Solilokui

Jangan Pernah Memutus Kebaikan

Pada waktu yang telah ditentukan, mereka berangkat sebelum terbit fajar Tapi apa yang terjadi ? Buah kurma yang akan dipanen diam-diam itu, sudah hangus gosong tak bersisa. Mereka baru sadar, bahwa keberuntungan panen buah kurma dulu, semata-mata karena ganjaran terhadap kebajikan dan kemurahan pemiliknya

Oleh :  H.Usep Romli HM

Di tengah gonjang-ganjing serangan virus Corona, membicarakan amal kebaikan dan kebajikan sangat penting. Untuk saling mengingatkan, tentang kesempatan hidup. Masihkah ada atau tidak, untuk berbuat kebaikan dan kebajikan. Atau kecepatan berbuat baik dan bajik (fastabiqul khairat), kalah oleh kecepatan Covid -19 menerkam nyawa kita.

Rasulullah Saw bersabda : “Ash shadaqatu tanfaul bala. Sadakah mencegah bala bencana.” (hadis sahih). Ingin selamat dari bencana, sementara sadaqah dijauhi akibat kekikiran, curiga, syak wasangka antarsesama. Masya Allah.

Allah SWT berfirman : “Engkau sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum engkau menafkahkan sebagian harta yang engkau cintai. Dan apa saja yang engkau nafkahkan, sungguh Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali Imran : 92). Sedekah termasuk salah satu upaya mencapai kebajikan sempurna itu.

Usep Romli HM

Para orang tua dulu, banyak yang menyisihkan kekayaannya untuk sedekah. Mereka sangat mematuhi makna dan tujuan S.Ali Imran : 92 di atas. Juga sangat memahami makna dan tujuan hadis Nabi Muhammad Saw yang  menyatakan, putus amal-amalan manusia setelah kematiannya, kecuali jariyah (sedekah, wakaf, hibah, wasiat), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendo’akan kedua orang tuanya.

Tradisi wakaf tempo dulu, hingga awal tahun 1960-an, selain berkat petunjuk Allah dan Rasulnya, juga karena tatanan sosial yang masih akrab. Di suatu tempat, seseorang yang kaya raya, biasanya punya hubungan kekerabatan atau persahabatan dengan ajengan, guru, kepala desa dan orang-orang lain yang memiliki status terpandang. Sehingga ia dengan mudah memberikan sebagian hartanya untuk kepentingan umum. Bahkan tanpa diminta. Untuk membangun pesantren, madrasah, masjid, balai desa, sekolah, gardu ronda, lumbung desa, dll. Bukan hanya sebatas tanah untuk lahan, melainkan juga bahan dan  biaya pembangunannya. 

Karena dasarnya ihlas, saling percaya dan saling menghargai, dalam wakaf itu, kadang tak ada surat-menyurat. Kecuali “ijab-kabul” (serah terima) dan beberapa saksi.

Namun sering kali terjadi, akibat perubahan zaman, anak-cucunya menganggap wakaf tidak sah, karena tidak didukung bukti-bukti tertulis . Sehingga dapat digugat. Bahkan diambil-alih langsung. Mereka tidak peduli kepada nilai-nilai kebaikan leluhurnya yang bersifat “spiritual” dan “abstrak”. Sebab yang berlaku sekarang adalah hal-hal yang “material” dan “konkret”.      

Kebaikan para orang tua yang  keabsahannya dijamin oleh Quran dan Sunnah, seharusnya tidak diputus oleh anak,cucu dan keturunanya kelak. Karena akan menimbulkan “bencana” moral, sosial, dan hukum.

Kisah dalam Al Quran, S.al Qalam : 17-33, di bawah ini,   dapat dijadikan bahan renungan : “Dahulu kala, di Desa Dirwan, dekat San’a (Yaman) terdapat kebun kurma yang subur. Selalu berbuah lebat, dan bagus. Sehingga harga jualnya tinggi. Pemilik kebun percaya, kesuburan pohon-pohon kurmanya itu, adalah berkat doa-doa para penduduk desa yang setiap musim, mendapat bagian. Jika buah kurma akan dipanen, pemilik kebun suka mengundang semua penduduk Dirwan. Mereka dipersilakan menyimpan wadah di sekeliling pohon kurma. Jika ada buah kurma jatuh ke dalam wadah, berarti bagian pemilik wadah. Yang jatuh di luar, bagian pemilik kebun. Itulah bentuk kebajikan dan kemurahan pemilik kebun, yang mendatangkan keberkahan selama  bertahun-tahun.

Ketika pemilik kebun meninggal, pohon-pohon kurma diwariskan kepada anak-anaknya. Mereka berencana menghapus tradisi “panen bersama” tersebut. Sebab menurut perhitungan mereka, buah kurma yang menjadi bagian penduduk desa, mencapai 2-3 kuintal. Jika itu diambilalih menjadi bagian pemilik kebun, tentu jumlah yang masuk bertambah. Lalu mereka sepakat, akan melakukan panen secara diam-diam pada waktu dinihari, pada saat semua orang lelap tertidur. Sehingga hasil panenan seratus persen masuk ke pemilik.

Pada waktu yang telah ditentukan, mereka berangkat sebelum terbit fajar Tapi apa yang terjadi ? Buah kurma yang akan dipanen diam-diam itu, sudah hangus gosong tak bersisa. Mereka baru sadar, bahwa keberuntungan panen buah kurma dulu, semata-mata karena ganjaran terhadap kebajikan dan kemurahan pemiliknya, sekaligus doa orang-orang yang menerima kebajikan dan kemurahan itu. Tatkala kebajikan dan kemurahan  dicoba dihianati oleh kebakhilan dan kecurangan, muncullah kehancuran, baik secara tiba-tiba, maupun bertahap.

Kisah di atas,  mengandung pendidikan, agar manusia suka berbuat murah dan bajik, serta menjauhi kekikiran dan persekongkolan jahat. Juga mendidik manusia agar suka tolong menolong, bekerjasama, saling memberi dan menerima dengan penuh ketulusan dan keihlasan.

Jika sikap dan sifat tersebut dipelihara, nikmat karunia Allah akan tetap melimpah dalam suasana damai, tenteram dan sejahtera. Sebaliknya, jika dicoba dirobah dengan sifat dan sikap yang bertolakbelakang, konspirasi yang mendewa-dewakan pola pikir matematis dan materialistis, segera digantikan siksa dan azab mengerikan.

“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, selama kaum itu tidak mengubah keadaan mereka sendiri”  (Q.s.ar Ra’du : 11). Makna ayat ini, menurut Imam Ibnu Jarir at Thabari, penulis tafsir “Jamiul Bayan”, kaum yang telah mendapat nikmat Allah, kemudian tidak mensyukuri nikmat itu (ta’at kepada Allah), dan mengubahknya  dengan kufur nikmat (menentang Allah), maka Allah akan mencabut nikmatNya yang telah dianugerahkan kepada mereka. Menggantinya, dengan azab yang sesusai dengan penentangannya.

Ancaman virus Corona seyognya menumbuhkan kesadaran relijius dan sosial bersendikan kebaikan dan kebajikan.  [   ]

Back to top button