POTPOURRI

Pasien Covid-19, Santap Ikan Ambon Manise– Catatan Ringan Egy Massadiah

“Karena yang ditawari hanya saling pandang, maka Pak William Wongso langsung bilang, ‘ini ikan sangat bersih. Saya tahu, ini ikan bersih dari pencemaran. Dari dagingnya saya tahu.”

JAKARTA– Makanan sehat adalah sebaik-baiknya obat. Di saat vaksin ataupun obat Covid-19 belum lagi ditemukan, maka makan makanan sehat adalah –salah satu— cara terbaik terhindar dari virus berbahaya itu.

Ikan adalah jawaban atas kebutuhan makanan sehat tadi. Apalagi, ikan yang berasal dari perairan dalam dan belum tercemar.

Salah satu penghasil ikan terbaik di Indonesia adalah laut Maluku. Sebab, di sana, kedalaman laut rata-rata 300 sampai 500 meter. Bahkan ada yang hingga kedalaman 5.000 meter.

Pendek kata, ikan-ikan dari lautan Maluku, sangat segar dan bergizi tinggi. Sangat baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Tentu, sangat baik jika dikonsumsi para pasien dan tenaga medis yang ada di rumah-sakit-rumah-sakit rujukan Covid-19.

Itulah keseluruhan alasan sederhana seorang Doni Monardo, ketika  mendatangkan ikan-ikan segar dari perairan Maluku. Ikan-ikan itu kemudian dimasak dan dihidangkan sebagai menu utama bagi para pasien dan tenaga medis di “RS Darurat Covid-19” Wisma Atlet, Kemayoran – Jakarta Pusat, tanggal 3 Mei 2020.

Doni Monardo, dalam sebuah kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan perikanan

Sekilas, ada kesan “ada cara mudah, kenapa Pak Doni mencari cara susah?”

Mendatangkan ikan dari Maluku ke Jakarta, tentu bukan persoalan mudah. Jika persoalannya adalah sekadar membeli ikan dan minta dikirim, memang tidak sulit. Tetapi ini Ambon, bung! Apalagi situasi saat ini, penerbangan terbatas bahkan nyaris tak ada.

Anda tahu? Jarak Ambon ke Jakarta adalah 2,737 km. Jika menggunakan jalur laut dan darat, via Ambon – Makassar – Surabaya – Jakarta membutuhkan waktu sedikitnya 108 jam. Anda yang pernah melakukan perjalanan itu, pasti setuju. Sedangkan jika melalui transportasi udara, butuh waktu 3 jam 55 menit, di luar urusan pesawat taxi to runaway, take off, dan landing.

Artinya, jauh lebih mudah jika membeli ikan di Muara Angke, misalnya. Tapi Doni keukeuh mendatangkan ikan dari hasil budidaya nelayan Ambon. Ada banyak alasan untuk itu. Alasan pertama adalah, kesegaran ikannya. Segar dalam arti, benar-benar ikan sehat dan tidak tercemar.

Alasan kedua, tentu saja menyerap buah kerja para nelayan yang telah mengikuti program emas biru. Sebuah program budidaya hasil laut, yang dirintis saat Doni menjabat Pangdam XVI/Pattimura tahun 2017.

Singkat kata, 100 kg ikan kuwe –di Ambon disebut ikan bobara— serta beberapa jenis lainnya pun siap dikirim. Mayjen TNI Marga Taufik Pangdam Pattimura sudah menyiapkannya atas permintaan langsung dari Doni. Untuk harga ikan dan packing, biayanya sekitar Rp 8 juta. Belum termasuk biaya kirim (kargo).

Beruntung, Dirut Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra berbaik hati, dan spontan menyatakan ikut membantu niatan Doni Monardo. Irfan membebaskan ongkos pengiriman 100 kg ikan dari Ambon ke Jakarta dengan pesawat Garuda.

Setiba di Wisma Atlet, ikan-ikan segar yang dikemas dalam kotak gabus styrofoam lengkap dengan es batu, langsung diolah di dapur RS Darurat Wisma Atlet. Para juru masak adalah koki-koki handal yang dikoordinasi oleh Kementerian BUMN yang bertugas di sana.

Ikan Ambon istimewa

Tidak sampai hitungan hari. Hanya dalam hitungan jam sejak para pasien Covid-19 di RS Darurat Civid-19 Wisma Atlet Kemayoran menyantap ikan kiriman Doni Monardo, komentar dan respon datang bertubi-tubi. Tentu ada yang nyangkut ke jalur japri Doni Monardo, tapi kebanyakan diarahkan kepada orang-orang terdekat Doni.

Melalui Brigjen Saleh Mustafa Akabri 91, Kasdam Jaya, saya mencari tahu komentar warga Wisma Atlet. “Apa benar itu ikan kuwe, Pak? Kok rasanya beda sekali. Yang ini benar-benar gurih. Dagingnya wow, dan segar.” Itu salah satu komentar salah seorang pasien di RS Darurat Wisma Atlet.

