POTPOURRI

Cerita Pendek : Lubuk Pilkada

Konon, melihat itu,  Kang Jumad mendadak pening. Hampir terjatuh. Tapi segera bangkit. Menyeberangi sungai. Mengikuti Ceu Sumin ke rumahnya. Masih konon lagi, Kang  Jumad bersimpuh di kaki Ceu Sumin. Menyatakan cinta dan kasih sayang, serta berniat menikahi Ceu Sumin hari itu juga. Siap menceraikan isteri yang setia melayaninya belasan tahun. Meninggalkan tujuh anak dan enam cucu.

Oleh  : Usep Romli HM

Sungai Cikaras berair jernih bening. Sejak keluar dari mataair, hingga bermuara ke Sungai Cilohong, selamat dari limbah rumah tangga dan pabrik.  Para penduduk kampung, sudah sadar lingkungan. Mereka membuat lubang pembuangan sampah di halaman belakang rumah masing-masing. Tak pernah membuang sampah sembarangan. Apalagi ke selokan, parit, atau sungai.

Ketika keluar dari mataair, Sungai Cikaras berupa air terjun. Dari air  terjun itu, para leluhur Cikaras, membuat saluran untuk mengairi pesawahan. Sehingga tanah yang semula hutan dan tegalan, menjadi sawah-sawah subur. Menghasilkan padi yang dapat dipanén setahun dua kali. Ditampung di lumbung-lumbung yang berjejer sekitar kampung. Cukup untuk persediaan pangan penduduk se-kabupaten. Tak perlu membeli dari luar kabupaten. Apalagi impor dari luar negeri.

Air juga dialirkan ke kampung. Digunakan untuk mengairi kolam, kulah, pancuran, dan kebutuhan sehari-hari. Seperti mandi, mencuci, membasuh wadah dan lain-lain.

Namun umumnya penduduk Cikaras, lebih suka mandi di sungai. Terutama di Lubuk Katumbiri. Sebab konon, air Sungai Cikaras mengandung bermacam khasiat. Membuat badan sehat segar, kuat dan trengginas. Suka dipakai mandi para bidadari yang turun dari langit, lewat pelangi, sehingga dipercaya mengandung kekuatan aneh yamg menimbulkan wibawa. Berkat endapan daki  para bidadari yang suka mandi di situ. Mengandung sepuhan “susuk balung”. Wanita menjadi cantik. Pria menjadi tampan. Penuh daya tarik.

Maka, penduduk setempat, laki perempuan, tua muda, dan anak-anak, suka mandi berlama-lama. Berendam, berenang, menyelam, berkecemplung, perang air dan sebagainya. Mengharap resapan berkah daki bidadari.

Banyak yang percaya. Terutama setelah  Kang Jumad, bandar pengepul buah kelapa, tergila-gila oleh Ceu Sumin. Konon, Kang Jumad sedang berada di sisi sungai, memeriksa pohon kelapa yang buahnya cukup dipetik, melihat  Ceu Sumin selesai mandi di Leuwi Katumbiri. Berendam, berdiri dan melangkah ke tempat dangkal. Menggeraikan rambut. Hanya memakai kain tipis basahan. Menutup bagian dada. Mencetak lekuk tubuh.

Konon, melihat itu,  Kang Jumad mendadak pening. Hampir terjatuh. Tapi segera bangkit. Menyeberangi sungai. Mengikuti Ceu Sumin ke rumahnya. Masih konon lagi, Kang  Jumad bersimpuh di kaki Ceu Sumin. Menyatakan cinta dan kasih sayang, serta berniat menikahi Ceu Sumin hari itu juga. Siap menceraikan isteri yang setia melayaninya belasan tahun. Meninggalkan tujuh anak dan enam cucu. Sebagai wanita menjanda empat tahun, konon, Ceu Sumin pun langsung menerima.

“Keterlaluan Si Jumad…” Orang-orang mencibir kelakuan tak elok bandar penge-pul kelapa itu.

“Si Suminnya juga sama keterlaluan,|”komentar yang lain.

“Yang salah, air Cikaras, “kata seorang. “Mengapa mengandung daya pikat. Coba jika Jumad melihat Sumin sedang  tandur berlumpur-lumpur di sawah, tak akan hilang wibawa kelelakiannya.”

Dan setelah peristiwa itu, ke Cikaras banyak orang sengaja datang untuk mandi. Penduduk luar kampung dan desa, dari jauh terus berdatangan.  Dari subuh hingga senja, Sungai Cikaras  yang semula sepi, kini selaku hiruk pikuk oleh bunyi kecimpung, tawa dan jerit orang.

