POTPOURRI

Ukur

Belum lagi kaki Ukur menyentuh tanah, Ki Sutapura sudah menusukkan kerisnya ke arah Ukur. Jelas, ia berharap keris bereluk tujuh dengan pamor yang terlihat garang itu menghunjam jantung musuh yang amat dibencinya. Ukur tak mungkin punya waktu untuk menghindar. Bagaimana caranya, sementara kakinya sendiri belum menapak?

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-13

Kalau urusan makan, tak perlu dua kali meminta para penjaga itu. Mereka segera menghambur mengambil surabi, termasuk si kumis baplang. Tak berapa lama Ukur dan lima penjaga asyik meniup-niup surabi panas sebelum masing-masing mereka makan.

Wah, ngeunyah euy, webun-webun wahal suwabi,” kata si kumis, lupa dengan sikapnya tadi. “Wah, enak juga ya, pagi-pagi makan surabi.” Suaranya tak jelas karena lidah terhalang surabi.

Heueuh euy. Komo deui teu kudu mayar,” kata yang lain. “Benar, apalagi tak perlu bayar.” Ia masih meniupi surabinya, hingga suaranya masih jelas.

“Kemana Kanjeng Bupati?” tanya Ukur.

“Ada di dalam. Masih tidur,” kata seorang penjaga. Diraihnya surabi keduanya.

Lain dengan penjaga yang tadi menjawab, mata si kumis justru segera mendelik. Langsung dia kembali menghardik Ukur.

“Ada apa? Buat apa Ki Sanak bertanya tentang bupati. Beliau mah masih tidur, di dalam bersama bini mudanya,” kata dia.

“Oh, bini mudanya juga ia simpan di sini?” kata Ukur. Suaranya tak kalah lugas. “Teu kira-kira tah si Burahong teh! Tak pakai kira-kira itu bedebah! Benar kata lagu pupujian,

trong kohkol kalah morongkol,

dur bedug malah murungkut.

Diaadanan beuki tibra

Dasar bupati doraka!

Bunyi kentongan hanya bikin meringkuk

Bunyi bedug membuatnya pulas

Adzan membuatnya pulas

Dasar Bupati durhaka! ”

“Eeh, apa katamu?” si Kumis kini melotot. Sebagian potongan surabi keluar terlempar dari mulutnya. Penjaga yang lain yang sedang asyik menikmati surabi pun tampak terganggu. Hanya reaksi mereka tak sekasar si Kumis, yang dengan cepat menangkap tangan Ukur.

“Sugan kudu diborogod sia! Kau memang harus ditelikung,” katanya.

Dengan gerak yang sukar diikuti pandangan mata, gantian kini Ukur yang justru memegang pergelangan tangan si Kumis. Ditariknya tangan itu, lalu sebuah pukul siku kanan Ukur mendarat telak di pelipis si Kumis, membuatnya tersungkur pingsan.

Hayoh, saha deui nu hayang ngajurahroh? Siapa lagi yang minta terkapar?” tanya Ukur retoris, karena dengan cepat satu rangkaian gerak membuat empat penjaga lain pun bernasib sama. Pingsan.

Ukur segera menyelinap ke dalam rumah. Terbiasa hidup di pendopo dan keraton membuatnya gampang menemukan kamar utama, kamar Bupati Sutapura. Dengan satu tendangan keras, pintu kayu jati kokoh yang terpalang kuat itu pun jebol.

“Braak!”

Daun pintu itu terlempar menambrak dinding ruangan, membangunkan kedua penghuninya yang kontan menjerit kaget.

“Si..si..siapa Kau? Penjaga!” teriak Bupati Sutapura, masih belum sepenuhnya sadar. Ia berteriak memanggil penjaga. Segera terdengar langkah-langkah kaki berlari dari sekian orang penjaga. Namun baru saja mereka tergopoh-gopoh rikuh masuk kamar, tamparan Ukur yang sebelumnya merapal aji Brajamusti segera mendarat, membuat mereka tersungkur mengaduh tanpa bisa bangun lagi.

