POTPOURRI

Gladiator : Kasta Terendah yang Bertarung demi Reputasi dan Kebebasan

Untuk mendapatkan efek dramatis dan tragis dalam film-film Hollywood maka sering terlihat adegan gladiator yang kalah bertarung dan akhirnya berujung pada kematian. Gladiator yang kalah nasibnya seringkali ditentukan oleh penonton atau kaisar.

Dalam film juga sering diperlihatkan para penonton yang duduk di colosseum memberi isyarat “jempol ke bawah” ketika mereka ingin gladiator yang kalah dihabisi. Adegan dramatis ini kadang melampaui keputusan kaisar yang sebetulnya lebih berhak menentukan hidup mati gladiator.

Namun memberi  kesenangan berdarah kepada penonton merupakan salah satu cara memuaskan hasrat barbar mereka. Untuk itulah para penguasa dan promotor acara sering membiarkan penonton membuat keputusan.

Namun para sejarawan mempersoalkan keakuratannya kode jempol ke bawah sebagai tanda untuk menghabisi gladiator yang kalah, karena tanda tersebut kemungkina besar adalah kode untuk mengasihani, bukan menghabisi.  Tanda kematian justru dengan menunjukan jempol ke atas.

Dalam film, kematian galdiator oleh lawannya di perlihatkan secara mengerikan dengan menikam ulu hati atau menggorok lehernya. Namun sebetulnya adegan-adegan itu tidak begitu akurat.

Para gladiator tidak selalu bertarung sampai mati. Bahkan sebagian besar perkelahian di arena diawasi dengan peraturan yang cukup ketat.

Misalnya duel  antara dua gladiator ditentukan berdasarkan berdasarkan catatan, tingkat keterampilan dan pengalaman mereka . Selain itu ada wasit yang mengawasi pertarungan yang disebut rudis.

Wasit bisa menghentikan pertarungan dengan segera ketika salah satu gladiator terluka parah. Pertandingan bahkan bisa berakhir dengan jalan buntu jika penonton merasa bosan oleh pertarungan yang panjang dan bertele-tele.

Wasit gladiator dilengkapi dengan kayu (rudis memiliki arti kayu)) yang digunakan untuk mengarahkan atau memisahkan pejuang. elain itu terdapat pula pelatih senior dikenal sebagai rudma summa (tinggi)

Dan yang menarik,  walau  jarang terjadi terkadang  kedua petarung diberikan kehormatan meninggalkan arena jika mereka menampilkan pertunjukan yang menarik bagi penuntun dan kaisar.

Hal tersebut terjadi pada pertarungan efik antara dua gladiator sohor bernama Priscus dan Verus. Mereka bertarung habis-habisan di  Colosseum Flavia, dihadapan Kaisar Titus dan ribuan penonton.

Dua gladiator itu mempertontonkan pertarungan yang berkelas. Mereka berdua sama tangguhnya, lihai dan dan berpengalaman membuat penonton dan kaisar sangat terkesan dengan sengitnya pertarungan yang berlangsung berjam-jam lamanya.

Sampai akhirnya, dua gladiator itu sama-sama menyerah. Mereka meletakkan pedangnya masing-masing sebagai tanda hormat atas kemampuan lawannya. Pertunjukan yang memperlihatkan jiwa ksatria itu disambut gemuruh tepukan penonton.

Bahkan Kaisar Titus langsung memberikan kehormatan kepada mereka berdua dengan menganugrahi rudissebagai tanda kebebasan untuk mereka. Kisah dua gladiator itu ditulis rinci oleh penyair  Marcus Valerius Martialis dalam ‘Liber spectaculorum’.

Walau gladiator berangkat dari kasta yang rendah namun mereka adalah aset berharga yang menghasilkan uang. Pertunjukan gladiator menjadi ladang bisnis yang menguntungkan, oleh karenanyamengurus gladiator memerlukan biaya mahal.

