POTPOURRI

Rajapati di Patimuan : Terbunuhnya Dipati Panaekan

Tahun 1625 Dipati Ukur yang baru diangkat Mataram merencanakan menyerang VOC di Batavia sebelum kekuatan VOC makin besar. Rencana tersebut disampaikan kepada Adipati Panaekan saat Adipati Ukur pulang dari Mataram dan mampir ke Nagara Tengah.

Adipati Panaekan yang sejak muda sudah akrab dengan Dipati Ukur mendukung rencana tersebut untuk menyerang secepatnya. Rencana itu kemudian berkembang di wilayah vassal Mataram yang ada Galuh maupun Priangan dan mendapat tanggapan berbeda.

Salah satu penguasa di Galuh yang berbeda pendapat adalah Adipati Wiraperbangsa yang berjuluk Singaperbangsa I, penguasa Kertabumi. Ia lebih sependapat dengan rencana Rangga Gempol I dari Sumedang yang menginginkan wilayah Priangan bersatu terlebih dulu untuk memperkuat pertahanan sekaligus menghimpun kekuatan gabungan.

Sewajarnya jika Singaperbangsa I lebih memihak Rangga Gempol karena selain memiliki pandangan yang sama tentang politik, mereka juga memiliki ikatan kekeluargaan dari garis Prabu Di Muntur, penguasa Kertabumi pertama yang merupakan putra Geusan Ulun.

Walau berbeda pendapat, hubungan kekerabatan antara Singaperbangsa I dengan Adipati Panaekan sangat dekat. Ni Raden Natabumi adalah Kakak Singaperbangsa I yang dinikahi Adipati Panaekan, kemudian dari garis Maharaja Sanghyang Cipta, Adipati Panaekan adalah paman Singaperbangsa I.

Selain menikah dengan Ni Raden Natabumi, Adipati Panaekan memperistri pula Tanduran Kuning, putri Maharaja Upama, dan Ni Bara Hideung, putri Adipati Gayam Canggong. Dua istrinya itu dari garis keturunan Maharaja Utama dan Sareupeun Agung. Dengan demikian Adipati Panaekan memiliki istri dari keturunan tiga orang putra Haur Kuning .

Dari Ni Raden Natabumi Adipati Panaekan memiliki empat anak, yaitu Dalem Lokasana, Tandoeran Sindangheula, Njai Pagandan, Maha radja Djoemanten, dan Dalem Tjageur. Dari Tanduran Kuning berputra 3 orang yaitu  Ni Mas Nengah, Mas Dipati Imbanagara, dan Ki Mas Muji. Dari Ni Bara Hideung berputra Ni Mas Cilayung, Ni Mas Malari, Mas Sahat, dan Tanduran Anom.

Adipati Panaekan tinggal di Panaekan bersama Tanduran Kuning. Sedangkan Bara Hideung di Galuh Salawe Cimaragas. Demikian pula Ni Natabumi, Ia tinggal di Kertabumi. Dengan demikian tiga orang istri Dipati Panaekan tidak tinggal satu atap.

Walau berkerabat dekat, hubungan Wiraperbangsa dengan Dipati Panaekan mulai kurang harmonis sejak perbedaan pendapat soal penyerangan ke Batavia. Perbedaan pendapat itu diperburuk oleh perlakuan Adipati Panaekan yang kurang memperhatikan Ni Raden Natabumi.

Sebagai istri pertama Ni Raden Natabumi merasa tidak mendapatkan haknya sebagai istri. Ia sudah lama tidak dikilir (digilir) oleh Adipati Panaekan yang dianggapnya lebih menyanyangi dua madunya,Tanduran Kuning dan Ni Bara Hideung. Kekecewaan dan rasa kesal Ni Raden Natabumi semakin hari semakin bertumpuk, membuatnya marah dan uring-uringan.

Akhirnya Ni Raden Natabumi mencurahkan kekesalannya kepada sang adik, yaitu Singaperbangsa I. Mendengar curhat kakaknya yang kesal bercampur marah,  Singaperbangsa turut terbakar hatinya dan merasa bertanggungjawab untuk menyelesaikan persoalan kakaknya.

Ia segera mengirim surat ke Adipati Panaekan agar berkunjung ke Kertabumi.  Setelah Adipati Panaekan menerima dan membaca surat tersebut, ia menyampaikan pesan kepada utusan Kertabumi tentang kesediaanya untuk datang ke Kertabumi.

Pada hari yang telah ditentukan, Adipati Kertabumi berangkat bersama pengiringnya untuk menjemput Adipati Panaekan. Singkat cerita keduanya bertemu di sebuah tempat di Ciharalang, tidak jauh dari sungai Citanduy. Adipati Panaekan saat itu hanya mengajak dua abdi dalemnya.

Dua adipati itu segera turun dari kudanya. Sebagai tanda hormat Adipati Panaekan segera menyodorkan tangannya untuk menyalami sang Adipati Singaperbangsa I. Namun adik iparnya itu tidak menyambut uluran tangan Adipati Panaekan. Tangannya tiba-tiba beringas mencabut keris, dan secepat kilat ditusukan ke ulu hati Adipati Panaekan.

