetualang macam itu.

Dan kekagetan itu belum seberapa.  Motor yang dibawa Yuri adalah Honda GL-100 hitam yang dulu ada di Markas Cempaka. Modifikasi gubahan Soviet masih terlihat dalam versi lebih serius, profesional, dan jauh lebih mahal. Panel-panel aplikasinya kini mewah dan digital, part dan aksesorinya diambil dari motor mahal terkini.  Tangki dan tutup aki diberi emblem sesuai aslinya. “Mesinnya sekarang jadi 250cc. Kaki-kaki, pengapian, kelistrikan, aku benahin. Dijamin kuat.” Di perjalanan terungkap, Yuri mengabiskan Rp 50 juta untuk membuat motor itu keren, kokoh, dan legal. “Motor ini adalah monumen perjuangan, persaudaraan, dan keluarga,” kata Yuri.

Semua terbayang dalam benak Edwin, seperti baru kemarin. Padahal reuni dan touring bermotor itu saja sudah lebih dari 10 tahun berlalu. Kini Edwin akan menemui lagi seseorang dari masa silamnya di kota itu: Rivai Muchtar, Jenderal TNI, Kepala Badan Intelijen. Ini kali pertama Edwin bertemu langsung empat mata dengan Rivai.

Sejak dari kota itu, Rivai sudah berpindah-pindah tugas. Namun ia selalu berkarir di dunia intelijen sehingga tak banyak publikasi tentang dirinya. Pernah juga, sih, ia menjadi Dandim di Sumatera, Danrem di Sulawesi, dan Pangdam di Papua. Tapi tak lama ia memegang jabatan-jabatan struktural itu. Satu hal yang baru disadari Edwin, entah kenapa, dia tak sempat bercerita kepada siapa pun tentang penyelamatan dirinya oleh Rivai di kala aksi ricuh dulu itu. “Ini saatnya berterima kasih,” gumam Edwin.

Rivai sendiri menolak permohonan wawancara Edwin. Ia meminta Sigma TV mewawancarai juru bicara Badan Intelijen. Tapi ajudannya menghubungi Edwin dan menyampaikan undangan ngopi-ngopi informal di kantor sang Jenderal. Edwin setuju. Ia mengirim host-nya yang cerdas dan cantik untuk mewawancarai sang juru bicara. Di saat yang sama ia akan minum kopi dengan Rivai di lantai lain di Markas Badan Intelijen.                                                 

Ruang kantor Jenderal Rivai Muchtar berada di lantai 3.  Keluar dari lift, di lobi yang terletak tengah-tengah gedung, suasana amat sunyi. Edwin diarahkan ke sisi kiri, melewati koridor yang lampunya remang-remang, menuju sayap barat gedung tersebut.  Di sebelah kanan lift, bagian sayap timur gedung tampak tertutup pintu.

Seorang perwira muda yang gagah, dengan jaket dan celana wool hitam, mendampingi Edwin menemui Rivai. Ia mengetuk pintu ruangan Kepala Badan dan langsung disambut sang Jenderal dengan tawa lebar kala melihat Edwin. Tangannya membentang terbuka, memeluk Edwin dengan erat, lalu menjabat tangannya kuat-kuat. “Duduklah, kita ngopi-ngopi di sini,” katanya mempersilakan. Perwira muda berjaket wool hitam itu pamit setelah memberi hormat.

“Apa kabar, Jenderal?”

“Hahaha… Baik.. Baik.. Sudahlah. Jangan berbasa-basi. Panggil saja aku Om. Kau sahabatnya Yuri. Jadi, kau itu keponakan aku juga..”

Edwin tersedak. Awalan yang luar biasa. Ia langsung terpaku menatap Rivai. Tak pernah terduga ia bakal dibikin kaget seketika. Hatinya membatin, “Yuri keponakan Rivai?”

