POTPOURRI

Pola Asuh Keluarga Menjadi Salah Satu Faktor Suburnya Kejahatan Seksual di Mesir

Apa yang diperbuat Ahmed Bassam Zaki masih menjadi perbincangan hingga kini di Mesir. pemuda asal Negeri Piramida Giza ini terbukti telah memperkosa lebih dari 50 perempuan sejak lima tahun silam ketika usianya masih belasan.

Jernih — Perempuan pertama yang membongkar kebiadaban Ahmed adalah seorang mahasiswi American University of Cairo yang merupakan salah satu korbannya.

Mahasiswi ini mengaku, Ahmed telah memperkosa dirinya dan beberapa temannya pada tahun 2018. Sejak kisahnya diunggah di media sosial, ratusan perempuan pun merespon dengan menceritakan kisah yang nyaris mirip.

Mereka berkisah bahwa Ahmed telah melakukan pemerkosaan, kekesaran seksual, pengancaman, dan pemerasan  kepada mereka. Lelaki yang beberapa kali pindah kampus ini melakukan pelecehan seksual pada korbannya kemudian mengancam akan memberitahu keluarga dan kerabat korban jika korban enggan meladeni nafsu bejatnya lagi.

Ada pula korban yang mengaku diancam dengan foto bugil palsu. Ahmed mengancam akan menyebarluarkan foto tersebut jika ia menolak berhubungan badan dengannya.

Gerakan para korban Ahmed semakin massif di media sosial. Tagar #theharraserAhmedBassamZaki sempat menjadi tranding di negara-negara Arab beberapa bulan yang lalu.

Solidaritas juga muncul melalui tagar #MeToo di Twitter. Dengan tagar itu, para korban pemerkosaan dan pelecehan seksual di berbagai tempat dari seluruh dunia mengungkapkan kisah kelamnya.

Tak hanya itu, banyak dari mereka yang menuntut keadilan dan perbaikan sistem hukum serta perubahan paradigma sosial mengenai perempuan dan gender.   

Sebuah artikel berjudul “Kekerasan Seksual di Mesir: Melawan Budaya Diam” tulisan Paula Al-Bahari dimuat di DW.com pada Jumat (18/9/2020).  Di dalamnya, penulis mengulas persoalan kekeraan seksual di Mesir.

Dalam tulisannya ia mengungkap bahwa korban pemerkosaan dan kekerasan seksual di Mesir sering kali mendapat perlakuan tidak adil dari negara. Korban mendapat dua kali kemalangan: diperkosa sekaligus disalahkan atas kejahatan seksual yang menimpanya.

Tempo.co melaporkan, perempuan Mesir bernama Menna Abdel Aziz yang menceritakan kisah pemerkosaan yang menimpa temannya di Facebook pada 17 Mei 2020 malah ditahan oleh otoritas Mesir dengan tuduhan menghasut dan melanggar nilai-nilai keluarga.

Perempuan Mesir sering kali enggan menceritakan pelecehan seksual yang menimpanya pada keluarga atau kerabat karena takut disalahkan atau dipermalukan.

Mereka memendam luka dan menyimpan kisah kelamnya demi nama baik keluarga. Akibatnya, pelaku tak pernah diketahui. Mereka  bebas berkeliaran dan kembali melakukan aksi bejatnya.

Hal demikian terjadi karena banyak faktor. Menuru Paula, salah satu faktornya adalah pola asuh keluarga Mesir yang dianggap bias gender. Laporan Kesenjangan Gender Global, Indeks Ketimpangan Gender, dan survei internasional mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Afrika Utara dan Timur Tengan (IMAGES) mengungkap bahwa tingkat kesetaraan gender di Mesir masih relatif rendah.

World Economic Forum bahkan menempatkan Mesir di peringkat 134 dari 153 dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2020.

Paula menulis, doktrin dikotomis bahwa anak perempuan harus mengurus rumah dan cenderung harus pendiam sementara anak laki-laki harus kuat dan tangguh masih berlaku di banyak keluarga di Mesir.