Para pemilik gladiator yang disebut lanista harus menyediakan rumah, makan dan kereta.  Sehingga mereka tentu saja enggan melihat petarungnya terbunuh sia-sia.

Lanista ini akan menyewakan gladiatornya kepada para produser yang disebut  editor yang mengorganisir permainan. Ditinjau secara sosial, lanista setara dengan mucikari (leno) yaitu sebagai penjual ‘daging’ manusia.

Bila para gladiator enggan bertarung mereka akan dicambuk oleh seorang lorarius (dari lorum, kulit thong, cambuk) yaitu  petugas yang mencambuk petarung atau binatang yang enggan bertempur.

Dan untuk mengisi waktu disela jeda pertarungan, akan diisi oleh Paegniarius yang merupakan petarung  penghibur untuk melakukan “duel” tidak serius.

Baca juga : Gladiator: Pertarungan Maut yang Dilarang setelah Kematian Seorang Biarawan

Hal lain yang menjelaskan bahwa pertarungan gladiator tidak selalu berujung kematian, yaitu para instruktur beladiri umunya telah mengajarkan para petarung untuk tidak membunuh. Hanya melukai.

Bahkan kalau bisa para petarung enggan untuk memberikan luka serius kepada sesama gladiator karena para gladiator umumnya memilki ikatan antar satu dengan yang lainnya, juga terhadap keluarganya. Bila ada gladiator yang meninggal keluarganya mendapat santunan oleh gladiator lainnya.

Namun kehidupan gladiator umumnya brutal dan mereka rata-rata berumur pendek. Sebagian besar hanya hidup sampai pertengahan usia 20-an. Para sejarawan memperkirakan bahwa dari 10 pertarungan menyebabkan satu petarung tewas.

Pada saat colosseum dibuka pada 80 M, permainan gladiator telah berkembang dari pertempuran yang awalnya berujung kematian kemudian menjadi olahraga berdarah yang terorganisir dengan baik.

Gaya bertarung, senjata dan pelindung gladiator

Gladiator memiliki spesialisasi yang dapat dilihat dari gaya bertarung,  senjata yang digunakan, dan pelindung tubuh yang dikenakan.  Yang paling populer adalah gaya thraece dan murmillones yang bertarung dengan pedang dan perisai.

Berikut ini beberapa penjelasan mengenai jenis -jenis gladiator berdasarkan gaya bertarung, senjata yang digunakan, dan ciri khas lainnya yang dikenakan saat bertarung.

Thraece atau Thrakia pertama kali muncul pada 78 SM. Gaya bertarung ini dipengaruhi oleh senjata dan cara bertempur suku asli Thrace yang terkenal ahli melempar tombak. Kisah orang Thrakia dikenal dalam peperangannya melawan Murmillo atau Hoplomacus.

Kaisar Romawi terkenal, yaitu Caligula menyukai suku  Thrakia sehingga selalu membiarkan mereka hidup walaupun kalah berperang melawannya. Senjata yang digunakan oleh Gladiator Thrakia adalah pedang  Sica yang merupakan bilah melengkung yang sangat tajam, tetapi lebih pendek dari umumnya pedang .

Selain menhunus pedang, gladitor Thraece membawa perisai yang disebut parma, memakai pelindung kaki, dan menggunakan helm logam atasnya melengkung panjang. Helm-helm itu didekorasi dengan kepala Medusa berlapis perak di bagian depan dan kepala griffin di bagian atas.

Murmillo kadang-kadang disebut sebagai ‘nelayan’ karena di helemnya yang berat terdapat motif ikan. Gladiator ini bertarung dengan pedang dan membawa perisai. Murmillo termasuk kelas berat. Gaya bertarungnya dipengaruhi gaya bertarung Gallic.

Gladiator Murmillo mengenakan baju besi yang bagus dan perisai yang kokoh, sehingga bisa menghadang pukulan lawannya dari jarak dekat. Namun, berat peralatannya mengurangi kecepatannya, dan berisiko kelelahan. Gaya bertrung yang memiliki gerakan cepat seperti gaya Retiarius akan berusaha membuatnya lelah.

