POTPOURRI

Cerita Pendek: Kayuh Kemenangan

Salah satunya mirip dengan foto lain di media-media lain, yang menampilkan dirinya berada di barisan terdepan peloton pesepeda jalan raya, lengkap dengan para voorijder. Di sebelahnya, tampak foto para pedagang kopi keliling, sekitar 15 orang, bersepeda dengan tertib, berbaris satu per satu, di jalur sepeda yang disediakan pemerintah provinsi.

Oleh  : Hardy Hermawan*

JERNIH– Mereka bertemu di Sabtu pagi yang terang, di tepian sebuah perempatan, di bawah pohon angsana yang tidak terlalu teduh. Teguh awalnya tak menyangka jika ia mengenal pedagang kopi keliling itu, yang sudah lebih dulu mangkal di sana.  Ia berusaha menghindar, mengalihkan perhatian ke hal lain, dan berusaha untuk berlalu. Tapi gagal. “Pak Teguh!” seru si pedagang kopi.

Teguh pura-pura tampak berusaha keras mengenali orang yang menyapanya. Lalu ia memasang muka terkejut yang paling dramatis, membelalakkan mata, tersenyum  lebar, lalu balas berseru, “Husin! Kau tampak lain sekali,”  katanya sambil  mengatur tawa lebar. Husin, anak muda akhir 20-an itu, adalah bekas anak buahnya di Divisi Marketing Hotel Andare.

“Iya, Pak,”  jawab Husin si pedagang kopi. Wajahnya tampak berseri-seri. “Sekarang saya dagang ginian. Jadi nggak perlu pake baju rapih seperti waktu kerja di hotel dulu.”

“Mantap,” sambut Teguh seraya mengacungkan jempol. “Yang penting halal…”

“Betul, Pak. Saya tidak banyak pikir-pikir untuk kerja begini. Begitu terima uang pesangon, sebagian besar segera saya kirimkan kepada istri di kampung. Sisanya saya pakai buat beli sepeda, termos, dan belanja minuman saset buat jualan. Ternyata hasilnya lumayan.”

“Berapa kau beli sepeda itu?”

Husin tertawa kecil. “ Murah, pak. Sepeda bekas. Cuma Rp500 ribu.”

Teguh manggut-manggut. Harga itu bahkan tak cukup untuk membeli sadel sepeda yang ia kendarai pagi ini. Padahal ia sudah minder memakai sepeda jenis road bike merek lokal seharga Rp15 jutaan itu. Sudah ada beberapa temannya di klub sepeda yang ia ikuti yang memakai sepeda impor seharga ratusan juta. Diliriknya lagi sepeda murahan milik Husin yang dipenuhi untaian saset minuman. Dua jenis termos, berisi es batu dan air panas, terbonceng di belakang. Warna sepeda itu sudah tak karu-karuan. Di sebelahnya, sepeda milik Teguh tampak  sangat mengilap.

“Wah, kamu dapat harga bagus, Sin.” Teguh merespon dengan keahlian merayu seorang sales profesional. Dipegang-pegangnya batang sepeda butut milik Husin. “Ini aslinya sepeda bagus. Bakal awet kalau kamu pakai jadi usaha.”

“Alhamduluillah, pak…”

“Ya sudah, kamu buatkan aku kopi dulu.”

“Siap! White coffee?”

“Hahaha…kau masih ingat saja kesukaan saya. Yes!”

Teguh menatap Husin yang kemudian sibuk melayani pembelinya dengan perasaan campur aduk. Tiga bulan lalu, lulusan D3 Marketing program vokasi dari sebuah perguruan tinggi negeri itu terkena PHK dari Hotel Andare, hotel tempat mereka bekerja. Pandemi yang terjadi hampir setahun penuh membuat hotel mereka kelimpungan. Awalnya tamu tidak boleh datang karena ada pembatasan aktivitas masyarakat. Setelah itu, ada pelonggaran. Tapi wabah kian mengamuk dan membuat orang ketakutan. Hotel Andare makin sepi dan ditinggalkan.

