Solilokui

Hubungan AS-Turki Setelah Penghinaan Trump Terhadap Erdogan

Oleh: Can Dundar*

Di tengah skandal yang tengah berkembang di Washington serta fluktuasi keseimbangan politik di Suriah, Presiden Trump mengungkapkan bahwa dirinya telah mengirim sepucuk surat kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Trump, dengan pernyataan itu, tampaknya berusaha menunjukkan kepada publik Amerika yang bingung bahwa dia benar-benar orang yang bertanggung jawab.

Presiden Trump memang bertindak berdasarkan dorongan hatinya, namun keputusannya itu kemungkinan akan berdampak buruk terhadap hubungan Turki-AS.

Teks surat yang dikirim Trump itu benar-benar mengguncang masyarakat Turki. “Jangan bodoh!” Trump menegur Presiden Erdogan. Itu sebuah penghinaan yang mengejutkan bagi seorang pemimpin yang dengan hati-hati terus menjaga citra publiknya sebagai seorang pemimpin yang kokoh.

Dalam surat itu Trump mengancam “akan menghancurkan ekonomi Turki”. Ia juga mengingatkan Erdogan bahwa “Saya telah bekerja keras untuk menyelesaikan beberapa masalah Anda,” yang tampaknya merujuk pada beberapa masalah pribadi yang tidak diketahui pasti. Tak hanya itu, Trump juga merekomendasikan agar Erdogan bernegosiasi dengan pemimpin Kurdi Suriah, Jenderal Mazloum Abdi—seorang yang di Turki dilabeli cap teroris.

Siapa pun yang berbicara dengan Erdogan dalam bahasa seperti itu di Turki sangat tidak terbayangkan. Erdogan telah mengirim banyak orang ke penjara karena komentar yang jauh lebih ringan. Dia juga memiliki catatan panjang reaksi keras terhadap kritikus dari luar negeri. Kini, para pengamat dan komentator tengah menahan napas untuk melihat bagaimana Erdogan akan merespons.

Respons Turki atas surat tersebut benar-benar berhati-hati. Awalnya, pemerintahan Erdogan berpura-pura tidak menerima surat itu. Hingga seorang juru bicara partai oposisi utama kemudian mengeluarkan pernyataan: “Republik Turki tidak pernah menerima kesombongan seperti itu,” kata Faik Oztrak dari Partai Rakyat Republik. Ia menyebut surat itu sebagai omong kosong.

Belakangan mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mencuit di Twitter, “Bangsa Turki telah dihina. (Rencana Erdogan) untuk mengunjungi AS harus dibatalkan kecuali ada permintaan maaf.”

Akhirnya kubu Erdogan pun terdesak untuk memberikan pembelaan. “Erdogan menolak tawaran mediasi (dengan Kurdi Suriah),”kata sumber pemerintah kepada media setempat. “Surat itu dibuang ke tempat sampah.” Sumber itu juga menegaskan bahwa operasi Turki di Suriah utara adalah “jawaban paling jelas” untuk surat Presiden Trump tersebut.

Namun salah besar jika menganggap urusan ini telah berakhir. Surat resmi Trump itu bahkan mengingatkan sebuah surat lain yang dikirim ke Ankara dari Washington, 55 tahun sebelumnya. Pada 1964, di tengah persiapan Turki untuk melakukan operasi militer di Siprus, membuat Presiden AS Lyndon B. Johnson bingung. Johnson menulis surat kepada Perdana Menteri Turki Ismet Inonu, menyatakan kekhawatiran besar risiko perang Turki-Yunani di Mediterania dan kerusakan yang dapat ditimbulkannya pada NATO.

Johnson juga memperingatkan kemungkinan keterlibatan langsung Uni Soviet dalam masalah itu. Amerika, kata Johnson, tidak akan bisa membela Turki, selain tidak akan menyetujui penggunaan peralatan militer AS dalam operasi tersebut.

“Surat Johnson” pada 1964 itu menjadi titik balik dalam hubungan Turki dengan AS. Ankara menahan diri untuk tidak bertindak melawan Siprus untuk sementara waktu. Tetapi para pemimpin Turki tidak pernah lupa bagaimana seorang Presiden AS menceramahi mereka.

Empat bulan kemudian, Inonu mengirim menteri luar negerinya ke Moskow, berupaya memulihkan hubungan setelah seperempat abad kedua negara dilingkupi permusuhan. Langkah diplomatik itu nyata-nyata akibat langsung dari surat Johnson.

Kesamaan tersebut tidak berakhir di sana: reaksi publik terhadap surat Johnson juga menyulut serentetan gelombang sayap kiri anti-Amerikanisme yang sebagian besar memuncak pada 1968 serta diperparah kemarahan atas Perang Vietnam.

Surat Trump hampir pasti memiliki efek yang sebanding. Bagaimanapun juga, popularitas AS di antara orang-orang Turki telah lama jatuh, jauh sebelum surat Trump. Ketika para pengamat meminta masyarakat Turki menyebutkan nama negara yang menjadi ancaman terbesar bagi Turki tiga tahun lalu, 44 persen dari mereka memilih Amerika Serikat. Tahun ini angkanya mencapai 81 persen.

Sejarah ini juga memberikan peringatan. Mereka yang tak lupa sejarah tahu betul bahwa Kabinet Inonu jatuh delapan bulan setelah surat Johnson. [The Washington Post/matamatapolitik]

Can Dundar, mantan pemimpin redaksi surat kabar terkemuka Turki Cumhuriyet. Tinggal di pengasingan.

Back to top button