POTPOURRI

Pengalaman Berpuasa Ramadhan di Penjara (1): Di Ruang Penampungan, Orang Tidur dengan Duduk Berdesakan

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Kebaikan apa yang saya dapat dari mengeluh dan kecewa?  Tak ada. Alih-alih, hal itu hanya akan memaku kepala saya di rumah, sementara raga saya harus menghadapi kenyataan di sini!

JAKARTA– Saya masuk Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada 8 Mei 2018 tengah malam, hampir tanggal 9 Mei. Sementara permulaan Ramadhan tahun itu jatuh pada 17 Mei. Alhasil, saya hanya punya waktu sepekan untuk melakukan adaptasi ganda: menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara, plus menyesuaikan diri untuk berpuasa di penjara.

Sebenarnya bisa dikatakan, saya masuk dengan ‘romantisme’ tersendiri tentang penjara. Mungkin akibat terlalu banyak nonton film Hollywood. Saya membayangkan datang menyusuri gang menuju sel saya, dengan kaki tersaruk-saruk dibelenggu rantai, sementara tangan-tangan berjuluran dari setiap kerangkeng sel, dengan teriakan brutal para penghuni lama yang mencoba menjangkau saya. Persis seperti yang pernah saya saksikan di film-film Shawshank Redemption, Escape from New York, The Green Mile, Escape from Alcatraz, atau yang dekat-dekat, Escape Plan. Ternyata nggak, tuh. Saya masuk, ya masuk saja.

Jujur saja, dada yang sempat mancung membayangkan diri seolah Snake Plissken itu langsung ciut mengkeret di menit pertama menginjak ubin ruang Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling). Untuk menghadap pemimpin blok (foreman), melaporkan kedatangan sebagai penghuni baru, saya dan teman satu perkara, Setiyardi, harus bersijingkat melewati tubuh para penghuni lain yang tidur memenuhi semua senti lantai ruang Mapenaling. Tak ada sepetak pun ruang tersisa. Bahkan kemudian saya tahu—manakala terpaksa harus ke peturasan (WC) karena dorongan alamiah, hanya sekitar dua jengkal dari area WC yang kotor dan becek itu duduk mencangkung sekian banyak orang, mencoba tidur. Sebagian lainnya berdiri, kabarnya untuk bergiliran istirahat pada waktunya.

Bayangkan, jika mereka yang lebih dulu menghuni ruangan itu saja harus tidur dengan duduk dan berdiri, apalagi kami berdua yang baru saja kulonuwun jadi penghuni! Hanya karena pertolongan Allah lewat kebaikan para penghuni lama, malam itu kami bisa tidur beralaskan kasur, lengkap dengan bantal, dengan ruang yang entah bagaimana bisa disediakan Bang Samosir, foreman waktu itu. Tentu pula atas kebaikan Mas Hendri, pimpinan mushola Mapenaling.  Paginya saya baru tahu, ruangan yang diperkirakan berkapasitas 150 orang itu padat dihuni hampir 500 orang.

Saya sempat agak terganggu manakala seorang penghuni lama satu di blok mushola, Bang Wawan, mengganggu saya yang nyaris terlelap. Dia bilang, sebaiknya saya paksakan bangun pada pukul 2 pagi, setiap hari. “Air hanya ngalir dua kali, sore dan sekitar jam 1 pagi. Mandi pagi sesuai kebiasaan di rumah, boleh dibilang tidak mungkin. Yang paling baik sih, ikuti saja kesempatan-kesempatan yang ada di sini.”

Saya mengiyakan dengan mata yang sudah 95 persen dalam pengaruh Hypnos, Dewa Tidur. Lamat-lamat saya masih mendengar dia bicara tentang kebaikan mandi subuh bagi tubuh. “ Para kiyai…setiap subuh…tak pernah sakit…flu saja nggak..”

Kurang dari dua jam kemudian saya dibangunkan Bang Wawan, yang mengulurkan sebatang sabun dalam pak terkecil. Saya ditawari handuk, hanya saya tolak. Barang itu bagi saya sangat pribadi. Saya berpikir akan mengeringkan badan sebisanya dengan kibasan tangan. Saya bahkan sudah bersiap untuk memakai baju, celana bahkan celana dalam yang sama beberapa hari ke depan. Soalnya saat ditangkap, tak ada apa pun dalam tas ransel saya kecuali buku. Belum lagi tak ada jaminan istri saya di rumah tahu kalau saya sore tadi ditangkap dan dibawa ke Cipinang ini.

Dari rumah saya memang membawa travel bag karena berencana ke Bandung untuk wawancara pembuatan buku seorang tokoh. Tapi tas berisi pakaian untuk dua-tiga hari itu saya tinggal di kantor. Saya sangat berharap, kalau petugas Kejaksaan alpa memberitahu keluarga saya secepat mungkin, semoga saja ada pemberitaan yang cukup besar di media massa, yang memungkinkan istri saya tahu hingga besok bisa membawakan pakaian salin.