Tak bisa tidak, pemilik hotel harus melakukan rasionalisasi. PHK tidak terhindarkan. Tapi pihak pemilik tak hanya berniat melakukan PHK. Mereka juga mencoba mencari tahu akar masalah yang melanda sisi keuangan di hotel berbintang empat itu—dan mereka menemukan beberapa hal.

Rupanya ada indikasi kecurangan berupa manipulasi data transaksi dalam jumlah lumayan besar. Transaksi kamar, ruang pertemuan, makanan, dan minuman dipalsukan sedemikian rupa sehingga perusahaan dibikin kelojotan. Teguh sudah was-was benar dengan langkah yang dilakukan sang pemilik. Kendati, ia merasa sudah mengamankan semuanya. Hanya satu transaksi yang luput ia rapihkan tapi nilainya tidak terlalu besar. Tak sampai Rp5 juta. Belum ada bukti yang mengarahkan kecurangan itu kepada salah satu karyawan di sana. Tapi nama Husin tercatat dalam aliran transaksi tersebut.

Teguh tentu tahu, bukan Husin yang bersalah. Tapi ia tidak berusaha membantah kecurigaan para auditor yang disewa Katarina, Direktur Keuangan yang baru, tentang kemungkinan Husin terlibat dalam kecurangan tersebut. Ia hanya bergumam lirih. “Bukti-buktinya tidak kuat.”

“Sekarang memang belum kuat,” jawab sang auditor. “Kita perlu beberapa waktu lagi untuk membuktikan aliran dana ini dan mungkin adanya pihak lain yang terlibat.”

“Tapi nama Husin sudah masuk dalam daftar karyawan yang akan kena PHK.”

“Sebaiknya jangan dulu. Husin masih harus kita periksa lagi,” ujar sang auditor, lantas  buru-buru  ia melanjutkan, “tapi soal PHK bukan urusan saya, saya tidak bisa ikut campur.”

Teguh pun diam-diam mempercepat proses pengajuan PHK terhadap Husin. Ia merasa lega ketika Husin menerima keputusan itu. Mereka lantas bersalaman, berpisah, hingga kemudian bertemu lagi tiga bulan kemudian, dengan sepeda mereka masing-masing.Sepeda-sepeda yang memberi kehidupan bagi keduanya. Menjadi alat pengangkut barang jualan bagi Husin dan menjadi alat lobi marketing bagi Teguh.

*

Bagi Teguh, sepeda memang bukan hanya untuk digowes. Sudah dua bulan ini ia bergabung dengan klub para pesepeda dadakan yang kian menjamur setelah banyak kantor menerapkan program work from home (WFH).  Ia memang merasa asyik ketika menggenjot pedal, tapi itu tak seberapa. Teguh merasa lebih asyik karena di sana ia bertemu dengan orang-orang yang dapat menyelamatkan karirnya: para pejabat pemerintahan.

Di masa sulit begini, hanya pemerintahlah yang jadi pembelanja yang bisa diandalkan. Maka Teguh mulai mendekati mereka. Di kantor, ia menyusun proposal marketing dengan menjadikan event sepeda sebagai andalan. Sarjana komunkasi yang lantas meraih gelar Magister Manajamen itu cukup lihai menyadur proposal-proposal bisnis bikinan para MBA dari ivy league. Dengan gaya proposal itu, plus keahlian melakukan presentasi yang ia pelajari dari Youtube, ia meyakinkan bos-bosnya bahwa, lewat kegiatan sepeda, dirinya bisa melakukan pendekatan pada para pejabat itu—untuk menggunakan jasa Hotel Andare. Para atasan tak punya banyak pilihan selain setuju. Kasus-kasus kecurangan yang dicurigai pernah melibatkan Teguh sementara mulai dikesampingkan.

Teguh malah memanfaatkan waktu selama WFH dan kosongnya okupansi dengan lebih giat bersepeda. Ia kini menghindari, atau setidaknya tak berhenti, di titik-titik lokasi yang menjadi area berjualan Husin.  Pada hari kerja, ia bersepeda bersama para kalangan muda yang sebagian menjadi agen sepeda impor. Dari sanaia mengenal produsen sepeda mahal dari Eropa yang kerap menjual sepedanya ke Indonesia.  Di akhir pekan, ia nggowes mengiringi para pejabat yang keranjingan mengayuh pedal sepeda.