“Ayah Yuri adalah abang sulung saya,” Rivai membakar cerutu dan menuang kopi panas dari mesin coffee maker klasiknya. “Dia aktivis 66 yang idealis dan brilian, tapi wafat ketika Yuri masih SMP.”

Edwin sudah tahu bagian cerita yang terakhir itu sejak dulu. Ia menyalakan rokok ketika melihat Rivai asyik menghisap Gurkha Black Dragon[12] setelah menyodorkan secangkir Long Black[13] kepadanya.

“Dia yang membiayai saya dari SD sampai lulus Akmil. Dia yang mengenalkan saya kepada teman-teman aktivisnya. Teman-temannya itu juga yang membantu Yuri selama kuliah.”

Edwin tertegun. Rivai lalu melanjutkan ceritanya tentang teman-teman ayah Yuri yang membuatnya “tercebur” dalam kelompok para Jenderal yang gerah dengan kekuasaan Orde Baru. “Akhirnya saya terlempar dari pasukan elit.” Rivai tak hentinya tersenyum. “Tapi ada hikmahnya. Saya jadi bisa menjaga kalian tetap aman di kota itu. Atasan saya menilai kalian efektif menggerakan reformasi. Temen-teman ayah Yuri juga sama puasnya. Kalian memang bisa diandalkan”

“Saya tak tahu harus ngomong apa..” lirih Edwin.

“Saya selalu bangga kepada kalian. Yuri mungkin akan menjadi Menteri Keuangan, Doktor Johan Iskandar sekarang Ketua Komnas HAM, Anton Suryadi pasti menang di pemilihan gubernur dua bulan lagi. Dia akan berhasil di Sulawesi. Nanti kita dukung dia jadi Gubernur DKI.”

“Terimakasih, Om.” Edwin masih sulit menyusun kata-kata. “Om sudah melepaskan saya setelah aksi yang ricuh itu.”

“Hahaha… Ya ya ya…Saya juga yang menjemput Yuri dari Polres dan menyediakan motor buat kalian.” Kepulan asap cerutu lagi-lagi mengepul lembut. “Orang-orang saya juga melapor, kau bisa atasi gangguan di rumahmu di Gang Wanara dengan pesona seorang playboy, hahaha..!”

Edwin lagi-lagi melongo. Rasanya tak pernah ia merasa sebodoh ini seumur hidupnya. Entahlah, seorang master ilmu komunikasi, lebih dari 15 tahun bekerja di media, tapi tak pernah tahu informasi sepenting ini tentang dirinya sendiri. Badannya seolah mengkerut lebih dari 50 persen. Abu rokok di tangannya memanjang tanpa sempat dihisap, jatuh mengenai lantai. Rivai membiarkan saja.

“Terima kasih, Om. Sudah menjaga kami selama masa pergerakan.”

“Yang dulu menjaga kalian sudah pensiun. Dia sekarang jualan bubur ayam. Katanya banyak yang suka. Termasuk kalian di Gang Cempaka…,” Rivai kali ini terbahak keras.

Mau tak mau Edwin tersenyum, kecut. “Kenapa Om ceritakan semua ini kepada saya?”

“Win, kau tahu, saya sudah pensiun dari militer enam bulan lalu. Tapi Presiden meminta saya tetap memegang lembaga ini. Ada banyak urusan yang harus kita selesaikan. Aksi-aksi yang kemarin terjadi itu cuma soal kecil. Ada yang jauh lebih besar dari itu. Geopolitik, kepentingan bisnis, keuangan global, rebutan tambang dan energi, sentiment primordial…”

“Maksudnya bagaimana, Om?”suara Edwin nyaris tak terdengar.

“Saya perlu bantuan. Kau harus bantu saya. Sekarang, giliran kau menjaga saya”

Lho?” Edwin tak mengerti. Matanya terbelalak. Kopinya sama sekali tak tersentuh.