“Hai Sutapura,” kata Ukur. “Aku Ukur, laki-laki yang lahir di tanah ini. Aku diangkat Kanjeng Sultan Agung Mataram untuk menggantikanmu. Jujur saja, aku melihat rakyat nagri ini tertindas justru oleh para menak dan nonomannya sendiri, di bawahmu. Alih-alih kau sejahterakan dan bantu mereka, kalian malah membuat rakyat tercekik dengan pajak-pajak kalian yang memberatkan. Kau tahu betapa rakusnya orang-orang Mataram meminta upeti dari kita, eh malah kau mendompleng pajak itu hingga membuat rakyat tak lagi merasakan hasil jerih payah dan keringatnya. Habis kalian peras!”

Ukur sejenak diam, matanya menyapu seluruh ruangan. Istri muda Bupati Sutapura menggigil ketakutan, menutupi badannya yang mungkin telanjang dengan kain kebat panjang yang biasa dijadikan selimut.

“Kau…kau Ukur! Pembohong kau, mengaku-aku utusan Mataram untuk menggantikan kedudukanku.” Bupati Sutapura mulai bisa menenangkan dirinya. Ia kini telah bangkit dan berdiri di tepi ranjang. Keris yang terletak di meja samping ranjang telah berada dalam genggamannya, hanya tinggal ditarik dari warangkanya.

“Sutapura, aku tetap akan menghormati, biar pun hanya bajingan yang hidup dari memeras keringat rakyat. Aku juga tak ingin orang melihatku sebagai bajingan lain yang menjadi bupati dari hasil merampas. Besok, kira-kira waktu pecat sawed[1], setelah wanci rumangsang[2], aku akan datang ke Pendopo. Akan aku buktikan bahwa aku memang menerima perintah dan pengangkatan dari Kanjeng Sultan,” kata Ukur.

“Kalau kau menerima dengan baik-baik, aku pun akan memperlakukanmu dengan baik-baik. Tetapi bila kau mencoba berbuat licik, jangan sambat kaniaya[3] bila darahmu mengalir demi kemaslahatan rakyat Tatar Ukur.”  

Usai berkata panjang itu, tanpa menunggu respons Bupati Sutapura, Ukur keluar kamar. Sekitar 10 orang penjaga yang masih berdiri dan sehat walafiat, menyeruak memberikan jalan. Ukur tak hendak berpikir apakah mereka takut akan mengalami nasib seperti rekan-rekannya yang pingsan atau cedera, ataukah justru mereka secara tak langsung merestui dirinya menggantikan Bupati Sutapura, tak dipedulikannya benar.

Nanti sianglah nasib mereka tentukan, oleh mereka sendiri. Sebab kalau saja Bupati hasud hati dan melibatkan para penjaga, kepada mereka pun Ukur sudah berniat untuk menuntaskannya. Ia pikir mereka pun tak sepenuhnya bisa dimaafkan dengan dalih hanya melaksanakan perintah atasan. Tak bisa seorang hulubalang memukul, menyiksa atau bahkan membacok orang hingga mati, lalu dengan enteng mengatakan ia melakukan itu sekadar menjalankan perintah. Memang batok kepalamu kau simpan di mana?

Esoknya sebagaimana waktu yang ia janjikan, pecat sawed, Ukur telah berdiri di Balairung Kabupaten Tatar Ukur. Ukur sempat merasakan keganjilan manakala tadi bisa masuk begitu saja ke halaman Pendopo, hingga kini ia berada di balairung. Para penjaga membiarkannya masuk begitu saja, seolah ada perintah dari Bupati Sutapura untuk membiarkannya. Justru hal seperti itu membuat Ukur heran dan waspada. Bukan tak mungkin ia seolah ikan yang dibiarkan masuk bubu karena sebentar lagi pun akan dipotong, direcah menjadi makanan pesta.

“Hebat, boleh juga nyali Si Sutapura, membiarkan aku melenggang ke mari,” pikir Ukur. Ia menduga-duga seberapa hebat wewesen[4] Bupati Sutapura sampai berani membiarkannya datang begitu saja tanpa mencoba merintanginya dengan jebakan apa pun di luar.

Tak berapa lama ia mendengar bunyi selop dalam langkah-langkah pendek. Ukur yakin, itu langkah Bupati Sutapura. Badannya yang gemuk membuat langkah kakinya pendek-pendek dengan gaya malas khas seseorang yang kelebihan berat badan. Saat sumber bunyi itu sampai di ujung balairung tempat singgasana berada, ternyat benar adanya.