Minggu ini, Teguh menjajaki jalan ibukota bersama rombongan besarnya. Ada pak Kadis di sana. Dia pejabat tinggi di Kantor Gubernur. Sewaktu istirahat di kawasan Senayan, Teguh mendekatinya. “Apa kabar, Pak Kadis?”

Yang ditanya hanya berusaha tersenyum lebar, lalu mengacungkan  jempol. Nafasnya masih terengah-engah. Teguh tertawa lebar. “Bapak harus mengganti gir, biar nafasnya lebih hemat.”

“O ya?” Pak Kadis mulai tertarik. Dia belum lama bermain sepeda sehingga apapun yang ia anggap pengetahuan baru selalu dilahapnya.

“Saya punya gir di rumah. Nanti saya pakaikan di sepeda bapak. Pasti cocok dan bikin kayuhan lebih enteng.”

“Tidak usah, Mas Teguh…”

“Ndak apa-apa, Pak. Sesama goweser mah biasa saling berbagi.”

“Tapi saya coba dulu, ya. Kalu cocok, ta’ pinjam saja ya,. “

“Siap!” balas Teguh sambil tersenyum simpatik.

Hari Sabtu berikutnya, sehari sebelum jadwal mereka kembali bersepeda, Teguh datang ke rumah pak Kadis bersama seorang teknisi sepeda. Ia tak hanya  membawa gir 10 speed seharga Rp2 jutaan tapi juga handle bar senilai belasan juta. Dirakitnya lagi sepeda pak Kadis dan seketika sepeda itu tampak berubah dengan setang keemasan mewah yang ia pasangkan. “Wuih, kok jadi sama setangnya juga, Mas Teguh?”

“Iya Pak. Supaya posisi badan Bapak nanti stabil,”

“Wah, wah… makasih banyak,” ujar Pak Kadis yang jadi semringah melihat sepedanya jadi lebih kokoh. Belakangan ia baru tahu jika harga handle bar itu lebih dari Rp15 jutaan.

Dan harga semahal itu bukan masalah buat Teguh. Berbekal proposal yang ia  ajukan, ia bisa mendapakan anggaran dari kantornya untuk membiayai pendekatannya kepada para pejabat itu. Maka tak hanya pak Kadis, Teguh juga pernah membelikan frame berbahan titanium seharga Rp30-an juta untuk Pak Karo, seorang pejabat di Polda.  Rangka sepeda itu bentuknya pipih dan besar, teramat ringan, ergonomis, dan posisinya bisa diatur sesuai ketinggian si pengayuh. 

Untuk Pak Sesmen, orang penting di sebuah Kementerian, Teguh membelikan frame berbahan karbon yang tanpa las-lasan. Ini juga mahal. Belum lagi roda impor yang banderolnya Rp5 juta sepasang yang ia pakaikan di sepeda Pak Sesmen. Alhasil, makin bergayalah pak Sesmen dengan sepeda modifikasinya.

Teguh juga semakin percaya diri. Pendekatan yang ia lakukan kepada para pejabat itu rupanya membuahkan hasil. Beberapa kali para pejabat itu menggunakan hotelnya untuk pertemuan-pertemuan kedinasan. Kamar-kamar untuk acara-acara itu juga banyak yang dipesan. Belum lagi untuk pejabat yang datang dari daerah. Okupansi hotel meroket dalam sekejap. Lewat pendekatan Teguh pula, sebagian kamar di lantai-lantai tertentu bisa disewakan ke pemerintah daerah untuk perawatan pasien Covid-19 yang bergejala ringan. Juga untuk karantina mereka yang baru datang dari luar negeri. Bisnis Hotel Andare jelas sudah terselamatkan.

Apalagi makin banyak pejabat yang dikenal Teguh dari kegiatan bersepedanya. Makin kerap pula tamu mengunjungi Andare. Teguh pun makin bergaya. Ia tak lagi memakai sepeda merek lokal. Dari anggaran kantornya, yang dialokasikan untuk membeli sepeda-sepeda impor bagi para pejabat, ia memperoleh beberapa unit sepedanya sendiri, nyaris secara gratis. Bahkan ia kini bersahabat dengan Marco Rosso, produsen sepeda merek premium asal Italia yang pernah menjadi pebalap medioker di Eropa dan sempat ikut Tour de Java beberapa dekade silam.