“Sudahlah. Saya atur kau menjadi Direktur Pemberitaan sekaligus Pemimpin Redaksi Sigma TV.  Dengan posisi itu, kau bisa lebih leluasa bantu saya. Nanti teknisnya saya kabari.”

“Kenapa saya, Om?”

“Kenapa tidak?” sergah Rivai. “Win, saya sudah purnawirawan. Bagaimanapun, daya cengkeram saya pasti berkurang. Kau kan tahu, kekuasan itu tidak pernah bulat.  Di sini juga begitu. Ada orang yang bakal dikirim ke sini untuk mengganggu saya. Dalam situasi sekarang, saya tak mau ambil risiko. Saya perlu semua potensi bantuan.”

“Saya tidak pernah tahu hal-hal semacam ini, Om.  Sama sekali tidak berpengalaman.” Perasaan dan benak Edwin kian berkecamuk.

“Edwin Hidayat, kau itu lama di lapangan. Tidak cuma kerja di ruangan. Jaringan kau amat kuat. Kau peraih dua gelar master dari dua disiplin ilmu. Sekarang sedang S-3. Pasti kau akan cepat belajar. Tolong, bantu saya. Bantu Republik ini. Saya tahu kamu bisa.”

“Saya akan pikirkan serius, Om.. Terima kasih atas kepercayaannya..” Benar-benar Edwin merasa lidahnya terkunci, hingga ia teringat sesuatu. “Lantas apa yang sebenarnya terjadi pada Soviet, Om?  Maksud saya almarhum Wahyu Sovian?”

Rivai jelas siap dengan pertanyaan itu. Tapi tak urung ia membutuhkan waktu untuk menjawab. “Saya sudah mengusulkan Wahyu Sovian dinyatakan sebagai pahlawan oleh negara. Tentu resminya diajukan oleh kampus.”

“Kenapa Soviet terbunuh?”

“Win, sudahlah, toh semua berubah menjadi lebih baik setelah kematian Sovian. Kau yang seharusnya terhantam isu pengkhianatan, akhirnya terselamatkan. Padahal, tanpa kau sadari, informasi yang bocor itu memang dari kau. Gerakan rakyat jadinya tak tertahan.”

“Kelompok Om yang menghabisi Soviet? Untuk menciptakan martir?”

“Edwin, teman kita Sovian berada pada posisi yang keliru di saat yang keliru. Aku bersumpah tidak membunuh Sovian,” Rivai tertahan sejenak. “Aku hanya seorang mayor waktu itu, tak tahu persis apa yang terjadi.”

“Tapi sekarang Om mestinya sudah tahu…”

“Selama lebih dari 48 jam sebelum kematiannya, Sovian berada dalam kekuasaan banyak pihak. Diambil oleh satu kekuatan, lalu di-bond oleh yang lain, lalu dipinjam lagi untuk dikorek keterangannya. Lalu dia bisa lari, tertabrak, masuk rumah sakit, dan aku tak tahu lagi yang terjadi.”

“Saya masih tidak mengerti…”

“Ada banyak kepentingan bertumpuk di kota itu, saat itu. Pasukan yang membubarkan aksi tidak bergerak satu komando. Di setiap titik Sovian terlihat sebelum mati, ada kekuatan yang bergerak sendiri. Dari tempat aksi sampai ke rumah sakit. Kita tak pernah bisa membuka itu semua secara clear, berdasarkan hukum, sehingga cuma jadi spekulasi.”

Kali ini Rivai jadi terlihat lebih tua. Entahlah, ada sisi rapuhnya yang sekilas berkelebat. “Bantu Om, Edwin. Biar kemelut dulu itu tak terjadi lagi sekarang. Om ingat catatan tentang Edwin, makanya Om tahu, Edwin bisa membantu Om…”

Edwin menghela nafasnya. “Saya akan bantu Om,” katanya, tanpa yakin dengan ucapannya itu. Ia cuma tahu, ia butuh waktu untuk mengunyah semua informasi yang nyaris meledakkan otaknya hari ini.

