Solilokui

Do The Wrong Things First Time

Oleh  :  Medrial Alamsyah

Salah kaprah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya kesalahan yang umum terjadi sehingga kita tidak menyadari. Kita merasa benar padahal sedang melakukan kesalahan.

Salah kaprah kadang mungkin tidak berdampak fatal pada dunia nyata seperti dalam berbahasa kita memakai kata “kami” mengganti kata “saya”. Walaupun itu salah tetapi semua maklum yang dimaksud adalah individu yang sedang bicara mewakili dirinya sendiri, bukan mewakili sebuah kelompok.

Namun adakalanya salah kaprah berdampak fatal karena bukan saja menggiring orang melangkah ke arah yang salah, lebih dari itu justru membuat orang melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan maksud sebenarnya.

Umum terjadi di masyarakat kita lebih ingin dianggap kaya dari pada berusaha agar menjadi kaya, ingin dianggap pintar ketimbang benar-benar pintar, dan lain-lain.

Karena ingin dianggap kaya tak jarang orang rela berhutang jauh melebihi kemampuannya membayar. Hasilnya dia jadi terlilit hutang sehingga alih-alih kaya malah jadi miskin. Ingin dianggap pintar seorang siswa berusaha dapat nilai bagus dengan menyontek saat ujian, bukan malah belajar dengan benar. Tentu dia tidak akan pintar, sebaliknya jadi bodoh kalau bukan malah jadi hina bila ketahuan.

Salah satu salah kaprah yang terjadi dalam manajemen adalah menganggap manajemen yang baik itu bila organisasi tanpa masalah. Maka tak jarang seorang manager, baik di swasta maupun dalam birokrasi pemerintah, mengklaim di dalam unit organisasinya tidak ada masalah sama sekali.

Sejatinya dalam organisasi manapun mustahil operasinya tanpa masalah. Klaim tanpa masalah jelas nonsense dan melahirkan perilaku menyembunyikan masalah. Akibatnya, anggota organisasi itu tidak awas terhadap masalah yang muncul, sehingga masalah kecil menjadi besar, menumpuk dan kemudian meledak tanpa bisa dikendalikan. Ujungnya bukan tidak mungkin organisasi tersebut ambruk, tidak bisa dibangun lagi.

Padahal esensi manajemen itu adalah pengendalian (control), termasuk pengendalian masalah bila masalah muncul. Malah, dalam manajemen mutu berlaku filosofi “problem is opportunity to improve” (masalah adalah peluang untuk peningkatan).

Berbekal filosofi tersebut, bila masalah mendekati nol sebuah organisasi kelas dunia malah menciptakan masalah. Caranya dengan menaikkan target sehingga sebuah operasi yang tadinya dianggap tidak bermasalah jadi  bermasalah. Semua orang kemudian berpikir bagaimana merubah metode kerja, lebih mengefisienkan proses, merancang sistem baru dan melatih karyawan sesuai metode, proses dan sistem baru tersebut. Semua akan sibuk dengan masalah baru, mencari solusi agar masalah tersebut berkurang atau hilang sama sekali.

Saat equilibrium baru tercipta, target baru pun dimunculkan yang mendorong inovasi baru yang lebih baik dari sebelumnya, demikian seteruanya. Itu yang disebut sebagai peningkatan berkelanjutan (continuous improvement).

Dalam organisasi kelas dunia di atas, masalah bukanlah aib yang mesti disembunyikan. Sebaliknya masalah harus dibuka, dinalisa dan dicari solusinya bersama-sama. Aib paling memalukan bagi organisasi kelas dunia justru bukan munculnya masalah, melainkan ketika tidak ada orang dalam organisasi mengetahui bahwa ada masalah. Aib sebuah sistem adalah ketika sistem tersebut tidak bisa mendeteksi munculnya sebuah masalah. Sebaliknya, sistem yang hebat adalah ketika sistem  mampu mengetahui masalah sekecil apapun, termasuk yg disembunyikan dengan cara apa pun.

Aib berikutnya adalah bila sistem tidak punya data dan mekanisme untuk menganalisa masalah agar diketahui apa akar masalahnya. Juga sebuah aib bila ketika akar masalah sudah diketahui tapi sistem tidak melahirkan solusi, atau ada solusi tapi tidak dipastikan implementasinya.

Artinya, sebuah organisasi dikatakan memiliki manajemen yang baik, bukan berarti tanpa masalah, tetapi bila semua “under control”. Itu bermakna operasi berjalan sesuai tencana, bilamana muncul masalah terdeteksi oleh sistem, selanjutnya masalah tersebut dianalisa, dirumuskan akar masalahnya, ditetapkan solusinya dan dipastikan solusi itu dijalankan.

Berbicara tentang masalah, bisa dibagi dalam tiga kelompok: 1) masalah yang direncanakan seperti masalah yg muncul saat melakukan preventive maintenance di satu pabrik atau menaikkan target untuk mendorong inovasi baru dalam satu organisasi; 2) masalah yang secara teknis/logis bisa diduga seperti habisnya masa pakai sebuah alat, atau penyebaran virus seperti covid-19 (corona), hujan yang sangat mungkin tiba mendadak saat berada di daerah pegunungan, dsb; dan 3) masalah yang tak terduga karena kecelakaan dan sejenisnya.

Pada umumnya masyarakat dan pemerintah negara-negara (berpikiran) maju mengantisipasi tiga masalah itu sejak awal. Mereka selalu mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam setiap situasi dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat, terutama pada bidang/sektor yang beresiko kecelakaan/kerugian besar.

Ambil contoh dalam bidang transportasi, seorang pengemudi mobil yang akan menyalib pengendara sepeda sangat disarankan (dan biasanya diikuti dengan tertib oleh masyarakat) agar menjaga jarak yg cukup dari sepeda karena sepeda, yg bergerak karena dikayuh, bisa saja tiba-tiba oleng. Andai oleng pada saat disalib mobil, dengan menjaga jarak aman, kecelakaan tidak akan terjadi.

Hal yang sama terlihat dalam penanganan virus corona oleh pemerintah negara-negara berpikiran maju tersebut. Ketika Pemerintah Cina mengumumkan menutup Kota Wuhan, kemudian beberapa Kota lainnya yang tertular virus corona karena terlambat mengantisipasi penyebaran akibat pergerakan masyarakatnya, amatlah logis kita berfikir bahwa ada kemungkinan pergerakan WNC (Warga Negara Cina) yang tertular ke luar negeri tanpa terkontrol.

Pemerintah negara-negara tersebut dengan sigap melakukan langkah-langkah rasional mulai dari membuat protokol pencegahan, protokol bila ada yg dicurigai atau terpapar virus corona, sampai melarang masuknya orang yg datang dari negara-negara terpapar serta menyediakan anggaran khusus untuk melakukan berbagai tindakan yang dianggap perlu.

Sementara di negara-negara yang pemerintah dan masyarakatnya berpikiran terbelakang, pemerintah sibuk mengundang dan memudahkan kedatangan WN dari negara terpapar, sampai-sampai mengeluarkan anggaran khusus untuk undangan tersebut; dan masyarakatnya mengejek—bahkan memaki, siapa pun yang menentang kebijakan itu.

Pemerintah dan masyarakat seperti itu baru sadar setelah semua telah terlambat. Reaksinya biasanya lalu terkaget-kaget karena mereka tak terbiasa “do the right things first time” tetapi “do the wrong things first time”. [ ]

Back to top button