Ia Bupati Sutapura diiringkan dua orang ponggawa. Kali ini sang Bupati mengenakan baju kebesarannya, beludru warna hitam, dengan bendo citak[5] bermotif batik Merak Ngibing khas Sukapura[6]. Selain celana serawal gelap yang ia kenakan, Bupati Sutapura pun memakai kain batik sebagai bawahan, dengan motif rereng sintung, masih dari daerah yang sama.

Manakala dilihatnya Ukur berada di sana, terkejutlah Bupati Sutapura. Wajahnya pias menunjukkan betapa sangat terperanjat.

“Pengawal!” teriaknya keras. “Bagaimana ini bisa ada di sini? Sudah kukatakan, jangan biarkan dia masuk. Bunuh dia!”

Namun tak seorang prajurit kabupaten pun yang bergerak, apalagi menghampiri Ukur, mengepung dan menangkapnya. Semua diam di tempatnya masing-masing.

Bupati Sutapura kian kalap. Barangkali saja ia pun bingung, sehingga kebingungan itu membuatnya kian gusar.

“Patih!” teriaknya memanggil patihnya. Seorang lelaki setengah baya berpakaian resmi segera menghampiri Bupati dan unjuk sembah.

“Sendika, Kanjeng Bupati,” katanya.

“Bagaimana Si Ukur bisa sampai kemari, hah? Dan kalian biarkan dia di sini, tak ada usaha untuk menangkapnya. Bunuh dia sekarang juga!” kata Bupati.

Sikap Patih tetap tenang. Setelah kembali unjuk sembah, ia menjawab. “Satria Ukur datang sebagai utusan Keraton Mataram, Kanjeng Bupati. Ia datang membawa keris tanda amanat kalungguhan dari Mataram untuk menjabat bupati di sini menggantikan Gamparan[7],” kata Patih. “Satria Ukur juga membawa surat dari Kanjeng Sultan, menerangkan dengan jelas penugasannya.”

Ukur terkejut. Dari mana Patih itu tahu bahwa ia membawa surat? Ah, mungkin dari keris yang ia sisipkan di pinggangnya. Di kedua sisi pinggang, karena selain keris bukti kalangguhan bupati yang diberikan Sultan Agung, ia pun membawa serta Ki Panunggul Naga, siap sedia seandainya ada bancang pakewuh[8].

Patih itu pasti telah bertahun-tahun bertugas di sini sejak pangkatnya apalah. Setiap pengganti bupati sebagaimana kebiasaan membawa surat dan keris tanda kalungguhan dari Sultan Agung. Kerisnya yang berhulu sama dengan yang tersisip di pinggang Bupati Sutapura menjelaskan bahwa klaimnya tadi subuh bukan omong kosong belaka.

Dan wajar Patih itu tak memerintahkan ponggawa untuk menelikungnya. Itu bisa dianggap pemberontakan oleh Mataram yang bisa berujung kematian si Patih. Mugkin saja ia bisa melenggang kangkung ke area balairung pun tak lebih karena Patih memerintahkan ponggawa untuk tidak mengganggunya.

Wajah Bupati Sutapura merah menembaga. Gusar sungguh ia, marah tak alang kepalang.

Aih, Kehed! Asal calangap sia, siga lain pangagung! Hai Bajingan, asal ngomong kamu seperti bukan pejabat! Dia rek baruntak ka kami? Kau mau memberontak? Ponggawa, rempug dua bedebah ini, Si Ukur dan Patih!” teriaknya penuh amarah. Namun para ponggawa bergeming, diam di tempat masing-masing.

Ukur melangkah mendekati Bupati Sutapura. Dirogohnya bagian dalam bajunya, mengeluarkan sebuah gulungan surat yang ditulis di atas kulit kambing muda, putih bersih. Dia baca isinya yang menerakan perintah Sultan Agung untuk menjabat Bupati Tatar Ukur, menggantikan Bupati Sutapura. Usai itu, ia bentangkan kulit itu, berkeling ke setiap pejabat kabupaten yang ada untuk menunjukkan keaslian gulungan surat. Tak berapa lama, semua pejabat kabupaten bersujud kepada Ukur.