Edwin pun pamit setelah bersalaman. Rivai terus menepuk-nepuk bahunya, memberi keyakinan. Kecamuk di benak Edwin tak juga mereda tapi ia tahu, ia mesti menjaga sikap. Sambil terus mengatur nafas dan air muka, ia melangkah pelan meninggalkan ruang Kepala Badan Intelijen, merayapi koridor sayap barat yang remang-remang, menuju lift di lobi tengah yang benderang.

Sekitar lima meter sebelum lobi, ia mendengar bel lift berbunyi dan seorang lelaki dengan jaket dan celana wool hitam melangkah cepat dari sana, berbelok ke kanan, menuju sayap timur,lalu berhenti di depan pintu. “Perwira muda yang lain, mengantar tamu yang lain,” pikir Edwin. Dan memang ada sesosok lain keluar dari lift, lalu berhenti satu meter di belakang si perwira muda, menunggunya menyentuhkan jempol pada finger scanner untuk membuka pintu.

Dalam sedetik pintu terbuka lebar. Si perwira muda masuk lalu berdiri di pinggir koridor. Punggungnya menempel di dinding, kepalanya sedikit menunduk memberi hormat. Sesosok perempuan ramping berkemeja putih, dengan warna kerudung senada celana wool biru tuanya, berjalan melenggang melewatinya. Anggun dan percaya diri. Hingga pintu itu menutup secara otomatis, Edwin masih terpana. Betapa sempurnanya dua bundaran itu. “Tak ada yang lain yang seperti itu di dunia.”

                                                                ***


[1]Anarko adalah sebutan singkat bagi Anarkisme, salah satu pemikiran kiri yang percaya bahwa manusia bisa memberi manfaat terbaik bagi masyarakatnya jika tidak diperintah siapapun dan tidak hidup dalam tekanan otoritas. Mereka menyanjung kebebasan individu dan bersimpati pada kaum miskin kota, petani, dan buruh tani. Gagasan ini ditawarkan Gerrard Winstanley dan William Goodwin pada abad 18. Di akhir abad 19, muncul pemikiran lebih tajam dari Max Stirner, Pierre Joseph Proudhon. Mikhail Bakunin, dan Peter Kropotkin. Anarkisme memiliki banyak varian seperti Anarko-Komunisme, Anarko-Sindikalisme, Anarko-Feminisme, Anarkisme individualisme, Anarkisme Hijau, atau Anarko-primitifisme. Dalam perjuangannya, sedikit-banyak, mereka membolehkan kekerasan seperti  aksi langsung (merusak fasilitas umum), sabotase, perusakan, dan semacamnya. 

[2]Taktik Black Bloc berakar dari tradisi pembangkangan sipil. Tujuannya mendapatkan perhatian publik dan media serta menimbulkan kepanikan kaum otoritas. Dilakukan kelompok kecil yang berani bertindak agresif,  dalam aksi besar, sambil menekan hasrat mendapatkan kejayaan pribadi. Berkembang dari gerakan Mahasiswa Paris tahun 1968 dan protes otonomisme buruh Jerman pada 1970. Taktik ini dikembangkan dalam rally anti-reaktor nuklir di Jerman pada 1977hingga 1980. Taktik Black Bloc juga diterapkan dalam aksi Hari Buruh 1980 di Berlin, Jerman.

[3]Sebuah merek alat untuk menayangkan siaran televisi dengan memanfaatkan sinyal seluler 3G/4G dan Internet Protocol (IP) untuk mentransmisikan video.

[4]TV Magazine adalah program televisi yang menampilkan informasi mendalam, dengan gaya feature, terdiri dari beberapa segmen, dalam durasi cukup panjang. Ditayangkan pada program tersendiri yang terpisah dari program berita.

