POTPOURRI

Tekad Bulat Mengitari Gunung Buleud

Kami istirahat di kebun, di samping rumpun bambu, mendengar angin mendesau di atas. Lantas kami turun, tahu-tahu kembali ketemu jalan beton berkelok-kelok turun. Masri memutuskan masuk jalan di tengah hutan jabon, bukan lewat jalan utama.

Oleh  : Anwar Holid

JERNIH– Gowes ke Gunung Buleud, Cibodas, pada Minggu (25/7) awalnya kurang menyenangkan. Guska bilang dia terlalu pulas tidur, jadi telat bangun. Walhasil start pukul 07.00 dari Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, batal.

Karena sudah siap-siap, aku lanjut ke stadion via Gajah Mekar. Stadion lebih lengang dari biasanya. Pasar tumpah dilarang karena ada PPKM. Hanya goweser amatir tetap banyak. Banyak yang melintas berombongan baik ke arah Soreang, Banjaran, Ciwidey maupun ke Cibodas (desa di belakang stadion), Cililin, atau Padalarang. Tak lama di pintu gerbang stadion tempatku menunggu muncul rombongan road bike dan gravel mengenakan jersey trendy merek-merek popular, juga menunggu rekan gowesnya.

Masri datang. Dia kerap jadi marshal. Kayaknya dia tahu segala jalur di wilayah ini mengarah ke mana saja. Aku suka takjub sama kemampuan ruangnya. Masri yang pertama kali ngajak aku ke Cibodas, Gunung Buleud — dulu beberapa tahun sebelum pandemi. Waktu itu kami bablas ke Cihampelas, Cimahi. Kemampuan servis Masri juga bagus. Itu sangat menolong bila ada kecelakaan. Sambil menunggu Guska kami pesan minuman sasetan.

Jalan menurun, mengharuskan pesepeda senantiasa waspada.

Yang ditunggu akhirnya datang. Tapi Guska bilang baru sarapan dua sendok madu. Jadi kami bergegas berangkat ke arah Cibodas mencari warung terdekat. Pilihannya ke tempat mampir gosewer yang menyediakan banyak penganan tradisional, seperti ubi dan jagung rebus, rangasing (ciu), bandrek, bajigur, jahe-serai-lemon, dll. “Wah, belum gowes sudah mampir warung,”kata Masri. Walhasil start kami sekitar pukul 09.00.

Banyak rombongan goweser menuju Cibodas. Desa ini juga dikenal sebagai ‘desa tusuk sate.’ Desa-desa di belakang Stadion Si Jalak Harupat ini tampak jadi favorit tujuan goweser amatir. Lahan persawahan masih luas, jalan naik-turun, latar belakang di kelilingi gunung. Jadi kalau mau putar-putar desa sekitar sudah seru, apalagi lanjut ke perbukitan dengan tanjakan curam.  Di Cibodas sekarang banyak sekali warung tempat istirahat goweser. Daerah ini sudah dari dulu terkenal berkat sate Cantilan.

Setelah Warung Awi, kami belok kanan. Rupanya petani baru panen. Mereka menjemur padi di tikar lebar pinggir jalan. Sejak belok ini tanjakan sudah terasa. Hanya memberi hiburan sekali, belokan turun di tengah sawah, sesudah itu jalan terus menanjak sampai puncak.

Kami berpapasan dengan rombongan goweser yang kebanyakan pakai bmx, bahkan ada anak SD. Sulit membayangkan bawa bmx single speed ke medan seberat ini. Tapi mereka enjoy. Praktis bareng mereka kami sama-sama kepayahan dan ngos-ngosan, sampai istirahat di warung di tengah sawah. Di sini aku membagi-bagikan opak beuleum (bakar) Cijulang yang sengaja aku bekal, lantas duluan meninggalkan mereka.

Dulu waktu pertama kali ke sini, jalan menuju Gunung Buleud parah banget. Kebanyakan hancur, berlubang, makadam ambrol. Sekarang sudah berupa beton aspal, bagus. Sudah diperbaiki, jadi enak dilalui. Pesawahan luas terhampar. Petani menanam padi. Pemandangan seperti itu merupakan penghiburan tersendiri.

Justru ketika sampai kawasan puncak Gunung Buleud ada sisa makadam yang masih rusak. Ketinggiannya sekitar 1100 mdpl. Masri langsung belok kanan ke jalan lebih jelek, ke ladang. Kami masuk lingkungan yang sama sekali berbeda. Tidak ada aspal atau sawah. Hanya single track tanah. Kanan-kiri kebun dan tanaman liar. Ilalang dan perdu cukup tinggi. Latar belakang gunung hijau menjulang.

Kami senang sekali menyusuri jalan setapak menurun itu. Tanah kering, cuaca cerah, angin cukup kencang. Banyak gerombolan rumpun bambu ujungnya bergoyang-goyang, dedaunan rontok dan terbang, menghasilkan suara alam yang mendamaikan.

Makin jauh jalan tanah makin rusak, tapi kegembiraan makin memuncak. Sirna sudah awalan yang kurang menyenangkan. Bahkan tanjakan sepanjang jalan barusan langsung terlupakan. Diganti keseruan menjelajahi alam, sigap mengendalikan sepeda, waspada menghadapi kondisi jalan. Inilah terapi bersepeda dan menyatu dengan alam. Ketika keringat bocor, ketawa lepas, udara segar masuk, otot dan tenaga bergerak optimal, saat itulah kesehatan, imun, dan stamina terkuatkan.

Cukup lama kami mengukur jalan setapak, masuk hutan jabon, lantas tiba di perempatan perkebunan tempat Warung Ibu Adah berada. Dari sini bisa nyambung ke berbagai tujuan, salah satunya venue gantole dan Gunung Nini.

Kami belok kanan, mulai putar balik. Menuruni jalan makadam rusak, batu-batu ambrol, lantas ke jalan desa yang cukup lebar, namun menanjak, dan menuntun sepeda kembali masuk jalan kebun. Andai cukup baik, mungkin goweser bisa melampaui jalan itu dengan enak, sebab tidak curam.

Kami istirahat di atas kebun di samping rumpun bambu, mendengar angin mendesau di atas. Lantas kami turun, tahu-tahu kembali ketemu jalan beton berkelok-kelok turun. Masri memutuskan masuk jalan di tengah hutan jabon, bukan lewat jalan utama. Beneran asyik ada di tengah hutan. Bagian atas pohon menari-nari digerakkan angin.

Jalan kembali lebih ringan, karena cenderung turun, meski medannya sangat buruk daripada waktu ke puncak. Harus hati-hati dan sepeda prima. Jangan sampai rem blong. Kami ikuti Masri. Tak lama kami ada di pinggir sungai jernih, meski sayang dasarnya banyak sampah plastik. Bikin sebal dan sedih. Kebiasaan buang sampah sembarangan sangat memprihatikan. Berarti di atas sana ada warga.

Benar saja, sangat banyak sampah tertahan di ujung saluran pengaturan irigasi. Cukup panjang sungai itu kami susuri. Dari sana belok curam ke perkampungan, masuk gang ketemu jalan ke arah Cantilan. Gowes selesai tepat waktu duhur, diakhiri menu tongseng dan sate maranggi di Sate Cantilan. [ ]

*Anwar Holid, goweser amatir Bandung. Kerja sebagai editor dan penulis. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button