*

“Apa usulmu sekarang?” tanya sang CEO dalam rapat direksi pagi itu.  Teguh bukan direktur tapi ia harus mepresentasikan program yang ditawarkannya.

“Event sepeda jalan raya, Pak. Hotel kita bisa menjadi sponsornya.”

“Untuk apa?”

“Untuk meyakinkan konsumen bahwa hotel kita adalah hotel bergaya hidup mapan dan sehat.”

“Seberapa penting itu?”

“Saat ini, kita terselamatkan dengan cara darurat. Menampung pasien OTG dan karantina. Dalam jangka panjang itu tidak bagus. Hotel kita akan dikenal sebagai Hotel Corona,” Teguh menjawab mantap. “Event ini akan membalikan persepsi itu.”

Sang CEO manggut-manggut. Direksi lain tak punya bahan membantah. Tapi Katarina, sang Direktur Keuangan, segera mengacungkan tangan. “Anggarannya terlalu besar buat kita.”

Teguh tersenyum. “Itu investasi untuk nama baik, Bu Rina. Lagipula kita akan bekerja sama dengan para sponsor lain.”

“Tetap saja terlalu besar.”

“Sebenarnya tidak. Sebagian ‘kan tidak berupa uang tunai. Tapi berupa penginapan dan akmodasi untuk para peserta. Mereka ini orang-orang penting yang bisa menjadi semacam ‘agen marketing’ kita nantinya.”

Sang CEO mengambil alih. “Boleh juga. Saya setuju acara ini.”

Teguh menunduk. Ia berusaha tidak tampak terlalu girang meski hatinya sudah sangat ingin bersorak riang. Hotelnya  mau menjadi sponsor utama penyelenggaraan lomba sepeda jalan raya yang akan diikuti oleh para pesepeda amatir—kaum professional Jakarta yang kebanyakan duit. Event macam begini bisa memberikan banyak kenutungan buat dirinya. Karir, uang, dan jaringan. Ya, ia bakal bisa mendapatkan sedikit uang lebih dari yang diberikan para sponsor. Ia bertekad menyukseskan acara itu.  Bila perlu, menjadi juara dalam perlombaan tersebut.

*

Pagi itu Teguh menerima banyak sekali pesan dalam aplikasi obrolan di selulernya. Sebagian mengirim link berita tentang latihannya kemarin bersama klub sepedanya. Ada fotonya di sana, memimpin rombongan peloton sambil memacu sepeda masing-masing di jalan raya. Posisi mereka nyaris memakan separuh badan jalan. Belum lagi pasukan bersepeda motor yang menjadi pengawalnya. Begitu gagah, mirip pebalap professional yang mengikuti Tour de France.Teguh sedikit tersenyum, hingga ia menyadari, ada banyak kecaman dari kalangan warganet atas perilakunya bersama teman-teman pesepedanya.

“Orang kaya baru tak tahu diri!”

“Dikira jalan raya milik nenek moyang mereka!”

“Kelas menengah ngehek!”

Makin banyak lagi makian dari netizen yang lama-lama membuat Teguh terkesiap. Apalagi ada salah satu media online yang memasang dua foto yang amat kontras. Salah satunya mirip dengan foto lain di media-media lain, yang menampilkan dirinya berada di barisan terdepan peloton pesepeda jalan raya, lengkap dengan para voorijder. Di sebelahnya, tampak foto para pedagang kopi keliling, sekitar 15 orang, bersepeda dengan tertib, berbaris satu per satu, di jalur sepeda yang disediakan pemerintah provinsi. Meski agak samar, Teguh mengenali Husin berada di posisi paling depan, di antara para pedagang kopi keliling itu.

“Sialan,” rutuk hati Teguh. Ia makin geram ketika membaca komentar para netizen di bawah berita dengan dua foto kontras itu.

“Duit tidak menjamin otak bekerja.”

“Harta lebih banyak, sekolah lebih tinggi, akhlak tetap minus.”

