POTPOURRI

UKUR

Sekian ratus prajurit berbondong-bondong menuju benteng Batavia dan Hollandia, lengkap dengan sekian banyak umbul-umbul kerajaan, panji-panji battalion dan sebagainya. Suara bende dan terompet melengking menyemarakkan suasana. Tumenggung Bahureksa mencongklang kuda di depan pasukan, berjalan dengan gagahnya menuju target penyerbuan.

Episode -21

Tumenggung Bahureksa berdiri di perahu yang dinaikinya. Pantai Marunda sudah terlihat jelas dan angin pun membantu armada Mataram untuk berlabuh di sana. Bersamanya turut 59 buah gorap[1], yang memuat beragam barang persediaan yang dikamuflasekan sebagai barang dagangan. Di 59 gorap dan beberapa perahu itu ada sekitar 900 orang prajuritnya dalam kostum penyamaran. Senjata dan sebagaimya disembunyikan di masing-masing gorap untuk menghindari kewaspadaan Kompeni. Tumenggung Bahureksa pura-pura datang ke Batavia untuk memenuhi permintaan barang dagangan yang diminta Kompeni pada bulan April 1627. Sebagian dari gorap itu memang memuat ternak yang diminta penguasa baru Jakatra  itu setahun, seharga 8 real per ekor.

Itulah kloyar pertama dari sedikitnya dua kloyar[2] yang berada dalam pimpinannya. Berselang tiga hari, akan ada satu kloyar lagi armada Mataram yang akan datang, dengan sedikitnya 27 gorap. Hari kedatangan Bahureksa ke Marunda itu tercatat tanggal 22 Agustus 1628. Rupanya, pada 24 Agustus malam datang lagi tujuh perahu dari Tegal, bagian dari rombongan kloyar pertama yang terlambat. Sementara kloyar kedua yang direncanakan datang tanggl 25 Agustus itu ngaret, dan baru bergabung dengan armada lain di Batavia sehari kemudian.

Tiga hari lamanya armada Mataram tertahan tak bisa masuk pelabuhan. Kompeni yang merasa menjadi penguasa pelabuhan ngotot memeriksa isi kapal sebelum mengizinkan kapal-kapal itu masuk.

Ternyata Kompeni tak bisa dikelabui. Petugas-petugas mereka di dermaga ngotot tak hanya ingin memeriksa muatan kapal, mereka pun meminta orang-orang Mataram menyerahkan senjata. Bahkan hingga keris. Alhasil apabila mereka jadi memeriksa dengan teliti, semua bedil yang disembunyikan di seluruh gorap dan perahu yang ada pasti akan dirampas Kompeni.

“Kami tak punya niat masuk muara Ciliwung,” kata orang yang pura-pura menjadi pimpinan armada. Jelas, bukan Bahureksa karena kuatir dikenali dan akan membuka penyamaran armada Mataram. “Kami hanya minta pas untuk berlayar ke Malaka.” Dia menambahkan.

Baru saja sekitar satu jam sebelumnya mereka minta izin masuk pelabuhan dengan alasan untuk mengirimkan pesanan Kompeni setahun lalu. Kini, setelah para petugas Kompeni itu bermaksud memeriksa mereka dengan ketat, armada Mataram memilih lebih baik tak masuk pelabuhan.

“Apa pun! Tapi serahkan dulu senjata kalian!” kata kepala serdadu yang menjadi petugas pelabuhan.

“Hanya keris! Ini bukan senjata, ini hiasan laki-laki.”

Tapi si petugas tetap ngotot. Dia bahkan mulai memaki-maki dalam bahasa negerinya. Entahlah, dalam perkataannya sepertinya ia membawa-bawa nama seorang pemuka agama. Syeh syeh apalah…

Entah karena kelelahan diombang-ambing ombak dan angin laut, alih-alih menyerahkan kerisnya, pimpinan armada malah menghunjamkan benda itu ke lambung si serdadu. Perbuatan nekat itu tak punya alternative lain kecuali diikuti para anak buahnya. Alhasil, matilah lima serdadu Kompeni yang menjaga pelabuhan Marunda. Hanya dalam hitungan menit seluruh area Pelabuhan Marunda pun dikuasai Mataram.

