POTPOURRI

Ukur

Balairung hening. Tak seorang pun bicara. Dunia selalu hening manakala terjadi hal yang ganjil. Dan keganjilan itu membuncah di sini: seorang prajurit, senapati gagah perkasa dengan kumis melintang dan tubuh tegap sentana, tengah memohon-mohon agar nyawa tak lepas dari raga.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.–

Episode-2

Jadi, di balairung keraton Mataram itu pula sang Senapati tengah menanti malakal maut. Persoalannya hanyalah, dengan cara apa?

“He, hanya diberi tugas sekecil itu, Kowe masih juga gagal, ya?” tiba-tiba terdengar suara membahana. Sultan Agung datang. Ia langsung bicara sesegera tiba.

Senapati gagal itu menyembah-nyembah sujud. Kepalanya rata dengan lantai balairung. Hanya suaranya saja yang terdengar mengiba-iba, sambil melontarkan sejumlah alasan. Balairung hening. Tak seorang pun bicara. Dunia selalu hening manakala terjadi hal yang ganjil. Dan keganjilan itu membuncah di sini: seorang prajurit, senapati gagah perkasa dengan kumis melintang dan tubuh tegap sentana, tengah memohon-mohon agar nyawa tak lepas dari raga.

“Tegakkan dia. Tak pantas seorang prajurit berlaku seperti paria,” kata Sultan Agung memerintah.

Dua hulubalang segera menaati perintah itu. Masing-masing mengapit dua sisi Senapati, memegang pangkal lengannya, mengangkatnya tegak dari posisi sujud. Hanya diperlakukan seperti itu saja, Si Senapati menjerit laiknya meregang nyawa.

Sesegera tubuh si Senapati berhasil ditegakkan, Sultan Agung segera merebut tombak dari tangan seorang hulubalang. Lalu dengan raut muka jijik penuh kebencian, dibenamkannya tombak itu menembus dada Senapati.

“Modar lebih baik buat seorang pecundang!” serunya. Suara itu menggelegar memecah keheningan balairung. Si Senapati menjerit. Pendek saja, sebelum kepalanya terkulai tak mampu lagi disangga leher yang kehilangan nyawa. Sultan masih sempat mencabut sendiri tombak itu, sebelum dikembalikannya kepada hulubalang pemiliknya yang pucat lesi.

**

Ingatan sekelebat itu menyadarkan si pemuda bahwa rajanya tak pernah bertindak setengah-setengah. Rajanya hanya tahu, ia yang tengah diuji yang mati, atau kerbau gila itu yang harus meregang kehilangan nyawa.

Yakin dengan apa yang harus dilakukannya, pemuda itu melepaskan genggaman tangan kirinya dari ekor kerbau. Sebentar diusapnya keris Panunggul Naga yang terselip di pinggangnya. Namun sejenak ia merasa ganjil. Rasanya tak elok membunuh kerbau yang dagingnya bisa dijadikan santapan enak bersama-sama itu dengan keris sakti. Itu ibarat membinasakan lalat dengan gada Rujakpolo milik Aria Bratasena dalam kisah pewayangan.

“Tidak,” pemuda itu membatin. Bukan dengan keris. Cukup dengan balati yang juga selalu dibawa-bawanya kemana-mana. Senjata yang lebih fungsional untuk memotong dan mengerat, dibanding sebilah keris tentunya.

“Maafkan aku, Sobat.” Ia berbisik dengan mulut yang nyaris menempel ke telinga kerbau itu. Benar, kini pemuda itu merasa sedikit rasa bersalah tengah tumbuh di hatinya. Rasa itu pula yang membuatnya berpikir agar kerbau itu merasakan sakit sesedikit mungkin dalam proses menuju kematiannya.

Bismillahirahmaanirrahiim..” ucapnya, sesaat sebelum merapal aji Brajamusti yang ia andalkan. Sesegera mantera itu usai dibacanya, tangan kanannya melepaskan tanduk itu dari genggaman. Hanya dengan telapak tangan itu dipukulnya pelipis sang kerbau. Tidak keras, bahkan cenderung lembut tak ubahnya mengusap. Namun efeknya sungguh mencengangkan. Kerbau itu limbung bagai hilang kesadaran. Kaki depannya terlipat tanpa disangga kekuatan otaknya yang kini putus kesadaran.

Pemuda itu sendiri mencelat ke atas dan segera menapak kembali dengan kokoh meninggalkan tunggangannya yang siap menyungkur tanah. Dengan satu lompatan panjang dihampirinya kerbau yang kini terjerembab di pinggir alun-alun itu.

Bismillahi bi ala millati rosulillah, la haula wala quwwata ila billah…” Dengan sigap pemuda itu mencabut balati yang tersembunyi di balik ikat pinggang kulit selebar telapak tangan yang dikenakannya. Dengan lembut diangkatnya dagu kerbau yang kini semaput itu. Setelah yakin menemukan kerongkongan dan dua urat di leher kerbau itu, si pemuda segera membenamkan pisaunya ke leher kerbau itu seraya mengirisnya dengan gerakan memutar. Beberapa detik kemudian pemuda itu merasakan cairan yang basah hangat menyemprot dan menjalari tangannya yang memegang belati. Darah merah membual deras.