Retiarius (yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘net-man’ atau ‘net-fighter’ adalah jenis gladiator yang tidak biasa karena dipersenjatai dengan jaring, trisula, dan belati.  Retiarius mungkin adalah kelas paling gladiator dari arena gladiator.

Karena tanpa helm, wajahnya dapat dilihat orang banyak, dan karena alasan tersebut kelas ini diadakan secara khusus oleh sebagian orang, Banyak yang mengagumi keberanian gladiator Retiarius karena tidak memakai  baju besi dan tanpa helm pelindung kepala.

Retiarius mengandalkan kecepatan dan kelincahan di arena untuk menjerat lawan dengan jaring mereka sebelum membunuhnya. Tetapi jika gagal, mereka hampir sepenuhnya tak berdaya. Retiarius adalah simbol nelayan, dan lawannya adalah  Myrmillo, atau Secutor.

Secutor, sesuai artinya adalah gladiator pengejar atau pemburu yang dikembangkan sekitar tahun  50 SM.untuk melawan retiarius. Secutor merupakan varian dari Myrmillo, ia mengenakan baju besi dan senjata yang sama, termasuk perisai persegi panjang.

Secutor memakai helm bundar dan halus yang menutupi seluruh wajahnya kecuali lubang kecil dibagian mata yang di dirancang untuk menghindari jaring dan tusukan trisula Retairius. Secutor mewakili api, ditunjukkan oleh cawat merah yang dipakainya yang disebut subligaculum.

Hoplomachus adalah gladiator yang  memiliki ciri menggunakan  perisai kecil bundar yang ringan dan dilengkapi semacam pisau belati, sedangkan tangan satunya lagi  membawa senjata tombak . Helmnya memiliki kesamaan dengan desain helm Thracian, yang membedakannya adalah bulu di helmnya.

Seperti halnya gaya Thraece yang dipengaruhi suku Thrace, atau gaya Myrmillo yang dipengartuhi gaya suku Gaul,  Hoplomachus juga berhubungan dengan gaya tarung orang Samnite. Pada masa Augustus, orang Samnite  adalah sekutu.

Tiga gaya yang lahir dari cara bertarung suku-suku di Roma tersebut kemudian diganti namanya untuk menghormati suku-suku tersebut ketika tampil sebagai gladiator.  Maka lahirlah sebutan Thraece, Myrmillo dan Hoplomachus.

Hoplomachus diambil dari bahasa Yunani yang bermakna pejuang bersenjata. Orang Samnite biasanya beratrung dengan wakil musuh Roma lainnya, yaitu Gaul atau Thracian.

Crupellarius adalah gladiator yang digambarkan sejarawan Romawi Tacitus, sebagai yang “terbungkus dalam kulit besi”  sehingga tidak mampu bertarung secara efektif dan cepat lelah. Oleh karena itu dan hanya dipakai oleh prajurit yang terlatih saja .

Di masa lalunya Crupellarii adalah pasukan dari Celtic Gaul, walau digambarkan tidak efektif, Tacitus mengatakan mereka sangat kuat, prajurit biasa sulit untuk melawan mereka karena Crupellarii ditempatkan dalam barisan dan bergerak seperti dinding yang kokoh.

Selain gaya tarung , senjata dan pelindung gladiator seperti yang disebutkan diatas terdapat juga gaya gladiator lainnya seperti  equites  yang memasuki arena dengan menunggang kuda, essedarii yang bertempur dari kereta, dimachaerus  yang bertarung dengan  membawa dua pedang sekaligus.

Demikian pula gladiator Rudiarius yang merupakan jenis gladiator langka yang telah memenangkan kebebasannya tetapi memilih untuk kembali berperang di arena. Gladiator Rudiarius umumnya sangat populer dan dihormati masyarakat, seperti yang telah dicapai oleh Priscus dan Verus. [*]

Back to top button