Esoknya, 26 Agustus, barulah penyamaran itu dibuka. Sekian ratus prajurit berbondong-bondong menuju benteng Batavia dan Hollandia, lengkap dengan sekian banyak umbul-umbul kerajaan, panji-panji battalion dan sebagainya. Suara bende ramai menyemarakkan suasana. Tumenggung Bahureksa mencongklang kuda di depan pasukan, berjalan dengan gagahnya menuju target penyerbuan.

Tapi  mereka tak lekas menyerbu. Mungkin hanya semacam show-off untuk menggentarkan nyali orang-orang Kompeni dan kambrat-kambratnya yang berada di dalam benteng. Para prajurit Mataram dalam peleton-peleton kecil membangun tenda masing-masing. Malamnya mereka membuat api unggun, mengerumuninya mencari kehangatan di udara dingin Jakarta yang tengah dirundung kemarau. Angin kemarau, ditambah angin laut memang tidak seromantis angin malam dalam lagu Broery Pesolima.   

Paginya, antara 800 hingga seribu pasukan Mataram sudah berada di bagian kota yang ditinggalkan para Kompeni dan warga luar benteng Batavia[3]. Mereka langsung menggali parit pertahanan, seraya memutus hubungan antara kedua benteng Kompeni, Batavia dan Hollandia. Kini Jakatra kembali ramai oleh suara-suara beliung, pacul dan sekop  yang menghajar tanah untuk membuat parit perlindungan.

Pada saat matahari mulai naik, pasukan Kompeni tak mampu lagi menahan diri. Buat mereka jelas sudah, ini bagian dari pasukan Mataram—pasukan Ukur yang disangka pasukan Mataram, beberapa hari sebelumnya. Gila saja membiarkan mereka menyelesaikan parit dan membangun basis pertahanan hanya sekian ratus meter di muka benteng mereka.

“Serbu mereka dengan tembakan senapan, Jacques!” kata Coen Murjangkung memberikan perintah. Dia berada dalam ruang kerjanya yang pengap. Seperti biasa, matahari pagi meruapkan bau tahi ke segala penjuru, tak kecuali ke ruang kerjanya. Kapten Jacques Lefebre segera memberi hormat, lalu berjalan setengah berlari ke arah pasukannya yang tengah berjongkok, bersender atau berbaring dalam posisi membidik. Tak lama, hanya sekitar 10 menit kemudian serangkai tembakan meletus, menyebarkan sisa-sisa asap mesiu mengalun ke langit. Suara letusan itu dijawab dengan teriak kesakitan di beberapa titik.     

Pasukan Mataram yang baru datang itu kaget saat mereka menjadi sasaran tembak bedil-bedil Kompeni. Mereka juga punya bedil, tapi suara letusan bedil Kompeni jauh lebih sangar dan bikin hati soak. Apalagi terlihat jelas bahwa jangkauan tembak bedil itu pun jauh lebih baik disbanding bedil-bedil yang dibawa pasukan bedil di pasukan mereka.

“Isi meriaaaaam!” teriak Kapten George, pimpinan kompi artileri dalam benteng tersebut kepada pasukannya.

Sunyi sebentar, sebelum sekitar dua menit kemudian bunyi tujuh Meriam berdentum bergantian. Alhasil, sebagaimana pasukan Tatar Sunda, pasukan Mataram pun kocar-kacir, kacau balau melarikan diri. Mereka tahu, gagal artinya kehilangan nyawa dibantai oleh Kanjeng Sultan junjungan mereka sendiri. Tapi kan Sultan di Kartasura. Saat ini, bedil dan Meriam Kompeni jauh lebih nyata dalam menyebabkan kematian. Lari adalah peluang paling masuk di akal para prajurit itu.

Namun bagaimana pun meriam punya daya kejar yang jauh lebih baik disbanding bedil, apalagi hanya anak panah. Para prajurit Mataram yang lari menuju kapal-kapal mereka pun langsung dikejar dengan tembakan Meriam. Begitu pula yang lari menyeberangi Ciliwung. Hanya mereka yang lari menjauh ke arah selatan dan tenggara  yang sulit dikejar bola-bola besi Meriam. Soalnya, di sana terdapat banyak kebun berisi aneka tumbuhan, terutama pohon kelapa. Saat Meriam diarahkan untuk menghajar mereka, banyak diantara bola besi peluru Meriam itu terhalangi pepohonan.

