Solilokui

Dengarlah Ratapan Hutan-hutan Jawa Barat

Babasan (perumpamaan) “kawas badak Cihea”, sering digunakan untuk menggam-barkan seseorang berjalan bergegas, terburu-buru, tanpa melihat kiri dan kanan. Cihea adalah sebuah kawasan hutan dan perkebunan di Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Di situ, konon pernah ada sebuah kerajaan kecil bernama Susu-ru, sezaman dengan Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor).

Oleh   : Usep Romli HM

Robert Frost (1874-1963) penyair Amerika Serikat terkemuka, terpana tatkala memandang hamparan hutan di New England, timur laut AS, pada suatu senja bersalju. Keterpanaan itu, ia curahkan dalah puisi “Stopping by Woods on A Snowy Evening” yang termashur hingga kini.

Frost begitu terkesan oleh keindahan hutan negerinya, utuh terjaga dan terpelihara, yang menjadi sumber kekayaan alam serta sumber inspirasi sebuah mahakarya.  Bagimana dengan hutan-hutan di Jawa Barat?

Mungkin yang terdengar adalah suara ratapan duka mereka. Hutan-hutan di Jawa Barat tak  dapat lagi dibanggakan sebagai paru-paru bumi, penghimpun kekayaan flora dan fauna. Semua  sudah habis sama sekali tergerus pembangunan infra-struktur, seperti jalan tol, jalan kereta api, bendungan, kota teknopolis, dan lain sebagainya.

Padahal, tiga empat dasawarsa lalu Jawa Barat banyak memiliki hutan bernilai legen-daris. Selain menjadi penyangga utama lingkungan, hutan-hutan tersebut juga menjadi sumber folklore atau cerita rakyat yang tercatat dalam dongeng, kepercayaan (mitos), babasan, paribasa dan bentuk kearifan lokal lain.

Babasan (perumpamaan) “kawas badak Cihea”, sering digunakan untuk menggam-barkan seseorang berjalan bergegas, terburu-buru, tanpa melihat kiri dan kanan. Cihea adalah sebuah kawasan hutan dan perkebunan di Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Di situ, konon pernah ada sebuah kerajaan kecil bernama Susu-ru, sezaman dengan Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor).

Sisa-sisa gambaran Kerajaan Susuru, walaupun belum terbukti secara arkeologis, masih tampak hingga sekarang di sepanjang aliran irigasi Sukarama yang berhulu di Sungai Cisokan. Antara lain, berupa lapangan yang disebut alun-alun, dan tampian (tempat pemandian) yang disebut “jamban larangan”.  

Hutan Cihea sendiri sudah lenyap ditelan perkembangan pembangunan. Apalagi badak penghuninya, musnah tak bersisa. Masih untung tercatat dalam babasan peribahasa, yang masih agak terpelihara turun-temurun.

Hutan lain yang dihubungkan dengan satwa badak adalah Cipatujah di Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah personifikasi berbunyi “kawas diseupah badak Cipatujah” menggambarkan keadaan benda yang hancur lebur tak bersisa, Hanya tinggal “seupah” (sepah) atau ampas. Seperti badak Cihea, badak Cipatujah pun sudah lenyap tak berbekas.

Badak di bagian selatan Garut mungkin bernasib lebih baik daripada badak Cihea dan badak Cipatujah. Paling tidak mengacu kepada informasi pengarangSunda terkenal, Muhammad Ambri (wafat 1936), dalam bukunya “Numbuk di Sue” (Balai Pustaka, 1939). Walaupun merupakan karya fiksi, “Numbuk di Sue” cukup akurat mengung-kapkan keadaan sosial-budaya pedesaan Sunda tahun 1920-an yang masih serba sederhana,dan lingkungan alamnya masih terpelihara. Antara lain, masih banyak rawa di tengah hutan, tempat “pangguyangan” badak.