Belum juga saya membuka pintu kamar mandi yang hanya berupa sebidang papan lapuk, ruap aroma khasnya sudah menyembur keluar. Sempat hati saya mengeluh. Untunglah kesadaran segera membawa saya ke alam nyata. Kebaikan apa yang saya dapat dari mengeluh dan kecewa?  Tak ada. Alih-alih, hal itu hanya akan memaku kepala saya di rumah, sementara raga saya harus menghadapi kenyataan di sini!

Saya mandi, menggosok gigi saya dengan jari-jari sambil sedapat mungkin tidak melihat ke lubang peturasan yang penuh dengan benda-benda mengambang. Sempat terpikir mau membasuhnya, hanya urung karena tak kuat melihatnya. Pengalaman yang sama pernah saya alami 1996 lalu, waktu mabit dalam rangkaian ibadah haji. Di Mina waktu itu, bahkan paket haji paling mahal pun—disclaimer: saya dibayari, tetap saja meniscayakan peturasan sebagaimana saya lihat di Cipinang hari itu. Pemandangan itu pula yang membuat apa yang semalam bergolak di perut minta keluar, serta merta enggan beranjak. Mungkin isi perut saya pun masih merasa berbeda kasta dengan yang mengambang di lubang peturasan, hingga ogah keluar.

Saya dan rekan satu sel-satu perkara, Setiyardi, di pintu sel kami

Manakala saya keluar kamar mandi, saya bersyukur sempat mendengar apa yang Bang Wawan katakan semalam. Apalagi manakala waktu subuh usai. Sekian banyak orang mengantre kamar mandi dan WC, yang hanya ada dua untuk ratusan orang ini. Hiruk pikuk teriakan tak sabar dengan kalimat kasar, membuat saya sempat berpikir mungkin tak lama lagi akan meletus perkelahian. Tidak, dan lama-lama saya terbiasa mendengar orang saling mengumpat dengan kalimat yang tak akan terbayangkan para siswa John Robert Power itu.

Sebagian orang tampaknya tak akan mandi hari itu. Mereka yang memang pada dasarnya malas mandi, mungkin malah gembira saja dengan minimnya fasilitas. Air keran mulai mengering pada sekitar pukul 06 pagi, manakala gerbang Mapenaling dibuka.

Orang-orang keluar, berebutan mencari udara segar. Tak banyak orang diam di dalam. Di luar banyak hal bisa dilakukan: thawaf mengelilingi lapangan sepakbola mini dengan arah yang–entah mengapa, seolah diatur sebuah konvensi untuk berlawanan gerak jarum jam, benar-benar laiknya thawaf; duduk-duduk di sekeliling lapangan, mengobrol kosong dengan sesama kawan; pergi ke warung di blok teroris menikmati sedikit yang masih tersisa dari fasilitas di luar kawat berduri, seperti bala-bala dan pisang goreng yang masih mengepul hangat. Di blok itu kita masih mungkin berlaku seolah orang bebas yang bisa berteriak minta disediakan kopi panas–asal jangan over-acting karena urusannya melibatkan napi teroris yang para sipir pun mikir sekian kali untuk main-main. Atau diam-diam ikut mandi di masjid jami, pura-pura jadi santri.

Jadi, benar kata Bang Wawan, ikuti, mengalir saja bagai air. Pintu dibuka, ya keluar. Buat apa ngendon di dalam karena tak akan membuat dirimu dianggap napi teladan yang selalu siap berada dalam tahanan. Diminta masuk untuk dihitung tiga kali sehari, ya masuklah ke sel, sampai seseorang menunjuk dirimu dan menggumamkan angka. Ya, di sini semua hanya angka. Jika selmu berisi 10 jiwa, itu artinya pertahankan angka 10 itu sebelum ada penambahan atau pengurangan resmi. Di luar itu, siap-siaplah bermasalah. 

Ditemani Atmawinata, mantan aktivis Jakarta yang masuk Cipinang karena dikhianati mitra bisnisnya, saya menyambangi blok teroris. Seperti yang lain, mencari sarapan. “Ada bubur ayam, nasi uduk, atau ketoprak di sini,” kata Atma. Saya ingat, harganya rata: Rp 10 ribu. Saya yang memilih nasi uduk mendapatkan sebungkus kecil nasi berminyak, sepotong kecil tempe, sedikit mi goreng yang kadang diganti bihun goreng, irisan seperempat semur telur bulat, lima atau paling banyak tujuh keping goreng kerupuk, dan sambal. Nah, saya melihat para napi tak ubahnya ibu-ibu dalam soal sambal: mereka kuat pedas.     

