POTPOURRI

Sufi Malik bin Dinar dan Perjalanannya Melihat Neraka

“Aku terus berlari, lalu naik di atas tebing dari tebing-tebing kiamat, aku mendekati kobaran api neraka. Aku melihat segala macam teror di dalamnya, dan hampir saja aku terjatuh karena takut akan kejaran ular itu.

JERNIH– Nama asli wali sufi ini adalah Abu Yahya Malik bin Dinar al-Bashri. Ia lahir di Bashrah dan merupakan generasi kelima dari golongan tabi’in. Malik adalah anak dari seorang budak Persia yang menjadi murid Hasan al-Bashri.

‘Abdullah bin Ahmad bin Quddamah al-Maqdisi dalam al-Tawwabin mengisahkan, sebelumnya Malik bin Dinar adalah seorang jagoan yang suka mabuk-mabukan, berbuat zalim, memakan riba, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya ia bertaubat dan kembali kepada Allah. Ditanya mengenai kisah pertaubatannya, Malik menuturkan,“Dulu aku adalah seorang polisi yang suka mabuk-mabukkan. Aku lalu membeli seorang budak perempuan cantik yang melahirkan anak perempuan yang sangat aku cintai.”

“Ketika ia sudah dapat merangkak, aku semakin mencintainya. Setiap aku meletakkan minuman keras di hadapanku, ia mendatangiku, lalu menumpahkan minuman keras dariku. Ketika sudah genap dua tahun, ia meninggal dunia, sehingga aku merasa berduka atas kepergiannya.”

Pada malam Jumat nishfu Sya’ban, kehilangan puterinya itu membuat Malik bermabuk-mabukan dan sengaja tidak mengerjakan shalat isya’. Saat tertidur ia bermimpi seakan-akan kiamat telah tiba. Sangkakala ditiup, manusia kembali bangkit dari kuburan mereka.

“Seluruh makhluk telah dikumpulkan, dan aku berada di antara mereka. Aku mendengar suara berdesis dari belakangku. Saat menoleh aku melihat seekor ular besar hitam kebiruan mengejarku dengan bisa menetes-netes dari mulutnya yang terbuka.”

Aku lari terbirit-birit karena ketakutan. Lalu aku bertemu dengan seorang syeikh yang berpakaian bersih dengan bau yang sangat harum. Aku mengucapkan salam padanya, dan ia pun menjawab salamku.

Aku berkata kepadanya, “Wahai syeikh, selamatkan aku dari ular itu, semoga Allah menyelamatkanmu”. Syaikh itu menangis dan berkata, “Aku lemah, sementara ia lebih kuat dariku. Aku tidak mampu melawannya. Cepatlah pergi, semoga Allah menyelamatkanmu dari ular itu.”

“Aku terus berlari, lalu naik di atas tebing dari tebing-tebing kiamat, aku mendekati kobaran api neraka. Aku melihat segala macam teror di dalamnya, dan hampir saja aku terjatuh karena takut akan kejaran ular itu. Tiba-tiba ada suara teriakan, “Kembalilah, kamu bukan termasuk penghuni neraka.” Aku merasa tenang dengan kata-kata tersebut, dan aku pun kembali.

Namun ular itu terus mengejarku. Aku mendatangi syeikh itu kembali dan berkata kepadanya, “Wahai syeikh, aku memohon padamu agar menyelamatkanku dari ular itu, namun engkau tidak melakukannya”.

Syaikh itu kembali menangis lalu berkata kepadaku, “Aku lemah, tapi pergilah ke gunung itu, karena di dalamnya ada simpanan orang-orang Islam. Jika engkau memiliki simpanan di dalam gunung itu, ia akan menyelamatkanmu.”

Aku melihat gunung bulat yang terbuat dari perak, ada kubah di atas lembah permata dan tira-tirai yang bergelantungan. Setiap kubah memiliki dua pintu yang berwarna merah keemasan bertaburan zamrud dan mutiara, dan setiap pintu terdpat tirai-tirai dari sutera bergantungan.

Ketika aku melihat gunung itu, aku berlari dan ular itu terus mengejarku. Ketika aku mendekati gunung itu, salah satu malaikat berteriak, “Angkatlah tirai-tirai itu! Bukalah pintu-pintu, dan hati-hatilah. Mudah-mudahan orang malang ini memiliki simpanan yang dapat menyelamatkan dia dari musuhnya.”

Tirai-tirai itu kuangkat, pintu-pintu dibuka, dan tiba-tiba dari dalam tempat itu muncul anak-anak yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama, namun ular itu terus mengejarku dan hampir saja aku putus asa.

Di antara anak-anak itu ada yang berteriak, “Celaka engkau. Kemarilah dan mendekatlah kalian semua. Musuhnya sudah dekat dengannnya”. Anak-anak itu kemudian keluar satu demi satu, dan aku melihat putriku yang sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Anakku mendekatiku, dan ketika melihatku ia menangis, berkata,“Ayah, demi Allah.”

Ia kemudian melompat ke dalam kereta cahaya yang kecepatannya seribu kali lebih cepat dari lontaran anak panah. Ia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kananku, dan aku berpegangan tangannya. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya ke arah ular itu, dan ular itu pun lari.

Anakku mengajakku duduk, dan anakku duduk di atas pangkuanku. Ia mulai membelai jenggotku seraya berkata, “Ayah, belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk mengingat Allah.” (Bunyinya sama dengan ayat yang membuat Fudhail bin Iyyad bertobat—Redaksi Jernih.co)

Aku menangis, lalu aku berkata kepada anakku, “Anakku, kalian memahami al-Qur’an?”. Annaku menjawab, “Ayah, kami lebih memahaminya lebih baik darimu”.

“Beritahu aku tentang ular yang ingin membunuhku!”  Anakku menjawab, “Ia adalah amal burukmu yang kemudian menjadi kuat dan akan melemparkanmu ke neraka.”

“Lalu siapa syeikh yang aku temui di jalan itu?”tanyaku. “Ia adalah amal baikmu yang menjadi lemah, sehingga ia tidak dapat membantu menyelamatkanmu dari amal burukmu.

Aku bertanya lagi, “Apa yang kalian lakukan di gunung itu?” Ia menjawab, “Kami adalah anak-anak orang Islam. Kami tinggal di sini sampai hari kiamat tiba. Kami menunggu kedatangan kalian dan akan memohonkan syafa’at kepada kalian.”

Aku lalu terbangun ketika fajar telah terbit. Aku menumpahkan minuman kerasku, memecahkan botolnya, dan bertaubat kepada Allah. Demikianlah kisah pertaubatan Malik bin Dinar, hingga kemudian ia menjadi wali Allah dari golongan tabi’in. [  ]

“Muslim Saints and Mistics” Fariduddin Aththar, terjemahan Pusataka Zahra, 2005

Back to top button