Menyebalkan. Komentar bengis macam itu juga dilempar oleh banyak akun media sosial besar. Mau tak mau, Teguh mesti menyusun argumentasi di kantornya nanti. Ia tahu, ia tak boleh tampil di muka publik saat ini. Semua terlalu riskan dan bisa mengganggu agenda kegiatan bersepeda yang akan ia gelar sebulan lagi.

Dihubunginya teman sesama pesepeda, yang juga ikut dalam latihan kemarin, yang kebetulan adalah seorang pakar ilmu komunikasi. “Mas, mohan arahan,” ujar Teguh di sambungan telepon.

“Hahaha.. Jangan panik, semua bisa dikendalikan,”

“Mantap. Tolong diamankan saja, Mas.”

“Siap!”

Plong! Teguh sedikit merasa lega. Ia tak perlu bicara panjang lebar. Temannya ini bisa diandalkan dalam komunikasi publik, baik melalui media konvensional atau media sosial. Untuk urusan komunikasi ke pihak luar, temannya ini pasti bisa mengatasi. Diliriknya jam di pesawat selulernya dan ia mulai berhitung. Setelah mandi, sarapan, dan perjalanan ke kantor, pasti temannya itu sudah  menyelesaikan narasi yang diperlukan untuk mengatasi kisruh komunikasi ini. Ia tinggal mengutipnya, dan menjadikannya sebagai narasinya sendiri untuk berargumentasi di kantor.  Satu lagi yang tak boleh lupa, ia mesti menyiapkan sesuatu untuk temannya yang ahli komunikasi tadi.

Benar saja, setelah dua jam, Teguh mendapati lampiran power-point dalam pesan dari temannya itu. Narasi yang ia sampaikan sangat kuat. Berisi permintaan maaf, penjelasan tentang pentingnya gaya hidup sehat, pengurangan emisi karbon, rencana kegiatan bersepeda sebagai upaya memulihkan ekonomi yang masih terkena pandemic, dan membuat Jakarta sebagai kota ramah sepeda yang akan disosialisasikan ke luar negeri.  Narasi itu sudah disamapaikan sang teman melalui akun media sosial miliknya dan mendapat respon lumayan. Pemberitaan tak lagi terlalu miring.

Berbekal narasi itu pula, Teguh berniat menjelaskan duduk perkara pemberitaan miring tentang latihan kemarin dan memastiksan event bulan depan bisa tetap terselenggara. Namun para atasannya di kantor ternyata agak sulit menerima argumen Teguh. Mereka tetap cemas kegiatan itu bisa menimbulkan efek komunikasi yang buruk. Teguh tidak berusaha membantah. Ia tahu, membantah saat ini hanya akan membuatnya berada di ladang pembantaian. Hingga dipersilakan meninggalkan ruangan rapat, ia tetap diam sambil terus memikirkan jalan keluar dari kemelut tak terduga ini.

Di ruang kerjanya, Teguh melamun. Jalan keluar masih belum ia temukan hingga waktu makan siang terlewatkan. Malah bergelas-gelas kopi yang direguknya. Tapi, diam-diam ia tetap meminta teman-temannya di kepanitiaan untuk terus mengurus persiapan acara itu.

Beberapa hari Teguh masih pening memikirkan cara untuk meyakinkan kantornya. Jika dalam dua hari ia gagal meyakinkan mereka, maka kanrtornya akan menarik diri sebagai sponsior kegiatan. Hingga suatu malam, HP-nya berbunyi,. Jauh dari Italia, selarik pesan datang menanyakan rencana pengiriman lima sepeda yang ia order—untuk lima orang pejabat lain yang ia dekati, Singkat saja Teguh menjawab bahwa rencana pemesanan itu tetap berjalan.  Marco Rosso, pengirim pesan dari Italia itu merespon dengan antusias.

Marco, sang mantan pebalap medioker dari Eropa yang beralih profesi menjadiprodusen sepeda premium Italia, menyatakan Teguh sebagai pelanggannya yang hebat. Teguh lalu mengabarkan tentang event yang segera digelar dua pekan ke depan. Event yang akan menampilkan banyak sepeda buatan Rosso yang dipakai banyak peserta, orang-orang penting di Jakarta. Cuma basa-basi, sebenarnya, kabar yang disampaikan Teguh itu. Tapi lagi-lagi Rosso merespon dengan antusias.