Atma juga mengenalkan saya pada para penghuni blok itu. Sebenarnya saat itu pun blok itu hanya ditinggali sekitar enam orang, lainnya napi biasa—bahkan kebanyakan napi urusan narkoba, yang menjadi murid mengaji para napi khusus tersebut.

Di sekeliling saya melihat alat-alat kebugaran sederhana buatan tangan: barbell kecil dari semen dan kaleng cat, beban yang lebih berat yang tampak dicetak, track kerikil untuk berjalan kaki beberapa langkah, serta palang angkat-turun badan. Saya segera merasa punya tempat fitness, sesuatu yang saat di luar tak pernah saya bayangkan. 

Atma mengenalkan saya kepada seseorang yang berpenampilan agak lain dibanding napi teroris lainnya: gondrong, bertatoo, senang mengenakan kaos singlet ala pemain basket NBA, namun tetap bercelana cingkrang dan memelihara jenggot-cambang. Kalau tak salah, dialah Muhammad Basri alias Bagong, wakil Santoso yang merupakan pimpinan Jamaah Poso. Basri sangat dihormati. Hal itu gampang dilihat hanya dalam 10 menit pertama perjumpaan dengannya. Kami terlibat obrolan, lebih tepatnya kulonuwun saya sebagai warga baru.   Hanya sesekali ia menimpali. Namun yang jelas ia sangat fokus mendengarkan.

Meski pendiam, saya segera menyimpulkan Basri orang yang ramah dan terbuka. Beberapa cerita tentang perlawanannya selama di Cipinang, menurut saya hanya menegaskan bahwa ia laki-laki yang punya karakter dan sikap.

Di hari pertama itu saya sudah punya agenda harian untuk mengisi pagi selama di sini: -Blok teroris, 06-07 pagi. Olahraga angkat beban, ngopi dan sarapan.

                                                         ***

Alhamdulillah, saya tak harus terus memakai pakaian yang sama selama berhari-hari. Istri saya sudah bezoek di hari pertama itu. Dia mendapatkan pesan penangkapan saya semalam dari banyak orang, selain aparat Kejaksaan. Salah satunya dari teman sekantor dan junior saya, Suki. (Tentang Suki, orang ini tergolong misterius, bahkan namanya sekali pun. Tak pernah ada yang bisa membuktikan apa nama lengkapnya, bahkan ‘Yaki’ pun tidak pernah terkonfirmasi.)

Saat datang, istri membawakan saya banyak barang yang saya perlukan selain pakaian. Ada juga makanan yang cukup banyak, sehingga hari itu bisa sedikit berbagai di antara para pengisi kamar mushala.

Esok harinya baru teman-teman, kenalan dan senior berdatangan bezoek. Yang masih saya ingat yang pertama kali adalah Kang Budi Sulistianto, kakak kelas saya beda fakultas di UNPAD. Saya di FE, Kang Budi di FISIP, itu pun tak pernah sezaman. Kami dipertemukan Masjid Al-Jihad UNPAD. Kang Budi membawakan saya aneka makanan, agenda bank BJB untuk mencatat, pulpen, Alquran dengan terjemahan lengkap, dan memasukkan ke kantong saya segumpal besar uang kertas saat pulang. Sifat norak saya belum mau lepas, terbukti saya sok menolak pemberian itu pada awalnya. Padahal jujur saja, saya tak punya uang.

Tong ragu-ragu pami aya kaperyogian sanes. Jangan ragu kalau ada keperluan lain,” kata Kang Budi. Saya belakangan melihat Kang Budi selalu berupaya hadir manakala orang-orang yang ia kenal baik tertimpa kesulitan. Ada anggota keluarga yang meninggal dunia, terutama.  

Yang pada awalnya sempat membuat saya tersenyum adalah pemberian senior saya yang datang pada hari kedua, Kang Komar. Saat itu beliau datang diantar alm Azwan Martin dan Edi Pohan. Kang Komar memberi saya sarung, sebuah sajadah tebal yang juga saya pakai sebagai alas di atas kasur pinjaman Kang Hendrik, serta sebuah penggaruk punggung dari plastik. Belakangan, benda itu menjadi benda yang tergolong paling fungsional di penjara. Pasalnya, selain tentu kita tak bisa menjamin kebersihan sepenuhnya, penjara juga berjasa menjadi suaka beberapa hewan yang kini langka. Tumbila alias kepinding atau kutu busuk, umpamanya.

