POTPOURRI

Hikayat Bisma, Bag 1: Dewi Rara Amis

Di tengah hutan, di bawah ringin sungsang, beralaskan daun lumbu raksasa, seorang perempuan seayu bidadari duduk bersimpuh. Pakaiannya compang camping, yang dari sudut pandang lain justru membuatnya semakin mempesona. Tetapi sepertinya perempuan itu tenggelam dalam kedukaan yang tak tertanggungkan.

Oleh   : Ki Agus Kurniawan

Alkisah, hutan di lereng Gunung Sapta Arga sudah termashur angkernya. Selalu gelap dan beracun. Gung liwang-liwung, gawat keliwat-liwat. Sato mara, sato mati.  Burung-burung yang terbang di atasnya niscaya jatuh, binasa seketika. Tak satu pun satwa bermukim. Apalagi manusia mendekat. Mereka yang nekad tetirah di sini hanya dari dua golongan: manusia terpilih atau jin dan makhluk alam gaib.

Anehnya, sudah beberapa tahun terakhir di salah satu sudut selalu terdengar kidung bergema sangat lirih. Ditembangkan oleh seorang perempuan, tetapi bernada duka. Syair diambil dari kisah-kisah elegi yang menyayat-sayat. Kepedihannya membuat seisi hutan — yang selama ini sunyi — semakin tintrim. Menggigilkan.

Agus Kurniawan

Penembang di belantara Sapta Arga itu ternyata manusia berparas elok. Bukan demit atau kuntilanak, seperti yang selama ini viral di jagat mayantara. Jika dalam situasi normal, kecantikan dan keranumannya sanggup meluluhkan siapa pun lelaki yang melihatnya. Tulang-tulang mereka bakal luruh walau pun sebatas ketemu di alam mimpi.

Tapi takdir dewata dan jalan hidup manusia memang misterius. Sekali pun cantik menggetarkan, ternyata tak ada satu pun yang mau mendekati perempuan hutan ini. Jangankan manusia, jin pun tak sudi. Sebab, perempuan ini berbau amis bacin. Aromanya seperti bangkai binatang yang baru saja membusuk.  Bukan saja menusuk, tetapi seolah beracun.

Berbarengan kisahnya, seorang pertapa sakti ketika itu juga sedang bertadzabur. Jajah desa milang kori. Melanglang bumi, menjelajahi hutan, naik turun gunung. Dia begitu terkejut mendengar ada suara kidung bergaung di tepian hutan yang selalu mencekam ini.  Dia mendekat dengan penuh kewaspadaan. Sekalipun dia seorang mahareksi sakti, tetapi tindakannya senantiasa didasari kehati-hatian. Petaka manusia kadang diawali oleh sikap yang gegabah.

Pertapa itu menyaksikan pemandangan tak biasa. Di tengah hutan, di bawah ringin sungsang, beralaskan daun lumbu raksasa, seorang perempuan seayu bidadari duduk bersimpuh. Pakaiannya compang camping, yang dari sudut pandang lain justru membuatnya semakin mempesona. Tetapi sepertinya perempuan itu tenggelam dalam kedukaan yang tak tertanggungkan. Wajahnya selalu sayu, pucat pasi, seperti purnama tertutup mega-mendung. Bau perempuan itu amis tak tertahankan.

“Wahai Kisanak. Sebelum terlalu jauh, saya ingin meyakinkan diri tentang Andika. Apakah kau manusia, jin jejadian, atau sejenis wayang afkiran yang dibuang Ki Dalang? Cantik sekali Andika, tetapi kok seperti nelangsa begitu.”

“Hamba manusia, Penembahan. Asli, bukan hasil operasi. Hanya sudah terlalu lama hamba nggak ke salon atau spa, luluran, pedicure, menicure, dan semacamnya. Nama hamba Setiawati atau Durgandini. Tapi keluarga menyemati hamba dengan sebutan yang bikin malu, Dewi Rara Amis.”

“Apakah karena tubuhmu yang bau amis ini?”

Leres, Panembahan.”

“Kenapa nggak pakai deodoran? Atau jejamuan herbal?”

“Duh Panembahan ini sama saja seperti orang sok tahu lainnya! Gak usah dibilang juga pasti sudah hamba lakukan. Sudah hamba coba semua obat, semua jamu. Sudah hamba datangkan semua tabib dari penjuru madyapada. Terapi kedokteran modern pun hamba jalani sampai bosan. Orang tua hamba raja agung, gak sulit kalau hanya impor parfum atau obat terbaik dari negeri Atas Angin sekalipun…Tapi tak ada yang mumpuni.”

“Ya sudahlah, jangan berduka. Hapuslah air mata dari wajah ayumu. Aku berjanji akan mengobatimu.”

“Jangan becanda, Panembahan. Hamba capek dengan PeHaPe. Emang Panembahan bisa?”

“Wah menghina. Aku ini wayang penting. Punya koneksi khusus ke para dewata. Aku juga pegang kartu truf mereka. Apa yang kuminta, mereka tak bisa menolak.”