Teguh lalu menanggapi respon Rosso dengan seadanya. Ia sulit menghalau galau dalam hatinya. Ia cemas dengan kemungkinan acara itu bakal berantakan. Malam itu ia sulit tidur, bahkan hingga masjid di dekat rumahnya mulai menyalakan speaker, Teguh masih belum terpejam. Hanya kelip lampu kecil di selulernya yang ia amati, yang lama-lama rasanya berkedip kian sering.

Diambilnya telpon seluler-nya itu dan ia mulai membuka isinya. Notifikasi di akun twitter-nya ternyata sangat banyak. “Gilaa!!!!!” Teguh tiba-tiba berteriak di pagi buta. Tapi istrinya tidak terbangun. Hanya sedikit menggeliat dan Teguh  cengengesan sendiri. Marco rupanya mencuit tentang event sepeda yang akan diadakan Teguh itu. Rosso me-mentionTeguh dan sahabatnya, Rene Le Guen, pebalap Perancis yang pernah menjuarai beberapa etape Tour de France. Rene, pemilikakun bercentang biru itu, membalas hanya dengan satu cuitan singkat. “Wow!”

Satu kata itu rupanya amat bertuah. Komunitas sepeda di seluruh dunia membalasnya dengan gegap gempita. Sejumlah akun resmi pebalap dunia yang masih aktif juga meretwit cuitan Rosso. Pebalap professional dalam negeri akhirnya ikut-ikutan. Di tengah pandemi yang masih membayangi, adanya event sepeda jalan raya di Jakarta segera menjadi trending topic dunia. Teguh tahu, masalahnya kini telah teratasi. Ia sudah menjadi pemenang dalam kemelut ini. Para atasannya pasti tak akan mengelak dari event yang sudah menjadi trending topic global macam ini. Teguh merasa energinya memuncak. Ia segera bangun, mandi, dan ingin secepatnya berada di kantor.

Semua akhirnya memang berjalan mulus. Para bos dan owner Hotel Andare memberi dukungan penuh—dan Teguh akhirnya mendapatkan semua yang ia rencanakan, termasuk beberapa ratus juta rupiah yang ia angggap sebagai uang lelah dari semua aktivitasnya itu. Tapi itu tidak cukup.

Teguh juga ingin menjadi pemenang dalam event sepeda jalan raya tersebut. Setidaknya, ia harus masuk finis di rombongan depan agar fotonya nanti terlihat bagus. Ia tak ambil peduli bahwa kondisi badannya kurang mendukung. Kelelahan fisik dan psikis selama kemelut persiapan acara membuatnya jauh dari fit. Toh ia merasa, semua bisa teratasi oleh adrenalinnya memuncak dari event yang dirasanya sangat membahagiakan itu.

Di Jalan Doktor Satrio, ketika rombongan besar sepeda bersiap menaiki jalan layang nontol, ia sudah keteteran di belakang. Dengan susah payah, Teguh menaiki tanjakan awal jalan layang itu. Jantungnya berdebar lebih kencang.

Di atas jalan layang, Teguh berusaha mengatur posisi agak di pinggir untuk mengurangi hambatan angin. Ia berada sekitar 20 meter di belakang rombongan besar. Kayuhannya terus dikencangkan. Jalan layang ini memiliki panjang sekitar 2,3 kilometer. Teguh kian sulit mendekati rombongan besar. Selisih jarak mereka kian menjauh hingga 30 meter, lalu 40 meter. Ia masih mengayuh sendirian.

Jelang ujung jalan layang,  rombongan besar tampak mengurangi kecepatan. Teguh malah kian mempercepat kayuhan. Dalam benaknya, di ujung jalan yang menurun, bertemu dengan Jalan Mas Mansur, ia bisa memanfaatkan momentum turunan untuk menggenjot speed hingga kembali masuk rombongan, sementara peloton pasti akan mengurangi kecepatan.