Mengutip pendapat aktivis Mesir, Sherine Arafa, Paula menyebut bahwa ketidaksetaraan gender menjadi salah satu penyebab utama kekerasan seksual tanpa hukuman di Mesir.

Dari pola asuh ini pula, tercetak watak superior laki-laki terhadap perempuan. IMAGES pada tahun 2017 membuat survei mengenai hal ini. Hasilnya, banyak resonden laki-laki yang merasa superior dan berkeyakinan bahwa mereka yang berhak melindungi dan mengontrol anggota keluarga perempuan mereka.

Hal lain yang diduga menyumbang agresifitas laki-laki di Mesir adalah kebiasaan menekan emosi alih-alih menyalurkannya atau mengekspresikannya secara wajar. Hal semacam ini adalah buah dari doktrin bahwa laki-laki harus tangguh dan berwibawa.

“Kerentanan mengekspresikan emosi dianggap sebagai kelemahan. Seiring bertambahnya usia, mereka menekan perasaan mereka dan memprosesnya menjadi agresi,” kata Arafa sebagaimana dikutip Paula.

Akibat dari pola asuh keluarga yang menumbuhkan rasa superioritas laki-laki, mereka cenderung menganggap perempuan sebagai “mahluk kelas dua” daripada menghormatinya. Gejala seperti ini umum terjadi di berbagai tempat dengan budaya patriarki yang kuat.

Arafa menambahkan, perempuan Mesir (yang diasuh dengan pola asuh bias gender) terbiasa didoktrin bahwa “apa pun yang dilakukan laki-laki adalah benar”.

Dikotomi perempuan baik-baik dan perempuan “nakal” yang mengakar di masyarakat Mesir turur pula memperparah kasus kejahatan seksual.

“Ada perempuan baik-baik yang pantas mendapat perlindungan, namun perempuan tidak baik-baik, tidak pantas,” ungkap Arafa.

Sistem Hukum Yang Tak Adil

Tak hanya faktor keluarga dan psikologi, maraknya kekerasan seksual di Mesir disumbang pula oleh rapuhnya sistem hukum Mesir dalam hal kekerasan seksual dan perlindungan korban perkosaan/kekerasan seksual.

Pasal 267 undang-undang hukum pidana Mesir menyatakan bahwa pemerkosaan adalah tindak pidana. Hukumannya bisa hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Namun, dalam pasal tersebut, yang dimaksud tindak pidana pemerkosaan adalah hanya jika terjadi penetrasi penuh. Jika tidak terjadi, maka statusnya “hanya” menjadi kekerasan seksual.

Sementara itu, baru pada tahun 2014 Mesir mengategorikan kekerasan seksual sebagai tindak pidana dalam undag-undangnya. Pelakunya diancam kurungan enam bulan hingga lima tahun penjara dan denda hingga 50.000 pound Mesir (sekitar Rp. 46,7 juta).

Setelah kasus Ahmed Bassam Zaki terungkap, Juli tahun ini otoritas Mesir “baru” mengesahkan undang-undang yang mengatur perlindungan identitas korban.

Hal ini menjadi penting sebab, sebelum ada aturan ini, identitas korban, termasuk nomor telepon dan alamat rumah, sering kali “bocor” ke pihak keluarga pelaku.

Beberapa dari mereka memohon pada korban agar kasus dicabut. Yang lebih parah, berapa laporan menunjukan, keluarga pelaku melakukan ancaman dan intimidasi, bahkan penyerangan, terhadap korban.

“Kami tidak hanya membutuhkan undang-undang agar nama perempuan tidak diungkapkan, tapi juga yang melindungi mereka saat diancam,” kata Arafa.

Sementara itu, Mozn Hassan, aktivis Mesir lain yang juga dikutip Paula, menyebut bahwa untuk mengatasi persoalan kejahatan seksual di Mesir, perlu adanya dialog yang mengedepankan pendekatan feminis dan pro-gender.

Kejahatan seksual terus terjadi, salah satunya, disebabkan karena korban memilih diam dan tidak terbuka menceritakan hal buruk yang menimpanya. Arafa berpesan, hal ini sudah diakhiri. “Kita tidak boleh tumbuh berkembang untuk diam,” katanya. [ ]

Back to top button