Solilokui

Indonesia tak Sepatutnya Mengimpor Beras

Yang mengemuka adalah keinginan yang tak terwujudkan, seperti Surplus Beras 10 juta ton atau pun Swasembada Padi, Jagung dan Kedele (PAJALE). Sayang, semua cita-cita itu berlalu seiring dengan selesainya satu orde  pemerintahan.

Oleh  : Entang Sastraatmadja*

JERNIH– Sebelum tahun 1984, Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor beras yang cukup besar di dunia. Warga dunia tahu persis, sebagian besar orang Indonesia sangat tergantung kepada beras sebagai bahan makanan pokok. Belum ada satu bahan pangan karbohidrat non beras yang mampu menggantikannya. Tanpa beras, seolah-olah tidak ada kehidupan.

Entang Sastraatmadja

Itu sebabnya, Pemerintah berjuang habis-habisan agar Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras dari hasil produksi dalam negeri. Pemerintah betul-betul memberi perhatian khusus, termasuk dalam hal pemenuhan sumber daya yang dibutuhkan.

Perjuangan bangsa untuk mampu menjadi negeri yang berswasembada beras akhirnya berwujud nyata. Pada tahun 1984, dunia mengakui kisah sukses Indonesia menggapai swasembada beras. Indonesia mampu mencukupi kebutuhan warga masyarakatnya dari hasil produksi dalam negeri.

Semua ini bukan hoax. Malah, Badan Pangan Dunia (FAO) sengaja mengundang Presiden Soeharto datang ke Roma, Italia, untuk berbagi pengalaman dan memberi bukti kepada warga dunia terkait langkah-langkah strategis apa yang membuat keberhasilan Indonesia dalam mewujudkan swasembada beras tersebut.

Tapi, sangat disayangkan, pencapaian swasembada beras di negara kita hanya berlangsung sebentar. Kita tidak mampu melestarikannya. Setelah itu, lagi-lagi kita terjebak ke dalam impor beras. Jerih payah dan kerja keras yang kita kejar selama bertahun-tahun itu, berujung ketidak-mampuan untuk menjaga dan memelihara apa yang telah diraih.

Kita sendiri tidak pernah tahu secara persis apakah swasembada beras yang kita capai tahun 1984 itu betul-betul swasembada beras ataukah hanya sekadar swasembada beras politis belaka ? Bahkan ada yang menyatakan swasembada beras Indonesia, layak disebut sebagai swasembada beras on trend.

Usai tumbangnya Orde Baru, diganti oleh Orde Reformasi, perhatian pemerintah lebih terfokus pada urusan politik. Sangat jarang yang serius bicara soal pangan dan pertanian.

Bisa dicermati, sejak tahun 1999-2004 kita mengalami beberapa kali ganti kepala negara. Diawali dengan pengangkatan Presiden BJ Habibie, lalu digantikan Gus Dur, kemudian diganti Megawati hingga akhirnya melalui pemilihan langsung oleh rakyat, kita memiliki Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan panggilan akrab Presiden SBY.

Sejak 2004 inilah kita mulai memberi perhatian kepada seluruh sektor pembangunan dan tidak melulu bicara soal politik atau kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan dilahirkannya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dengan mengedepankan proses perencanaan secara teknokratik, partisipatif, top down – bottom up dan politis, kita tetapkan Visi dan Misi pembangunan yang harus diwujudkan. Salah satunya adalah menata ulang pembangunan pangan dan pertanian. Akhirnya pada tahun 2008, kembali Indonesia berhasih meraih swasembada beras Jilid 2.

Lagi-lagi inilah keanehan yang terjadi di negara kita. Usai mendengar kabar gembira ini, tiba-tiba kita dikejutkan dengan adanya impor beras, karena ada serangan hama dan penyakit tanaman serta perubahan iklim di dunia yang menyebabkan produksi beras di dalam negeri melorot tajam.

Sejak saat itu, kita tidak pernah lagi mendengar informasi yang menyenangkan terkait swasembada beras. Yang mengemuka adalah keinginan yang tak terwujudkan, seperti Surplus Beras 10 juta ton atau pun Swasembada Padi, Jagung dan Kedele (PAJALE). Sayang, semua cita-cita itu berlalu seiring dengan selesainya satu orde  pemerintahan.

Kalau boleh bicara jujur, seharusnya negeri ini tidak impor beras. Malah kalau pengelolaannya dijalankan dengan baik, Indonesia mampu menjadi eksportir beras yang cukup disegani. Sedihnya, hingga kini kita masih saksikan kebijakan yang belum totalitas mendukung pencapaian cita-cita tersebut.

Gonjang ganjing politik ditambah adanya pandemi covid 19, menyebabkan Pemerintah kehilangan fokus untuk memberi perhatian serius terhadap pembangunan pangan dan pertanian. Politik anggaran hampir semua diarahkan kepada penanganan covid 19. Kita tidak tahu kapan pandemi covid 19 akan berakhir.

Yang pasti jika kita ingin swasembada beras lagi, boleh jadi hal ini identik dengan memasuki sebuah terowongan. Namun di ujung terowongan itu nampak seberkas cahaya. [  ]

*Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat

Back to top button