Kawasan selatan Garut, memang memiliki hutan legendaris. Yaitu Leuweung Sancang. Banyak kisah mengandung kepercayaan (mitos) yang menganggap Sancang sebagai tempat tilem (menghilang) PrabuSiliwangi. Menurut ceritarakyat yang berhasil di-kumpulkan oleh panitia Tahun Buku International Indonesia yang diprakarsai UNESCO)  pada tahun 1972, Prabu Siliwangi mubus (kabur menyelinap) ke arah selatan, menghindari kejaran anaknya, Kian Santang, yang mengajak masuk Islam.

Tiba di Hutan Sancang, ia bersama para pengikut setianya menghilang. Prabu Siliwangi berubah wujud menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menja-di harimau yang disebut “Maung Sancang”. Warna garis-garis hitam pada kulitnya,  horizontal, memanjang dari arah kepala ke bagian ekor. Membedakan dengan maung lodaya (Panthera tigris sondaicus), penghuni asli Sancang yang bergaris-garis hitam vertikal.

Konon, harimau putih jelmaan Prabu Siliwangi bersemayam di sebuah goa besar bernama Guha Garogol di tengah Hutan Sancang, dan sesekali merenung menyendiri di puncak Karang Gajah di dekat muara Sungai Cikaingan. Ada pun Maung Sancang, mendiami rumpun-rumpun kayu kaboa, sejenis pohon bakau, yang hanyak tumbuh  di sepanjang pantai Samudra Hindia kawasan Sancang dari muara Cikaingan di sebelah timur, hingga muara Cibaluk d sebelah barat.  

Hingga  pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, Namun segera mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar, setelah terjadi reformasi pada tahun 1998.

Salah satu satwa liar penghuni Sancang, banteng, hilang lenyap tak berbe-kas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran yang masih selamat dan cocok untuk habitat banteng. Atau mungkin bergelimpangan mati akibat dampak perusakan hutan. Nasib banteng Sancang sangat mirip dengan nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena euphoria reformasi, berbentuk pembalakan liar.

Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan raya lintas selatan.Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan flora dan faunanya juga sangat menyusut. Selain kehilangan banteng, Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong, julang, serta harimau, baik maung sancang maupun maung lodaya. Jenis kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras, ikut tumpas bersama kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai tergerus perubahan zaman.

Lebih tragis lagi kondisi hutan tutupan Bojonglarang di dekat Pantai Jayanti, Kabupaten Cianjur. Hutan itu  habis akibat dijadikan lahan jalan raya jalur lintas selatan dan tapak jembatan Sungai Cilaki. Orang-orang yang lewat berkendara di sana, rata-rata tidak mengetahui bahwa tanah yang mereka injak-injak, adalah bekas hutan tutupan yang hingga tahun 1990-an merupakan “leuweung ganggong simagonggong, leuweung si sumenem jati. Hutan lebat dipenuhi aneka pohon dan binatang buas.

Setelah hutan-hutan besar, terkenal, dan penuh legenda seperti Cihea, Cipatujah, Sancang, Cikepuh, dan Bojonglarang sirna dari perbendaharaan geografi Jawa Barat, hutan mana lagi akan menyusul musnah? Mungkin termasuk hutan  kota Baba-kan Siliwangi, Kota Bandung, yang terus diperebutkan para pencinta lingkungan dan pencinta keuntungan. Sama dengan Hutan Kareumbi, di perbatasan Kabupaten Bandung-Kabupaten Sumedang. Hutan tempat pembiakan rusa itu kini mulai diincar para pengembang perumahan.

Sementara hutan tutupan suaka margasatwa Papandayan dan Kamojang di Garut, telah diturunkan derajatnya menjadi hutan taman wisata, yang tentu saja diragukan akan menjamin kelestarian hutan-hutan tersebut sebagai hutan lindung.

Maka, wajarlah muncul pertanyaan, masihkah Tatar Jabar, memiliki hutan kebanggaan? Atau hanya tinggal kenangan? Sehingga, yang tinggal hanya tapak-tapak kerusakan bongkar-bangkir tak karuan. Bukan keindahan seperti yang menggugah perasaan penyair Robert Frost seabad yang lalu. Dengarlah, hutan-hutan Jawa Barat meratap-ratap! [ ]

Back to top button