Kekalahan pertama Tumenggung Bahurekso itu memang lebih konyol dibanding kekalahan pasukan Ukur. Bagaimana pun Ukur dan pasukannya tak harus sok gaya dan pamer kekuatan yang ternyata kosong adanya. Bagaimana pun serangan pertama pasukan Ukur lebih membuat para Kompeni di dalam benteng itu terperanjat soak, menyadari di pagi buta mereka diserang sekelompok orang yang kenekatannya bisa dibilang nyaris gila.

“Mereka lari tercerai berai. Intel mengatakan, kelompok terbanyak mundur ke kebun Tuan Specx, bertahan di sana dan membangun pertahanan darurat. Mereka mulai menebangi pohon kelapa Tuan Specx,” kata Jacques Lefebre saat memberikan laporan harian sore itu. Coen Murjangkung hanya mengangguk-angguk senang. Apalagi saat mendengar setidaknya 100-an orang Mataram hari itu berhasil dibinasakan.

Orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar benteng menyambut gembira kemenangan Kompeni tersebut. Dengan girang mereka menyerbu para korban tembakan meriam, menjarah apa yang bisa diambil. Mereka juga bilang, ke depan akan ikut manakala pertempuran kembali terjadi. Kapten Jacques memperkirakan jumlah orang-orang Tionghoa  itu ribuan jumlahnya. Kalau mereka bergabung, itu tentu kekuatan yang tak bisa dianggap enteng dan akan sangat membantu.

Dukungan orang-orang Tionghoa itu semakin nyata dan bertambah kuat, manakala kapal-kapal Kompeni dari Banten dan Pulau Onrust datang memberikan bantuan. Kini di dalam Benteng Batavia saja jumlah personel bertambah sekitar 200 orang asal banten dan Onrust. Dengan pesenjataan yang mereka miliki, Coen Murjangkung yakin, serangan puluhan ribu orang-orang Mataram itu hanya akan memberikan kekecewaan saja pada pelakunya. Belum lagi datang laporan dari anak buahnya bahwa orang-orang Inggris yang datang dari Banten dengan kapal HMS Duiyve untuk menyelamatkan orang-orang Inggris yang terjebak di Batavia, memberi mereka sumbangan 200 pucuk bedil panjang.

Ukur bukan tak tahu kekalahan pasukan Tumenggung Bahurekso itu. Dia bahkan tahu telah datangnya Bahureksa di Jakatra itu di hari kedatangan kapal-kapal Mataram tersebut. Seorang telik sandi yang ditempatkan Ukur di Marunda dan Pelabuhan Jakatra,  masing-masing melaporkan hal tersebut.

Hanya, karena pihak Bahureksa pun tampaknya tak menunjukkan keinginan untuk bergabung menyatukan kekuatan, dan seolah lebih ingin menghancurkan Batavia sendirian untuk mendapatkan cum yang tak harus dibagi dengan siap pun Kanjeng Sultan, ukur pun hanya diam menunggu. Ia bahkan tak tergerak untuk mengirim seorang caraka untuk mengajak Bahureksa segera berunding mencari pemecahan serangan besar Mataram tersebut.

“Kita tunggu saja bagaimana hasilnya,” kata Ukur kepada Ngabehi Tarogong saat yang bersangkutan bertanya akan hal tersebut.  “Kalau Si Bahureksa itu pemimpin yang baik, ia akan secepatnya mengirim utusan kepadaku,” kata Ukur. [Bersambung]     


[1] Kapal ukuran ‘menengah’ dalam budaya maritim Jawa saat itu. Ukurannya sedikit di atas rata-rata kapal nelayan saat ini.

[2] Kelompok berlayar, sebagaimana entah siapa menciptakan istilah kloter, kelompok terbang.

[3] Dag Register yang ditulis Coen pada November 1628

Back to top button