Ihwal keistimewaan rasa ikan yang didatangkan dari Ambon, saya menggalinya kembali saat berbuka puasa dua malam lalu.

“Yang jelas, laut Ambon belum tercemar,” kata mantan Komandan Jenderal Kopassus tahun 2015 ini.

Kembali ia mengulangi alasan lain, yakni ihwal kedalaman lautnya. “Begitu lepas dari pantai, tidak lama kemudian bawah laut berbentuk tegak lurus, dengan kedalaman antara tiga-ratus hingga lima-ratus meter,” tambahnya.

Kontur bawah laut perairan Maluku bisa dilihat melalui GPS yang biasa digunakan para pemancing ikan profesional. Juga dengan aplikasi yang ada di handphone betapa gambaran dinding,  kedalaman laut serta palung atau jurang laut yang ada di sekitar Ambon.

Di perairan dalam itulah Doni Monardo, saat menjabat Pangdam XVI/Pattimura tahun 2017 mencanangkan program emas biru. Membuat keramba budidaya ikan. Hanya dalam waktu singkat, hasilnya luar biasa mencengangkan.

“Ikannya sangat bagus, segar, sehat, tidak tercemar. Makanan mereka bukan pelet atau sejenisnya, melainkan plankton, fitoplankton, hydrila dan tumbuhan yang hidup di perairan keramba.

Menggambarkan betapa segar ikan-ikan hasil budidaya di Ambon, Doni punya satu cerita. Cerita yang juga terjadi tahun 2017, yakni saat pakar kuliner William Wongso bertandang ke Ambon. Di sana, ia sedia membuat demo mengolah kuliner ikan.

Spot syuting dilakukan di pinggir pantai, tak jauh dari lokasi keramba budidaya perikanan “emas biru” yang dikelola masyarakat. William Wongso langsung mengambil ikan kerapu. Dengan ahlinya, ia membuat irisan fillet, lalu dibuat sashimi.

“Kami semua diminta makan ikan mentah dengan mencocol di kecap asin, jeruk nipis, dan campuran dressing yang harum baunya,” kata Doni Monardo seraya menambahkan, “Karena yang ditawari hanya saling pandang, maka Pak William Wongso langsung bilang, ‘ini ikan sangat bersih. Saya tahu, ini ikan bersih dari pencemaran. Dari dagingnya saya tahu.”

Doni Monardo, penggagas emas biru itu, gesit mengunyah sashimi ikan kerapu, hasil budi daya emas biru nelayan Ambon. “Benar, itu kali pertama saya makan ikan mentah hasil budidaya yang saya rintis sendiri. Rasanya memang luar biasa. Enak sekali,” kata Doni.

Kenikmatan rasa daging ikan laut Ambon, sudah sering berdansa di lidah Doni Monardo. Hanya saja, sebelum-sebelumnya, selalu bercampur dengan rasa dan aroma rempah yang ada dalam bumbu.

“Sebab, sebelumnya selalu dimasak, atau paling tidak dibakar. Tapi untuk dimakan mentah, terus terang baru pertama kali, apalagi yang mengiriskan langsung dari tangan Pak William Wongso,” ujar Doni pula.

Seperti ada kebutuhan khusus seorang Doni Monardo untuk berkampanye makan ikan. Katanya, di saat penyakit sedang melanda, masyarakat butuh imunitas. Tidak boleh panik. Makan harus teratur, olahraga juga harus teratur.

Ikan adalah salah satu jenis makanan bergizi. Makanya spontan saya tawarkan ke pengelola RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran. Mereka antusias sekali.

Hal yang sama ternyata sudah pernah dilakukan Doni Monardo di Natuna, awal Februari 2020.

Saat itu, bersama Menko PMK dan Menkes mengkoordinasi pemulangna lebih dari 200 WNI dari Hubei, Wuhan – China. Sebelum dikembalikan ke keluarga, mereka dikarantina di pangkalan Kogabwilhan 1 yang ada di Natuna.

Selama 14 hari masa karantina, hampir tiada hari tanpa makan ikan. “Asal tahu saja ya… bagi yang jarang makan ikan, mungkin tidak bisa membedakan rasa ikan. Tetapi bagi yang biasa makan ikan, akan dengan mudah bisa membedakan cita rasa ikan. Ikan kerapu, beda rasanya dengan ikan tongkol, tuna, bandeng, dan lain-lain. Jadi, meski tiap hari makan ikan, tidak akan ada rasa bosan,”kata Doni, fasih.

Untuk memenuhi kebutuhan ikan bagi 200 lebih WNI yang ada di karantina, pihaknya membeli ikan dari para nelayan Natuna. Ikan-ikan di Natuna juga terbilang masih sangat segar. “Makanya, setelah usai karantina, hasilnya semua sehat, dan bisa kembali ke tengah keluarga dengan aman dan nyaman.”

Begitulah, ikan dimakan, ekonomi nelayan tetap berdenyut. [  ]

*Penulis adalah Tenaga Ahli BNPB – Anggota Gugas Covid 19

Back to top button