Soal kepinding ini, belakangan setelah saya punya sel sendiri, saya tahu banyak gunanya, terutama untuk pengisi waktu luang. (Saya tak pernah merasa firm dengan istilah ‘waktu luang’ di penjara). Sekitar tiga pekan sekali, teman satu sel saya, Jay, napi asal Lampung untuk dakwaan perampokan dengan kekerasan dan divonis 17 tahun, selalu membalik-balik kasurnya, dibantu Opank, napi asal Surabaya dengan dakwaan dan vonis yang kurang lebih sama. Sel Opank di seberang sel kami, hanya dipisahkan ruang kosong memanjang, sehingga blok kami bentuknya seperti huruf ‘U’.

Tidak semua kepinding yang kedapatan gemuk-gemuk penuh darah hisapan itu ditumpas di tempat. Sebagian ada yang dimasukkan ke botol bekas You-C 1000. Dengan selembar penanggalan kosong sebagai arena, mulailah orang-orang balapan kepinding. Riuh-rendah suara pemilik kepinding dan pendukung yang berdatangan dari sel lain, menyemangati kepinding jagoan masing-masing, seolah-olah makhluk bau itu mengerti setiap sorak dan applaus yang diberikan. Hebatnya, tak ada judi yang terjadi. Entah mengapa, karena sebenarnya di penjaralah saya disadarkan bahwa judi toto Singapura (tossing) yang saya pikir telah musnah itu, masih ada dan hidup. Mang Endang, napi penghuni lorong di blok kami, termasuk penggemar setianya. Hampir sekian jam tersendiri dalam hidupnya diisi dengan acara menghitung-hitung pada sebuah kardus bekas. Me-mistik angka, menjadi sebuah angka jagoan untuk ia pasangkan sebagai taruhan.

“Lumayan Kang,” katanya. “Pasang seribu,  dua angka jadi Rp 60 ribu. Empat angka Rp 400 ribu.” Tapi selama 8 bulan saya di Cipinang, saya belum mendengar Mang Endang menang. Setidaknya, ia tak lapor soal itu kepada saya.  

Saya menikmati keriuhan itu balap kepinding itu, jujur saja. Dibanding terus mendengar suara-suara melow dari sebuah stasiun tv yang khas memutar sinetron-sinetron nasional. Saya selalu terganggu dengan kenyataan betapa baper-nya para napi itu, ternyata. Opank, misalnya. Napi yang ditakuti di blok kami itu seringkali terbawa perasaannya sendiri kalau melihat sinetron. Dan ini ganjilnya: ia peminat serius sinetron dari sebuah stasiun yang tak dan tak akan pernah saya panteng di rumah, di tv warna 24 inchi buatan millennium lalu di sel kami itu. Seringkali, berjam-jam ia tak bisa ditanya, hanya gara-gara sinetron yang ia tonton hari itu telah membuatnya sedih tiada tara!         

Oh ya, kembali. Saya hanya sekitar dua pekan berada di Mapenaling. “Bagus, Kang,” kata Bang Wawan, yang ternyata pelatih sebuah kesatuan tentara untuk bela diri Merpati Putih. “Saya mah udah dua tahun lebih di sini.”   Saya sempat minta diajari bela diri, namun ia menolak. “Susah cari tempatnya,” kata dia beralasan. Yang mau ia ajarkan sejak hari kedua justru adalah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorof. “Orang Islam harus belajar nahwu-shorof. Ngapain pinter elmu-elmu dunia kalau nahwu-shorof nggak bisa?” kata Bang wawan, yang segera saja saya iyakan.

Suatu malam, setelah apel malam yang biasa diadakan, datang sebarisan calon warga baru dari berbagai rumah tahanan. Sekitar 50-an orang. Saya sudah pusing saja membayangkan betapa Mapenaling yang sudah sesak pepak ini akan bertambah penghuni sejumlah angka tersebut. Namun saat mereka dibariskan dalam posisi jongkok, beberapa nama dipanggil keluar gerbang. Ada sekitar 30-an orang, termasuk saya dan Setiyardi.

Malam itu kami pindah sel, menempati sel  yang terbilang fixed, kecuali dipindahkan ke Lapas lain. Saya dan Setiyardi kebagian di blok tipe 5, ‘kamar bersama’ (KB) lantai 2. Tipe 5 artinya sel-sel yang ada harusnya diisi lima orang warga binaan alias Napi. Namun tak pernah ada yang seideal itu. Kamar kami saja kemudian ternyata diisi 10 orang. Sementara ‘kamar bersama’ mungkin merujuk kamar khusus pengganti semacam hall untuk blok tersebut, yang memang tak ada. Jadi meski diisi 10 orang, sel tersebut relatif lebih leluasa dan memberi ruang nafas buat penghuninya.

Yang jadi persoalan, di sel itu hanya ada kamar mandi. Tak ada peturasan. Untuk kencing masih memungkinkan karena ada lobang pembuangan. Namun tidak untuk buang air besar.  [bersambung]  

Back to top button