Solilokui

Berkah, Dzalim, Politisi Nasbung dan Politik ‘Kuah Beukah’

Ibnu Taimiyah (abad 13), dalam “Fatawa Kubra” menyatakan: “Setiap keadilan ditegakkan, pasti keberkahan akan tumbuh subur. Sebaliknya, apabila kedoliman mengalahkan keadilan, keberkahan akan sirna sama sekali, dan kebaikan mejadi kerusakan.”

Oleh Usep Romli H.M.

Istilah “berkah” sudah amat dikenal.  Sudah menjadi bahasa sehari-hari. Tak akan keliru lagi mengartikannya.

”Berkah” mengandung maksa kebaikan yang berkembang, secara rohaniah. Harta yang berkah, misalnya, walaupun kecil dan sedikit, tapi bermanfaat besar. Membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi pemiliknya sekeluarga, serta masyarakat sekitarnya.  Sebaliknya, adalah harta yang tidak berkah, yang menimbulkan kesusahan dan kecelakaan bagi pemiliknya pribadi sekeluarga. Umpamanya, harta hasil korupsi.

Usep Romli HM

Di lingkungan kehidupan orang  Sunda, istilah “berkah”  sering berubah menjadi  “berekat”. Ditujukan bagi semacam hidangan, pemberian dari orang  hajatan, untuk dibawa ke rumah. Tentu saja menggembirakan seisi rumah. Bersama-sama membuka “berekat”, baik berupa nasi dan lauk-pauknya, maupun aneka macam kue dan makanan trasidional, semacam opak, ranginang, bugis, dsb.

“Berekat” makanan yang dibawa santri dari kampungnya, untuk teman-teman di pondok, mempunyai istilah khusus. Yaitu “adrahi”.  Isinya masih tetap “berekat” juga.  

Kata “berkah” berasal dari basa  Arab “al barkah”. Punya banyak makna sesuai dengan bentuk, isi  dan tujuan kalimat.   Di antaranya, bermakna “tetap”  (ats tsabut), “melekat” (al lazum), berkembang (an namaa), meningkat (az ziyadah), dll.  Kata Al Khalil ibnu Ahmad, pakar ilmu “nahwu” (tata bahasa Arab), “berkah ibarat pohon berakar kuat menancap ke tanah, banyak dahan dan rantingnya, daunnya subur menghijau, berbunga harum, dan berbuah ranum, mengundang kegembiraan (as sa’adah) bagi siapa yang menyaksikan dan memilikinya.

Maka para ulama menyimpulkan, “berkah” adalah anugrah  Allah bagi hamba-hambaNya, berupa kebahagiaan, yang bersumber dari ketaatan dalam menjalani perintahNya, sekaligus menjauhi segala  laranganNya, untuk tetap menempuh jalan petunjuk menuju   keridlaanNya (taqwa).

Jika dipertalikan dengan politik, tak pelak lagi, politik berkah itu membawa bahagia, kegembiraan dan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat di situ, baik para politikus yang berada di panggung legislative dan eksekutif, maupun masyaraka  konstituen yang memilihnya.

Politik “berkah” bersumber dari perilaku adil para politikus beserta “stake-holder”nya. Sesuai firman Allah Swt, dalam Quran, S.Al Maidah ayat 9 :    “Berbuatlah adil, karena adil dekat kepada takwa”.

Politik dan politikus adil, akan memetik kejayaan dan  kekuatan, dalam melaksanakan tugasnya. Akan menumbuhkan kepercayaan khalayak, yangh akan seia sekata dan  ihlas mendukung. Lantaran di bawah naungan politik dan politikus “berkah” merasa tenang tenteram, aman damai, makmur.  “Tiis ceuli hérang mata” kata peribahasa Sunda. Sehingga, jika ada yang mengganggu, siap membela hingga titik darah penghabisan.

Ibnu Taimiyah (abad 13), dalam “Fatawa Kubra” menyatakan: “Setiap keadilan ditegakkan, pasti keberkahan akan tumbuh subur. Sebaliknya, apabila kedoliman mengalahkan keadilan, keberkahan akan sirna sama sekali, dan kebaikan mejadi kerusakan.”

Yang dimaksud dzalim, perusak  keberkahan keadilan itu, adalah  “menempatkan sesuatu perkara bukan pada tempatnya” (adz dzulmu wadzousy syai’in  fi ghoiri mawdzi’ihi). Termasuk memberikan tugas jabatan kepada bukan ahlinya. Hal ini akan menimbulkan kehancuran fatal dan total, sebagaimana sabda  Kangjen Nabi Saw, dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari : idza wusidal amru bi ghairi ahlihi, fantad iris saatu. Jika sesuatu perkara diserahkan  bukan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.

Politik dan politikus dzalim, adalah  “sontoloyo” (meminjam istilah Presiden Jokowi). Kata orang kampung, itu adalah politik dan politikus “kuah beukah”. Alias mengandalkan daya upaya tak elok dalam memenangkan suara untuk meraih kekuasaan kakawasaan.  Menabur uang, sembako, money politic, mengumbar janji gombal, dlsb.

Kuah beukah” yaitu nasi yang dikucuri kuah semur daging. Suka dihidangkan pada acara hajatan, di kampung tempo dulu, sebelum mengenal “parasmanan”. Terutama pada hajatan “siduru isuk” yang serba sederhana. Hidangan nasi pada setiap  piring, sudah disiapkan sejak tamu belum datang. Alhasil, nasi pun sudah beukah alias merekah gembung. Usai acara ditutup do’a, piring berisi nasi “kuah beukah” itu, dibagikan satu persatu. Walau sudah agak dingin dan nasinya sudah agak merekah, tetap saja enak dan lezat. “Pédo élom”, kata mereka.

Kini, setelah ramai musim kampanye, pilkada, pileg, pilpres, dll, istilah “kuah beukah” ditujukan untuk sejenis “nasbung” (nasi bungkus), yang dibagikan kordinator kampanye kepada para peserta. Tentu saja sangat “pédo élom” bagi peserta yang lapar, haus, panas, akibat menerikkan yel-yel dukungan.

Tak sedikit di antara mereka, menderita méncrét (diaré), karena nasbung “kuah beukah” sudah basi dan kurang hiégénis.  Ya apa boleh buat, uang transport penambah “kuah beukah” Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu , terpaksa dipakai beli obat. Tak terbawa ke rumah sebagai  “berekat”.

Diakui atau tidak, politik dan  politikus “berkah”, pembawa kebaikan, sudah amat langka. Tersisih oleh politik dan  politikus “kuah beukah” yang mendatangkan mencret.  Padahal harga “kuah beukah” tersebut, diperhitungkan sebagai modal.  Adapun modal, mau tidak mau, haus berputar mendatangkan laba. Sangat berisiko tinggi. Suatu waktu kelak terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagaimana sering terjadi belakangan ini.

Politik  dan politikus “berkah” membawa bangsa dan  nagara kepada kebaikan, secara material-finansial, dan méntal spiritual. Sedangkan  politik dan politikus “kuah beukah” justru membawa kerusakan dan kecelakaan. Allah Swt telah memperingatkan : “Apakah kalian tidak melihat orang yang menukar kenikmatan (berkah) dengan kekufuran (“kuah beukah”), dan menjerumuskan umatnya ke “Darul Bawar”, Negeri Kebinasaan?”  (Q.s.Ibrahim : 28). [  ]     

Back to top button