Allahu Akbar!” serunya, cukup keras. Sebagian orang yang berada di pinggiran alun-alun itu menirukan kata-kata takbirnya.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Selama beberapa saat pemuda itu masih tetap menekankan pisaunya ke leher kerbau, mengiris seraya mulutnya tak henti komat-kamit. Ia baru beranjak dari sikapnya setelah memastikan kerbau itu mati. Setelah mengusap-usapkan kedua sisi belati itu ke badan kerbau untuk membersihkan darah yang menempel, baru kemudian ia bangkit.

Dengan sikap tenang disarungkannya kembali belati yang telah meminta korban itu ke pinggangnya. Dengan sikap tenang yang sama ia menyembah ke arah panggung tempat Sultan menonton pergulatan itu. Baru kemudian melangkah mendekat dan duduk bersila di muka panggung tersebut.

“Bagus! Bagus sekali Prajurit!” kata Sultan Agung seraya bangkit dari duduknya. Sultan segera turun dari panggung, berjalan menghampiri pemuda itu diiringi beberapa hulubalang yang mengawalnya. Si pemuda hanya diam tertunduk dengan posisi kedua tangan menyembah di atas kepalanya.

Namun demikian mata pemuda itu melihat Sultan hari ini ditemani begitu banyak pemangku kerajaan Mataram. Tidak hanya Senapati Ronggonoto, pimpinan pasukan berkuda istana; Tumenggung Bahureksa, pimpinan tertinggi pasukan kerajaan; melainkan hadir pula Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya, bahkan tampak Raden Mas Sayidin atau Pangeran Adipati Anom Arya Prabu Adi Mataram, yang tak lain adalah raja muda penerus Sultan Agung kelak. Mata si pemuda melihat mata Sang Pangeran berkilat, seolah menemukan sesuatu yang sangat menarik hatinya.

Kecerdasan pemuda itu dengan cepat mengetahui bahwa momen uji coba barusan memang dipandang para pemuka Kerajaan Mataram sebagai momen penting. Mungkin apa yang telah dilakukannya selama mengabdi sebagai prajurit di masa tunggu sebelum uji coba ini telah mengesankan banyak orang. Bukan mustahil kabar kedigjayaannya yang tak pernah mau diperlakukan semena-mena dan menghinakan oleh prajurit-prajurit senior telah sampai kepada mereka. Bukan sekali dua dirinya merobohkan seluruh anggota regu prajurit Mataram yang mengganggunya di kedai makan. Semua ia lakukan dengan tangan kosong, sementara para prajurit Jawa itu kadang lupa malu dan mencabut senjata mereka.

Sungguh pun begitu, pemuda itu kagum kepada juru tulis militer yang membantunya tetap berada dalam catatan pengajuan uji coba itu. Mungkin juru tulis itu sadar, beberapa perkelahian yang melibatkan pemuda yang mengajukan diri itu terjadi di luar kehendak si pemuda. “Aku memang berkali-kali diganggu secara berlebihan. Tak pernah sekali pun aku menjadi pembuka perkelahian,” pikir pemuda itu.

“Bangunlah Prajurit! Aku benar-benar kagum akan kedigjayaanmu,” kata Sultan, mengagetkan lamunan si pemuda. Ditepuk-tepuknya bahu pemuda tadi dengan hangat. Sultan sendiri kemudian menarik tangan pemuda itu, membuat si pemuda bergegas bangun dari posisi bersilanya.

“Hamba, Gusti Prabu..”

“Siapa namamu, Prajurit?” kata Sultan. Ia bertanya seakan tidak pernah mendengar nama pemuda itu sebelumnya. Padahal tadi pun sebelum ujian itu dilangsungkan, Sultan telah melontarkan pertanyaan yang sama kepada pemuda itu.

“Wangsa Taruna, Paduka. Hamba berasal dari tanah Timbanganten.”

“Oh, iya, benar. Itu namamu, dari Timbanganten. Kini aku ingat. Andika yang berasal dari kulon, kan? Dari sisa kerajaan Pajajaran, tentunya. Dulu itu kerajaan besar. Kini sudah tak ada lagi. Sudah lenyap, menghilang dikalahkan kekuatan, punah ditelan zaman,” kata Sultan. “Saat ini zaman Mataram. Mataramlah yang akan menggetarkan Nusantara.”

Lalu dengan pandangan jauh menembus Wangsataruna, bahkan menembus benteng tebal yang mengelilingi area lapangan luas dan seluruh wilayah keraton, Sultan Agung mendesis. Tak keras, tetapi keheningan yang diciptakan sabda dirinya membuat suaranya masih jelas di telinga Wangsataruna.

“Tak lama lagi nama Mataram akan membuat merinding kerajaan-kerajaan yang ada di tanah Jawa, tanah Sunda, Swarnadwipa, bahkan menggentarkan orang-orang Portugis di Benteng Porta de Santiago, di Malaka. Apatah lagi hanya orang-orang bule penjarah yang kini membangun markas di Jayakarta itu.”

Sambil berkata demikian Sultan sempat memandang lekat-lekat bola mata Wangsataruna, seolah tengah mencoba membaca apa yang sebenarnya berkata di jantung dan bergemuruh di dada pemuda itu. Ia ingin tahu, sejujur apa niat pemuda yang enam bulan lalu datang dan berkata hendak mengabdikan dirinya demi Mataram, mengabdi pada dirinya sebagai Sri Sultan itu. Sultan tahu, selalu terbuka peluang musuh-musuhnya menanam orang-orang mereka di sini, dan dia sama sekali tak akan pernah lengah. [bersambung]

*Illustrasi dari Grafik novel ‘Kisah Wali Songo’, Gerdi WK

Back to top button