POTPOURRI

Perjalanan Udara Khomeini dan Nasib Revolusi Iran

Khomeini sebenarnya hendak berkata bahwa kedatangannya kembali bukanlah persoalan emosional manusia. Menurutnya, ini semua adalah kehendak Tuhan

JAKARTA—Hari ini, 1 Februari, di tahun 1979, Ayatullah Ruhollah Khomeini pulang ke Iran dari Paris, Prancis. Setelah 15 tahun dalam pembuangan Sang Ayatullah yang kembale ke negerinya pada usia 82 tahun itu duduk diam di bangku kelas utama sebuah pesawat Boeing 747 carteran. Bersamanya turut sekelompok pengikutnya, dan sekian banyak wartawan. Kita tahu, salah satunya adalah Nasir Tamara, wartawan Indonesia.

Sayang, buku yang ditulis Nasir belum lagi dicetak ulang hingga generasi saat ini bisa mengambil manfaat dari pengalaman sang wartawan. Tahun lalu, John Simpson, kini editor di situs World Affairs, menulis ulang pengalamannya itu untuk BBC. Kami kutip sepenuhnya.

                                        ***

Ayatollah Ruhollah Khomeini duduk di bangku kompartemen kelas utama pesawat Boeing 747 sewaan. Matanya mengarah keluar jendela, menatap negara yang ia tinggalkan 15 tahun sebelumnya.

Saya berdiri di dekatnya, bersama rekan juru kamera. Saya menanyakan perasaan Khomeini tentang masa pengasingannya yang telah usai. Tidak ada jawaban.

Warga Iran, menunggu kedatangan kembali Khomeini

Seorang koresponden media massa asal Amerika Serikat mengulangi pertanyaan saya. “Hichi,” jawab Khomeini dalam bahasa Farsi. “Tak ada perasaan apapun.” Kelompok pendukung Shah Mohammad Reza Pahlavi, pemimpin Iran yang terpaksa melarikan diri keluar negeri beberapa hari sebelumnya, tersinggung dengan pernyataan itu.

Namun Khomeini sebenarnya hendak berkata bahwa kedatangannya kembali bukanlah persoalan emosional manusia. Menurutnya, ini semua adalah kehendak Tuhan.

Saya mewawancarai Khomeini beberapa bulan sebelumnya di lokasi pengungsiannya di kawasan pinggiran Paris, Perancis, bernama Neauphle-le-Château. Ketika itu ia menunjukkan determinasi kuat. “Monarki ini akan diruntuhkan,” ucapnya untuk meyakinkan saya.

“Ada beberapa aspek kehidupan di bawah pemerintahan korup Iran yang harus berubah. Candu seperti minuman beralkohol akan dilarang.”

“Kami akan bermusuhan dengan pemerintahan negara asing yang berperan dalam pendirian monarki di Iran,” tuturnya.  Dan Iran menjalankan apa yang dikatakan Khomeini tersebut, bahkan hingga hari ini.

Awalnya terlihat mustahil bahwa sebuah republik Islam dapat bertahan lama. Namun negara itu kini telah berdiri selama 40 tahun. Pemilu demi pemilu, jutaan masyarakat Iran mencoblos kandidat pemimpin, yang meski secara hati-hati dipilih, merepresentasikan nilai liberal dan konservatif politik.

Biasanya, kandidat dari kelompok liberal adalah yang memenangkan suara terbanyak. Meski begitu, setelah mereka duduk di tampuk kekuasaan, mereka tidak dapat mengubah apapun.

Di bawah konstitusi Iran, kelompok konservatif seperti para imam dan garda revolusi, mengontrol setiap kepentingan negara, siapa pun yang memenangkan pemilu. Pemimpin tertinggi Iran berada di atas presiden terpilih dan kelompok konservatif ini selalu siap mempertahankan kekuasaan mereka.

Tak lama setelah pemilu presiden 2009, sosok konservatif bernama Mahmoud Ahmadinejad dinyatakan menang walau kandidat dari kubu liberal, Mir Hossein Mousavi, mendapat mayoritas suara. Muncul unjuk rasa selama beberapa hari di akhir pemilu. Situasi itu seolah memperlihatkan sebuah revolusi baru barangkali baru saja dimulai.