Maka ketika pebalap terakhir di rombongan sudah mulai menuruni jalanan dan tak tampak lagi dalam pandagan matanya, Teguh memacu sepeda dengan lebih menggila. Di jalan turunan pun ia tak menarik rem, genjot habis! Kayuhan Teguh kian menghebat dan ia tak menyadari bahwa pembuluh-pembuluh darahnya sudah amat meregang. Hingga semua terasa jadi gelap dan sebuah sepeda butut tiba-tiba sudah berada di depan Teguh, di sisi paling kiri jalan Mas Mansur, datang dari arah Sudirman menuju Karet. Sepeda Teguh yang menalju hingga 60 kilomet5er per jam sudah tak mampu berbelok mengikuti alur jalan seharusnya. Ia nyelonong lurus, menghantam sepeda butut itu dan membuat pengemudinya terlempar jauh, mungkin sekitar 2 meter,  hingga membentur beton trotoar. Saset-saset kopi berhamburan di jalanan.

“Brukkk!!!”

*

Teguh segera terbangun dan mendapati dirinya terbaring di sebidang taman rumput yang indah, diiringi gemericik air di kejauhan, dan temaram sinar matahari.  Pepohonan menaunginya dalam keteduhan. Sepedanya tergeletak di tepi jalan yang begitu mulus membelah padang rumput itu.

Ia segera bangkit. Diberdirikannya sepeda itu dan diperiksanya baik-baik. Tak ada yang rusak, bahkan tampaknya sepeda itu jadi kian mengilap. Perlahan ia naikan sebelah kakinya, mencoba keseimbangan dan ia merasa sangat mapan. Lantas ia mengambil posisi siap genjot. Rasanya begitu ringan, perlahan ia mulai menggowes sepeda itu, menyusuri jalanan sepi yang begitu nyaman untuk ditelusuri.

Teguh tahu, ia sudah mati. “Ternyata tak begitu buruk,” pikirnya. Ia yakin, setelah mati, dirinya lantas masuk surga.  Toh semua terasa aduhai. Bibirnya lalu tersenyum semringah melihat semua terasa begitu  nyaman, begitu menyenangkan. Sekelilingnya teramat tenang dan pemandangan yang ia lihat sangatlah indah. Tak sedikitpun ia merasa lelah, taka da juga rasa sakit. Dikayuhnya lagi sepeda itu pelan-pelan, hingga ia merasa ada angin berembus di sampingnya. 

Ia melirik, sebuah sepeda butut dengan banyak saset minuman bergelantungan, plus termos air panas dan termos es terbonceng di belakang, tampak melaju menyusul dirinya. Seakan-akan, sepeda itu tidak menapak di jalan.

Teguh terkesiap. Ia melihat sepeda butut itu lalu terbang menuju awan.  Pengendaranya mengangkat kedua tangan ke udara dan mendongak dengan paras ceria. Mukanya bersinar penuh cahaya.Awan dan udara di sekelilingnya berpendar-pendar indah seolah menyambut pengayuh sepeda itu dengan suka cita. Burung-burung berkicau mengiringi. “Husin…,” Teguh berbisik dalam hati.

Lamat-lamat Teguh melihat Husin dan sepedanya kian mengecil namun semakin terang, hingga ia merasa seketika lelah mengayuh dan tak menyadari bahwa jalanan di depannya telah buntu, terhenti pada tebing yang amat curam.Teguh terkesiap, tak sempat berbuat apa-apa, jantungnya seolah terlepas seketika tatkala sepedanya terhempas begitu kencang menuju jurang tak berdasar. Sakit teramat sangat ia rasakan, aroma busuk tercium memualkan, lalu semua jadi legam, pengap, dan menyesakkan.

*

Di ruang IGD, dokter hanya meraba-raba nadi di leher Teguh lalu melihat jam tangannya dan mencatatkan waktu kematian. [ ]

* Hardy Hermawan lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 1974. Menjadi reporter sejak 1996 di harian Merdeka Biro Lampung dan bergabung dengan Majalah Tempo pada 1998. Pada 2000-2003, ia pernah mengampu beberapa media yang terafiliasi dengan lembaga riset Econit lalu menjadi wartawan Majalah Berita Ekonomi TRUST (berganti nama menjadi Sindo Weekly), pada 2003-2011, dengan jabatan terakhir sebagai Redaktur Pelaksana. Ia pernah menjadi aktivis kampus yang radikal sewaktu mahasiswa.

Back to top button