Seketika Adipati Panaekan tewas. Keberingasan Adipati Singaperbangsa rupanya belum reda ia menggusur tubuh adik iparnya itu dan dilempar ke Sungai Citanduy. Setelah mayat itu mulai terbawa arus, baru ia merasa puas dan pulang ke Kertabumi serta menceritakan semuanya kepada Ni Natabumi.

Mendengar cerita adiknya, Ni Natabumi bukannya merasa senang, malah sedih liwat saking, tidak menyangka sacongo bu’uk bahwa adiknya akan membalaskan kekecewaan hatinya dengan cara membunuh suaminya. Timbul rasa sesal dan nelangsa, ingat akan anak-anaknya yang kehilangan ayah yang meninggal diala pati (nyawa).

Di tempat kejadian, dua abdi dalem Panaekan tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan Adipat Kertabumi. Hanya bati olohok, bengong dan kasima melihat peristiwa yang berlangsung cepat itu. Merka tersadar ketika kuda sang Adipati lepas kendalinya dan berlari pulang ke Panaekan.

Dua abdi dalem itu segera pulang ke Panaekan dan langsung melaporkan kejadian di Ciharalang kepada Patih Panaekan. Mendengar kabar mengagetkan itu, Sang Patih kemudian buru-buru melaporkan kepada Tanduran Kuning, istri terkasih Adipati Panaekan.

Tentu saja berita tersebut terdengar bagai petir di siang bolong, Tanduran Kuning langsung nangis maratan langit ngoceak maratan djagat. Suasana keraton yang tadinya tenang mendadak bedah oleh tangis kesedihan. Langit Panaekan mendung alum.

Tak menunggu lama, sang patih bersama para prajurit Panaekan segera menyisir Citanduy ke hilir untuk mencari layon Sang Adipati.

Pencarian itu membutuhkan waktu beberapa hari sampai kemudian mayat Adipati Panaekan dapat ditemukan di Patimuan (tempuran) Sungai Citanduy dan Cileueur tepat di wewengkon Bojong Galuh Karangkamulyan, tersangkut pada akar pohon. Saat ditemukan mayat sang adipati tampak mengenaskan, sudah rusak, kembung, dan mengeluarkan bau busuk.

Bahkan saat diangkat dan digotong ke darat dagingnya sudah mulai rapuh sehingga sulit untuk dibawa pulang ke Panaekan. Maka akhirnya diputuskan untuk mengubur jasad Adipati Panaekan ditempat itu juga, tak jauh dari Patimuan Bojong Galuh.

Peristiwa terbunuhnya Adipati Panaekan terjadi di tahun 1625 M. Kisahnya diceritakan dalam Naskah Babad Galuh Imbanagara yang ditulis oleh oleh Wiradikusumah yang bersumber dari catatan Raden Aria Natadiredja alias Soekmandara.

Soekmandara menjabat Jaksa Kabupaten Galuh Imbanagara, Ia putra Raden Adipati Natadikusumah, Bupati Imbanagara tahun 1801-1806. Babad Galuh Imbanagara juga diperkaya dari catatan yang ditulis oleh Bupati Galuh Raden Aria Adipati Kusumahdiningrat, Bupati Galuh ke III (1839 – 1886).

Adipati Panaekan yang memiliki nama kecil Ujang Ngoko adalah penguasa Nagara Tengah dengan pusat pemerintahannya di Panaekan. Ia diangkat menjadi penguasa Gara Tengah pada 1618 Masehi.

Harusnya Ujang Ngoko bergelar raja, seperti ayahnya, yaitu Maharaja Cipta Permana. Namun saat naik takhta, pengaruh Mataram Islam mulai mencengkram Galuh, maka gelarnya diturunkan menjadi adipati.

Tahun 1618 Masehi adalah titimangsa berakhirnya sistem kerajaan di Galuh yang dibangun oleh Wretikandayun di abad 7 Masehi sampai Maharaja Cipta Permana di abad 17 Masehi. Sejak tahun itu Galuh menjadi vassal  Mataram di bawah tangan besi Sultan Agung.

Adipati Panaekan oleh Sultan Agung di jadikan wedana Mataram di Galuh (mancanagara barat) dan berkuasa atas 960 cacah. Ia disebut sebagai De oudste der Wedana’s In de Wester Ommelanden van Mataram.

Peristiwa terbunuhnya Adipati Panaekan tidak berdampak luas. Hal itu berkat hubungan kekerabatan yang erat antara para penguasa Galuh turunan Prabu Haur Kuning sehingga pihak Panaekan tidak menuntut balas. Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya dari Tanduran Kuning yang bernama Mas Imbanagara.

Demikian pula Singaperbangsa I tidak mendapat hukuman atas tindakannya. Karena saat itu Mataram belum ikut campur dalam persoalan internal yang terjadi di vassal Mataram di Galuh.

Namun peristiwa itu membuat Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Kertabumi. Atas saran Sultan Mataram akhirnya ia pindah ke Patroman dan mengembangkan kawasan tersebut yang menjadi cikal bakal Kota Administratif  Banjar di Jawa Barat. [Pandu Radea]

Back to top button