“Dawuh, Kanjeng Bupati Ukur!” kata mereka dalam koor yang cukup panjang, bergema dalam ruang balairung. Ukur terkejut, hookeun alias terkesima. Namun tak lama. Ia segera meminta mereka bangun.

Ketenangan itu segera pecah oleh teriakan mengguntur. Bupati Sutapura yang kini telah menjadi mantan terlihat diliputi amarah.

“Kurang ajar sia Ukur! Aing tidak terima dengan apa yang kau lakukan. Kau jilat pantat Kanjeng Sultan sehingga beliau menggantikanku. Sekarang, jangan bawa-bawa Keraton Mataram. Mari secara adat kalalakian kita bertarung, sampai salah satu perlaya meregang nyawa di luar!”

Ki Sutapura menarik kain batik yang dikenakannya. Tampaklah kini ia lebih ringkas dengan serawalnya. Dibukanya dua kancing bajunya yang paling atas, lalu dengan cepat menarik keris yang tersisip di pinggang dari sarungnya.

Kaluar sia, Ukur. Urang begalan nyawa jeung aing!” Lalu dengan sebuah lompatan besar tiba-tiba ia sudah berada di halaman, menghadap ke balairung tempat Ukur masih diliputi sedikit kebingungan.

Bagaimana Ukur tidak heran. Ia saksikan sendiri bagaimana langkah pendek-pendek dan malas bupati itu memasuki balairung. Kini, tiba-tiba saja orang itu telah menjelma laiknya kijang yang lincah, gesit dan tangkas.

“Ambuing, nyata orang ini tak bisa aku pandang enteng,” pikir Ukur.

Mengikuti contoh Ki Sutapura, Ukur merapal aji Kidang Kancana. Satu lompatan saja ia akan berada di depan Sutapura. Belum lagi kaki Ukur menyentuh tanah, Ki Sutapura sudah menusukkan kerisnya ke arah Ukur. Jelas, ia berharap keris bereluk tujuh dengan pamor yang terlihat garang itu menghunjam jantung musuh yang amat dibencinya. Ukur tak mungkin punya waktu untuk menghindar. Bagaimana caranya, sementara kakinya sendiri belum menapak?

Dengan cepat ditariknya keris Panunggul Naga dari pinggangnya. Dengan keris itu Ukur menangkis tusukan Ki Sutapura.

“Jeder!”

Terdengar suara seperti halilintar, mengiringi benturan kedua benda logam itu. Tak hanya suara, kilatnya juga keluar, membuat mata orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu sontak menutup karena silau. Kedua keris itu ternyata keris berisi. Entah setan, jin atau genderuwo mana yang masing-masing mengisinya.

Yang jelas, Ukur melihat yang digenggam di tangan Ki Sutapura bukanlah keris kalungguhan yang diberikan Sultan Agung. Tapi memang demikian pula yang digenggamnya, bukan keris produksi massal untuk sekadar keperluan seremonial.

“Hiaaat!” Ki Sutapura melesat dengan kaki siap menjejak dada Ukur. Ukur merespons dengan gerak giwar, membuat Ki Sutapura akan menjejak angin. Sementara itu Ukur telah membalikkan tubuh sekencangnya seraya menusukkan Panunggul naga ke lambung Ki Sutapura.

“Bleeeees!” terdengar bunyi logam menyelusup ke dalam daging.

“Wuaaaaa!” Ki Sutapura menjerit. Tubuhnya limbung. Saat Ukur menarik Si Panunggul tadi, elukan keris itu telah membawa serta usus dan segala jenis jeroan lambung Ki Sutapura. Para emban menjerit ketakutan melihat pemandangan itu. Para pejabat, bahkan juga sebagian prajurit yang masih olol leho[9] mengatupkan mata ketakutan. [bersambung]


[1] Waktu dari pagi menuju siang, sekitar pukul 10.

[2] Akhir pagi, sekitar pukul 8-9

[3] Merasa terdzalimi

[4] Kesaktian pribadi seseorang

[5] Blangkon khas Sunda

[6] Kini wilayah itu disebut Tasikmalaya

[7] Arti harfiahnya terompah. Tetapi memiliki arti lain sebagai panggilan yang lebih tinggi dari ‘tuan’ dan ’juragan’.

[8] Katakanlah gampangnya, huru-hara

[9] Rookie, green horn, alias belum banyak pengalaman

Back to top button