POTPOURRI

HMPS PGMI IAID Ciamis Gelar Teater, Kritisi Kondisi Politik Indonesia

Pertemuan Darmaji dan si Cukong direkam  oleh Tukang Tahu dan pedagang asongan yang merupakan orang bayaran si Sutipu Beungeut Nyanghareup Ati Mungkir, S.IP., orang yang juga mengincar kursi kepala desa. Akibat dari kontrak politik itu, alam rusak dan mendatangkan bencana bagi Desa Cibarani.

Jernih — Selain sebagai hiburan, seni pertunjukan juga acap kali dijadikan sarana kritik terhadap kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini tampak jelas dalam pertunjukan teater berjudul Cibarani karya/sutradara Ridwan Hasyimi yang dihelat di Gedung Aula Jendral Sudirman, Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis, Jawa Barat pada Rabu (28/10/2020).

Pertunjukan teater berdurasi lebih dari satu jam ini merupakan rangkaian peringatan Milad Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiayah (HMPS PGMI), Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (FT IAID) ke-9.

Dalam keterangan tertulisnya kepada Jernih, Ketua Prodi PGMI Ujang Endang, S.Ag., menyebut bahwa peringatan milad kali ini merupakan peringatan yang istimewa karena dilaksanakan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Upaya integrasi dua momen ini tercermin dalam tema kegiatan, yaitu “Unity of Diversity” yang bermakna “kesatuan dalam kebhinekaan”.

Tema kegiatan ini lantas diwujudkan dalam rangkaian kegiatan yang beragam namun tetap dalam satu kesatuan. Beberapa kegiatan yang dihelat di antaranya, diskusi panel dengan narasumber alumni Prodi PGMI yang dinilai sukses, pertunjukan Tari Merak, musik angklung, serta lomba membuat tumpeng.

Sebagai pemungkas kegiatan, disajikan pertunjukan teater berjudul Cibarani yang seluruh pemainnya merupakan mahasiswa Prodi PGMI lintas angkatan. Dalam pertunjukan tersebut, disajikan pula Jaipong Kalang Sunda dan sajian angklung yang membawakan lagu Bangun Pemuda Pemudi. Kedua sajian tersebut diikat dalam satu cerita mengenai kondisi politik Desa Cibarani yang tak jauh berbeda dengan politik Indonesia.

Cibarani mengisahakan bagaimana intrik politik dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) melibatkan “tangan gaib pengusaha” yang ujung-ujungnya menghancurkan alam demi keuntungan materi. Akibat dari itu “kontrak politik” itu, alam rusak dan mendatangkan bencana bagi Desa Cibarani sendiri. Sebuah potret yang politik Indonesia.

Ketua HMPS PGMI periode 2020-2021, Lusi Widyaningsih, mengatakan bahwa sepanjang sejarah HMPS PGMI, baru kali ini peringatan Milad dihelat sedemikian meriah, terlebih dengan adanya pertunjukan teater sebagai penutup acara.

Selain itu, karena baru pertama kali berlatih teater, diakui Lusi, ia dan kawan-kawan mahasiswa PGMI lainnya mendapat pengalaman berharga melalui proses latihan teater yang “berdarah-darah”.

“Karena baru pertama kali, reuwas [kaget] juga. Saya kira latihan teater itu sederhana aja, tinggal menghapal dialog. Ternyata kompleks, melelahkan, tapi, alhamdulillah, asik. Jadi lebih kenal dengan teman-teman dan diri sendiri,” jelas Lusi yang juga memerankan tokoh Ibu Kuwu Maha Hajah Darmaji. 

Dalam kesempatan tersebut hadir pula Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis dan Bupati Ciamis, Dr. Herdiat Surnarya. Sayangnya, Bupati tak berkesempatan menonton pertunjukan sebab harus meninjau Kecamatan Banjarsari, wilayah Ciamis yang terkena bencana banjir.

Cibarani, Kritik Terhadap Kondisi Politik yang Penuh Intrik

Cibarani merupakan lakon teater yang sengaja ditulis Ridwan Hasyimi untuk dimainkan dalam rangkaian peringatan Milad Himpunan Mahasiswa Program Studi Guru Madrasah Ibtidaiyah (HMPS PGMI) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (FT IAID), Ciamis, ke-9.

Ceritanya mengingatkan pada kondisi politik di Indonesia dewasa ini yang sarat dengan intrik. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan mata air Cibarani yang merupakan tempat yang sejak lama disakralkan warga.

Alkisah, Desa Cibarani akan segera menghelat pesta demokrasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Meski belum mulai masa kampanye, namun calon petahana, Ibu Kuwu Maha Hajah Darmaji, sudah memulai kampanye melalui kegiatan pemerintah desa, hal yang umum dilakukan para calon petahana dalam kehidupan nyata.

Sementara calon lainnya, Omzet Sukalaba, menggunakan kekuatan uang dan klenik demi memenangkan simpati warga. Calon lain, yang kelak akan menjadi pemenang, menjalankan strategi yang cukup komplek. Ia meminta bantuan seorang mahasiswa untuk memprovokasi warga serta membayar seorang pedagang asongan untuk memata-matai dua calon saingannya.