Lumayan juga dimanfaatkan untuk pemasukan dana. Di tiap pintu masuk jalan setapak ke Sungai Cikaras, dipasang kotak amal. Terbuat dari kayu, kaleng bekas kue, kardus. Lumayan selalu penuh berisi.

“Khasiat air Sungai  Cikaras bersumber dari mataairnya. Di sana terdapat intan sebesar kelapa. Air perendaman intan itu, mengalir ke bawah. Pada air tejun pertama, berubah menjadi bulir-bulir emas. Pada air terjun kedua, menjadi sari air pérak. Campuran ajaib intan, emas dan perak, tentu mengandung maunah besar. Khasiat tak tepermanai. Buktinya, Ceu Sumin yang tak cantik, mampu menundukkan Kang Jumad. Padahal lebih cantik isterinya yang didepak itu. Mungkin karena Ceu Sumin lebih muda tiga empat tahun…”

“Sahihkan itu?” tanya seorang yang asyik mendengarkan.

“Tak tahulah, apa shahih apa dhaif. Namanya juga konon. Kisah berkisah-kisah. Konon berkonon…..”

Tapi walau pun hanya konon, banyak yang percaya.

Malah peristiwa Kang Jumad tergila-gila oleh Ceu Sumin, telah menjadikan  Leuwi Katumbiri sebagai lubuk keramat.  Mendadak di situ, suka ada orang bertapa. Sering ada yang menemukan sisa sesajen dan tempat pembakaran kemenyan dalam cobek tanah.

“Lumayan, untuk bikin sambal,” Mang Uja, penggemar memancing, iseng memungut cobek bekas pembakaran kemenyan. “Siapa tahu, sambalnya lebih lezat.”

Tapi tak lama, tersebar berita, Mang Uja mengembalikan cobek ke tempatnya semula di sebuah batu pinggir lubuk.

“Betul, Ja? Apa sebab?“ Dudin, kawan akrab Mang Uja, penasaran.

“Betul!” Mang Uja cemberut. “Sambal yang dibuat pada cobek itu lezat sekali. Kau tahu, harga cabai rawit, sekarang mahal, harga beras juga melambumg. Nah aku bersama isteri dan anak-anak, jadi rakus makan. Nasi sekastrol besar, habis tandas dalam sejenak. Padahal lauknya hanya ikan asin bakar dan sambal itu. Kurasa perbawa cobek bekas sesajen itu. Ya kubuang saja, daripada boros.”

“Mémang, segala macam yang berhubungan dengan Sungai Cikaras, apalagi dari Leuwi Katumbiri, membuat keenakan. Lihat saja Kang Jumad dan Ceu Sumin, begitu romantis. Ceu Sumin suka terlihat mandi besar, sehari dua kali. Ya, tentu karena Kang Jumad ketagihan. Mengulang terus-terus siang malam.” Obur, yang rumahnya dekat Lubuk Katumbiri, tertawa ngakak.

Mendekati musim pilkada, Leuwi Katumbiri semakin ramai. Ibarat primadona. Diperebutkan oleh para calon yang akan ziarah dan tapa di sana. Untung Cép Sambas, tokoh pemuda setempat, kreatif. Ia mengerahkan anggota Karang Taruna, menjadi pengurus Lubuk Katumbiri. Menyediakan kartu antrean. Memasang tarif parkir kendaraan dan tarif turun ke lubuk atau naik ke atas batu. Waktu bersemedi dibatasi, masing-masing dua jam. Tak boleh lebih. Jika waktu habis, diingatkan dengan suara peluit.

“Haram jadah!” seorang cabup menggerutu. Terganggu oleh suara peluit.

“Dua jam terlalu singkat untuk dapat ilapat. Embah yang ditunggu entah masih di mana!”

Tapi  perjanjian waktu knikal miting, tak dapat digugat. Apalagi yang ngantre sudah menunggu.

Entah dari mana dan dari siapa, tersebar kabar. Para calon peserta pilkada datang ke Cikaras, mandi dan tapa di Leuwi  Katumbiri, terilhami peristiwa Kang Jumad menikahi Ceu Sumin. Dan Ceu Sumin suka mandi besar siang dan malam dua kali dua kali.

“Siapa tahu rakyat juga tertarik mencoblos gambar saya pada waktu pemilihan nanti,” kata salah seorang calon yang sering mandi dan bertapa di Leuwi Katumbiri”. [  ]

Back to top button