“Duh, beja kemayangan. Keberuntungan tak terperi hamba ketemu Panembahan.”

“Tapi ada biayanya, ya. Mosok gretongan.”

“Oh, berapa biayanya, Panembahan? Jangan kuatir. Ayah hamba, Prabu Basuketi, raja diraja dunia wayang, pastinya sanggup membayar berapa pun yang Panembahan minta.”

“Aku nggak mau harta benda, Wong Ayu. Mosok pertapa kok materialistis.”

“Terus Paduka minta bayaran apa?”

“Aku minta dirimu. Setelah nanti kusembuhkan, kau harus jadi istriku.”

“Lho katanya Panembahan nggak materialistis?”

“Emang dirimu harta benda?”

Mendengar perkataan pertapa itu, alam semesta sontak menggelegak — kalau di pewayangan dinamakan goro-goro. Betara Ananta Boga, sang penyangga bumi yang berujud ular raksasa, mengkibas-kibaskan buntutnya, menimbulkan gempa tektonik 9 skala Richter. Gunung berapi muntah-muntah. Lahar panas menganak sungai. Betara Bayu, penguasa angin, tak mau kalah. Meniupkan hujan badai tujuh musim dijadikan satu. Dewa Laut Baruna, yang biasanya kalem, juga ikut ngamuk, mengirim tsunami setinggi puluhan meter.

Untunglah Sang Hyang Guru atau disebut juga Hyang Giri Nata, tetua para dewa, cepat bertindak. Soalnya konflik model begini jika tereskalasi bisa menimbulkan disintegrasi dan kerusakan masif. Dia segera ambil Cupu Manik Astagina yang berisi air suci kehidupan. Dia encerkan dengan air murni dari kaki Gunung Jonggiri Salaka. Lewat rekayasa adi-teknologi, dia ubah campuran itu jadi aerosol, berlimpah-limpah. Lalu memerintahkan Batara Indera untuk menaburkannya ke Sapta Arga dan sekitarnya. Ajaib, alam semesta tenang kembali.

Mendapat tawaran pertapa itu, Setiawati berpikir. Emang sih, pertapa ini kelihatan sehat dan perkasa. Bolehlah untuk dijadikan suami kalau dari sisi itu. Tapi wajahnya itu lho. Nggak ada cakepnya blas. Lagian dia sendiri kan putri raja. Paling nggak pasangannya juga harus setimpal, seganteng Betara Kamajaya, misalnya. Atau setidaknya setampan para selebriti Wirata yang lagi viral itu. Sementara pertapa ini? Jauh…

Tapi bagaimana lagi. Kalau tak disembuhin, hidupnya bakal lebih ernes, eh, ngenes. Kesepian seumur-umur. Dicap kuntilanak, setan penghuni hutan sepanjang hayat. Mending terima saja tawarannya. Nanti gampanglah, cari jalan buat minta cerai. Yang penting sekarang sembuh dulu. First thing first.

Akhirnya Setiawati pun setuju disembuhkan, termasuk memenuhi syarat yang maha berat itu. Tapi biar tak dianggap gampangan, dia juga mengajukan syarat.

“Panembahan, hamba setuju persyaratan paduka. Tapi hamba juga punya punagi.”

“Harusnya kamu tahu diri dong Wong Ayu. Kamu tidak dalam posisi menawar. Tapi baiklah, punagi apa yang kau minta, Cah Ayu? Aku ini resi pilih tanding. Nggak ada yang tak bisa aku penuhi. Tinggal minta aja. Mau kupetikkan rembulan ke pangkuanmu?”

“Terima kasih, Panembahan. Bukan harta benda yang hamba inginkan. Hamba hanya minta, jika kelak sembuh, hamba diperbolehkan pulang dan menetap di Istana Wirata, bareng sama orang tua hamba.”

“Duh Wong Ayu, kenapa musti seperti itu? Kan di sini lebih enak. Nanti kita bangun istana outdoor terindah melebihi kahyangan para bidadari. Orang-orang kota bakalan ngiler melihat keindahan rumah kita yang ekologis, alami, dan elok.”

“Panembahan ini gimana sih! Sudah dibilang hamba itu anak raja. Biasa gaul. Biasa hang out menikmati kemeriahan kota, kuliner, dan dugem. Satu lagi, hamba di kota tuh tenar sebagai crazy rich. Kalau tinggal di sini? Monyet aja pada nggak berani datang!”

“Okeh, okeh. Deal. Jangan marah. Aku setuju. Nanti kita bisa LDR kan ya. Asyik juga tuh. Sebulan sekali kita ketemu. Aku ke sana, atau kau berkunjung di sini. No problem. Bisa diatur.”

“Terima kasih Panembahan.”

“Sekarang bersiaplah. Aku akan membacakan doa dan mantra agar kau sembuh. Oh ya, ngomong-ngomong namaku Palasara.” [Bersambung]

goeska@gmail.com

Back to top button