Namun kelompok konservatif memburu para pengunjuk rasa di jalanan secara brutal. Kekuatan di balik revolusi Iran kembali memegang kekuasaan.

Lebih dari 90 persen penganut Islam di Iran meyakini Syiah. Tahun 1979, pengusiran shah dan anggota monarki lainnya oleh penggerak revolusi syiah Iran mengejutkan dan menyengat dunia Islam.

Kelompok syiah di negara seperti Lebanon dan negara teluk tidak lagi menerima kenyataan bahwa mereka berada di lapisan sosial dan politik paling bawah. Mereka tergerak untuk menuntut lebih.  Kelompok sunni di kawasan Timur Tengah pun khawatir. Namun mereka kagum pada penggulingan rezim yang disokong negara Barat itu.  Orang-orang Amerika Serikat dipermalukan dan tak ada satu pun orang di Timur Tengah yang dapat melupakan momen tersebut.

Antara 1980 hingga 1988, Iran terlibat dalam perang ganas menghadapi Irak. Negara itu terobsesi untuk bertahan.

Perselisihan pemilu presiden tahun 2009 memicu unjuk rasa terbesar setelah revolusi Iran. Namun setelah 2003, ketika AS menginvasi Irak dan menghancurkan kekuatan mayoritas sunni di negara itu, mayoritas kelompok syiah mulai mendominasi dengan dukungan Iran.

Iran menjadi kekuatan besar regional, menurut George Walker Bush, presiden AS kala itu. Ironi tersebut hampir tidak dapat membesar.

Saat ini Israel dan Presiden AS, Donald Trump, melihat Iran sebagai ancaman besar. Namun Inggris dan Uni Eropa memiliki pandangan yang sebaliknya. Inggris dan Uni Eropa mengakui bahwa Iran keras dan konfrontatif. Meski begitu, mereka yakin Iran masih berkeinginan mengikuti kesepakatan terkait ambisi nuklir.

Kata sepakat itu terjadi masa Barack Obama memimpin AS, dengan dukungan besar Uni Eropa. Kini Iran lebih luwes dibandingkan asumsi masyarakat internasional. Aturan tentang cara berpakaian wanita kadang memang ditegakkan dengan keras, namun republik Islam itu tidak pernah represif terhadap hak perempuan seperti yang rutin dilakukan Arab Saudi.

Para perempuan Iran menjalankan usaha, memiliki properti, mengendarai mobil, dan memainkan peran penting dalam perpolitikan. Pemerintahan Iran saat ini barangkali yang paling liberal setelah revolusi terjadi. Ayatollah Khomeini mungkin tidak akan setuju, tapi pendekatan ini turut melindungi stabilitas Iran.

Kembali ke tahun 1986, ketika saya pertama kali diizinkan kembali ke Iran setelah revolusi bergulir. Saya mengambil kesimpulan tentang Iran yang baru: stabil tapi tidak permanen.

Penilaian itu mungkin masih cocok untuk Iran hari ini. Ada banyak kemarahan terhadap korupsi, namun tidak semasif tatkala Iran berada di bawah rezim monarki shah. Iran terlihat sangat tenang karena tidak ada ancaman serius terhadap sistem yang berlaku.

Tapi sulit membayangkan upaya menyeimbangkan pemerintahan liberal lemah yang terpilih dengan dukungan massa dengan kekuatan konservatif kuat dapat dijalankan terus-menerus. Kegarangan, rasa dendam, dan perasaan tidak sentimental yang dibawa pulang Khomeini dari pengasingan, saat terbang menumpang Boeing 747, sudah jauh merada, tapi tetap terasa di Iran.

Dan sebelum ada kesamaan pandangan antara kelompok liberal dan konservatif tentang bagaimana Iran seharusnya dijalankan, revolusi yang digerakkan Khomeini akan tetap terasa urung tuntas. [BBC]

Back to top button