Darmaji dan Omzet ternyata sama-sama meminta bantuan dana dari Raja Dolar, pihak yang dalam pertunjukan ini tak ditampilkan sama sekali namun sering disebut-sebut sebagai “orang yang sudah kebanyakan uang”. Dalam salah satu dialog antara Darmaji dan Cukong yang merupakan perantara Raja Dolar, disebutkan bahwa Raja Dolar sedang mengincar mata air Cibarani untuk dijadikan salah satu mega proyeknya.

Ia akan memberi dana bagi para kontestan Pilkades asal jika kelak menang, kepala desa terpilih harus memberi izin untuk mega proyek Raja Dolar yang akan melibas gunung dan mata air Cibarani, diubah menjadi kawasan yang “mendatang rupiah yang lebih melimpah”. Tapi, jika calon-calon itu kalah, suntikan dana tersebut harus dikembalikan berikut bunga 20%.

Baik Omzet maupun Darmaji menyetujui syarat tersebut. Pertemuan Darmaji dan Cukong direkam  oleh Tukang Tahu, pedagang asongan yang merupakan orang bayaran Sutipu Beungeut Nyanghareup Ati Mungkir, S.IP., orang yang juga mengincar kursi kepala desa. Hal yang sama ia lakukan juga pada Omzet.

Pada suatu ketika sebelum Pilkades berlangsung, Sutipu, dengan bantuan Tukang Tahu dan seorang Mahasiswa yang ternyata kaki tangannya juga, mengumpulkan warga. Ia mengungkapkan bahwa Darmaji dan Omzet memiliki niat tak baik terhadap keberadaan mata air Cibarani. Sebagai penguat, ia menunjukan video pertemuan antara rival-rivalnya itu dengan Cukong.

Warga kaget bukan kepalang, mengetahui dua calon kebanggaan mereka ternyata bersekutu dengan Raja Dolar yang punya niat menghancurkan mata air yang mereka sakralkan. Dalam kondisi seperti itu, Mahasiswi memprovokasi warga untuk tidak memilih Darmaji dan Omzet.

Cerita kemudian lompat ke masa setelah Pilkades berlangsung. Sutipu keluar sebagai pemenang. Namun, di penghujung pertunjukan terbongkarlah rahasia Sutipu. Ia pun ternyata telah meneken kontrak dengan Raja Dolar. Saat itu semua sudah terlambat. Alat-alat berat yang disimbolkan dengan manusia berkepala kardus merangsek hutan larangan tempat mata air Cibarani.

Nini Ruwat, kuncen mata air sakral itu sebernarnya sudah menduga sejak lama bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Dengan sekuat tenaga ia melawan mesin-mesin itu. Sementara itu, Cukong dan Sutipu dengan riangnya menghitung uang di sisi panggung yang lain.

Cerita lompat lagi. Akibat perusakan alam itu, bencana banjir dan longsor melanda Cibarani. Mengetahui tindakannya berbuah bencana, Cukong dan Sutipu lari tunggang langgang. Para warga Cibarani, yang memainkan peran ganda sebagai mesin-mesin, juga Darmaji, Omzet, Tukang Tahu, dan Mahasiswi, menjadi korban bencana.

Diujung adegan, mereka semua terjatuh setelah chaos akibat bencana. Pamungkas, mereka bersama-sama menyanyikan penggalan lagu Lautan Tangis karya Sujiwo Tedjo yang diaransemen ulang dengan menyisipkan lirik berbahasa Sunda mengenai Cibarani oleh penata musik pertunjukan ini, Dani Djamaluddin.

Selain dikemas dengan gaya komedi satire yang segar, salah satu hal unik dari pertunjukan ini adalah pemilihan nama tokoh yang memiliki arti tersendiri sebagai proyeksi dari karakter dirinya.

Darmaji dalam bahasa Sunda kerap dimaknai sebagai akronim dari “dahar lima ngaku hiji”, sebuah istilah yang umum digunakan untuk menyebut tindakan culas seseorang di warung makan atau warung kopi yang “makan lima makanan namun hanya mengaku satu”.

Nama lainnya, Omzet Sukalaba, sudah kentara jelas maksudnya. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang hanya mengejar keuntungan materi. Sementara Sutipu Beungeut Nyanghareup Ati Mungkir S.IP., dijelaskan Ridwan selaku penulis naskah dan sutradara Cibarani, adalah cerminan karakternya yang suka menipu sekaligus munafik.

“Sutipu itu maksudnya suka tipu-tipu. Nah, kalau beungeut nyanghareup ati mungkir itu peribahasa Sunda untuk menyebut orang munafik. Wajahnya menghadap namun hatinya memungkiri, kira-kira gitu lah. Di ujungnya ada gelar S.IP., gelar kesarjaan apa itu? Silakan penonton maknai sendiri,” terang Ridwan kepada Jernih.

Back to top button