[5]Kartu Tanda Mahasiswa

[6]Milis adalah singkatan serampangan dari mailing list, grup sejumlah akun alamat email di Internet. Grup ini memiliki administrator dan bisa bersifat terbuka atau tertutup, dengan setiap anggota dapat membaca pesan yang disampaikan dan mengirimkan balasannya. Pada paruh kedua dekade 90-an, milis menjadi sarana komunikasi penting dan efektif bagi kalangan aktivis ketika media massa masih dikontrol penuh otoritas dan sarana komunikasi masih sangat terbatas.

[7]Singkatan dari gerilya politik. Henry Degenhardt (1983) mendefinisikan gerilya politik sebagai perang gagasan dalam ideologi pembangkangan politik yang dilakukan oposisi dan kalangan pihak informal dalam tata politik yang diktator. Tujuan gerakan politik ilegal ini adalah merongrong dan diam-diam mewujudukan keinginan politiknya. Kalangan aktivis Indonesia sejak 80-an menyebut gerpol di sesama mereka mirip seperti intrik diam-diam untuk menyingkirkan rival yang menghalangi tujuan politik mereka.

[8]Paul Michel Foucault (15 Oktober 1926-25 Juni 1984), salah satu pemikir terbesar perancis pada abad ke-20 yang secara gemilang menulis ide untuk memahami fakta sosial dan perkembangan budaya kontemporer. Sebagian pendapat memasukkan pemikiran Foucault dalam kelompok strukturalisme dan sebagian lagi memasukkannya dalam kelompok post-strukturalisme. Foucault merilis analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan.

[9]Lorosae berarti timur dalam bahasan Tetun, bahasa orang pulau Timor bagian timur. Kawasan itu pernah dinyatakan sebagai wilayah Republik Indonesia dan dinamai Provinsi Timor Timur. Setelah kejatuhan Presiden Soeharto, mereka memisahkan diri melalui referensum pada 30 Agustus 1999. Timor-timur kemduian disebut dengan nama Timor Leste (dalam bahasa Portugal) atau Timor Lorosae. Bumi Lorosae juga bermakna kawasan Timor Timur.

[10]Setelah referendum 30 Agustus 1999, terjadi krisis bersenjata di Timor Timur. Kerusuhan meledak setelah referendum menyatakan kemenangan mayoritas warga yang merdeka dari Republik Indonesia. Rusuh dimulai dengan serangan militan anti-kemerdekaan terhadap penduduk di Kota Dilli, Ibukota Timor Lorosae, hingga meluas ke seluruh wilayah. Sekitar 1.400 penduduk tewas dan PBB mengirim pasukan perdamaian (INTERFET) untuk menjaga kawasan itu.

[11]Mafia Berkeley adalah julukan yang disematkan kepada sekolompok menteri ekonomi di awal Pemerintahan Presiden Soeharto. Sebutan ini awalnya dicetuskan seorang penulis kiri Amerika, David Ransom, di majalah  Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Disebut Mafia Barkeley karena para menteri itu adalah ekonom-ekonom lulusan University of California, Berkeley, Amerika. Yang paling senior adalah Widjojo Nitisastro. Anggotanya anatara lain Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Lulusan Barkeley selanjutnya, Dorodjatun Koentjoro-Jakti, juga dianggap masuk kelompok ini. Bahkan para ekonom gerenasi non-Barkeley yang punya pandangan tekhnokratis dianggap penerus kelompok ini, termasuk Boediono dan Sri Mulyani Indrawati. 

[12]Cerutu asal Kuba, dikenal sebagai yang termahal di dunia dan dijual di toko-toko khusus semata. Harganya sekitar US$ 1.200 per batang.

[13]Minuman kopi panas yang disajikan dengan menyiapkan air panas terlebih dahulu lalu lalu dituangkan espresso–hasil ekstraksi biji kopi dengan semburan setengah cangkir air panas di bawah tekanan tinggi. Karena air panas dituangkan terlebih dahulu sebelum espresso, Long black memiliki sisa krema kecoklatan di permukaannya.

Back to top button