Solilokui

Karena Sifat “Kacang Lupa Cangkang”

Suatu hari, Malaikat yang dulu, datang menemui mereka satu persatu, dengan menyamar. Memakai pakaian kumal, penuh bercak darah bernanah.

Oleh  : H.Usep Romli H.M.

“Kacang lupa cangkang” atau “kacang lupa akan kulitnya”, sebuah peribahasa terkenal. Menggambarkan sifat orang lupa diri.  Lupa akan kebaikan orang lain terhadap dirinya.

Merasa kesuksesan  yang ia raih, atas usaha sendiri belaka. Tidak melibatkan pihak lain. Sehingga menjadi sombong, pongah,angkuh. Menepuk dada seraya menafikan jasa-jasa siapa pun yang pernah menolongnya. 

Sebuah kisah sahih dari Kangjeng Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, dimuat dalam kitab “Qoshoshun Nubuwah” karya Dr.Umar Sulaiman Al Asyqar (2011), sangat bagus untuk contoh perilaku “kacang lupa cangkang” yang  dilakukan manusia “kacang lupa akan kulitnya”.

“Di kalangan masyarakat Bani Israil dahulu kala, ada tiga orang penderita penyakit gawat. Seorang menderita penyakit kulit, seorang lagi menderita penyakit botak, dan seorang lagi buta. Ketiganya amat sengsara, terlantar. Dikucilkan dari pergaulan sehari-hari, karena dianggap menjijikkan dan merusak kebersihan lingkungan.

“Allah SWT berkehendak menguji mereka, dengan mengutus seorang  Malaikat menemui ketiga orang malang itu.  Yang berpenyakit kulit disembuhkan, sehingga memiliki kulit mulus sempurna.  Diberi pula seekor unta betina sedang bunting, untuk bekal hidupnya. “Orang berpenyakit botak, diusap kepalanya. Langsung tumbuh rambut tebal hitam. Serta diberi  seekor sapi bunting untuk  bekal kehidupan masa depan, diiringi doa keberkahan. Yang buta, diusap matanya. Sehingga dapat melihat. Dia diberi seekor domba bunting.

Bertahun-tahun kemudian, ketiga orang yang disembuhkan dari pemyakit-penyakitnya itu, sudah menjelma menjadi orang kaya raya. Ternak mereka berkembang biak dengan cepat. Orang-orang sudah lupa lagi keadaan mereka dulu. Mereka kini mendapat penghormatan dan pujian atas  kesuksesan usaha peternakannya.

Suatu hari, Malaikat yang dulu, datang menemui mereka satu persatu, dengan menyamar. Memakai pakaian kumal, penuh bercak darah bernanah. Kepala gundul dan mata buta. Mula-mula datang kepada orang yang diberi unta. Meminta tolong bantuan ala kadarnya untuk bekal di perjalanan. Tapi pemilik unta menolak mentah-mentah. Bahkan mengusirnya dengan kasar. Malaikat itu mengingatkan akan keadaan pemilik unta dulu yang menderita penyakit kulit. Tapi pemilik unta membantah, dan menyatakan dari dulu sehat wal afiat, banyak harta berkat usaha sendiri.

Begitu selesai bicara, pemilik unta kembali kepada kondisi asal. Berpenyakit kulit menjijikkan dan semua hartanya lenyap tak bersisa. Ia pingsan setelah mendengar kata-kata Malaikat, yang menyatakan ia kufur terhadap nimat Allah.

Kepada pemilik sapi, Malaikat yang menyamar sebagai pengemis gelandangan itu, mengutarakan maksudnya meminta sedikit sedekah. Kembali ia diusir dan dicaci-maki. Maka pemilik sapi pun mengalami nasib sama dengan pemilik unta. Tubuhnya yang tampan, berubah menjadi seperti dulu lagi. Kepala botak dan penampilan menjijikkan. Semua harta miliknya hilang lenyap tanpa bekas.

Perlakuan berbeda, didapat dari pemilik domba. Malaikat yang menyamar sebagai pengemis buta itu diterima dengan ramah. Dipenuhi segala kebutuhannya. Ditawari domba sebanyak yang diperlukan untuk bekal di perjalanan.  Pengemis yang sudah menjelma kembali menjadi Malaikat, berkata-lemah lembut. Mendoakan pemilik domba agar selamat sejahtera di dunia dan akhirat, karena telah lulus ujian. Tidak lupa diri. Tetap bersyukur kepada segala limpahan karunia nimat Allah SWT dan pemurah kepada sesama manusia yang membutuhkna pertolongan. 

Walaupun kisah itu terjadi ribuan tahun lampau, tapi kandungan maknanya tetap aktual untuk direnungkan dan diterapkan pada era millenial sekarang. Untuk siapa saja, kepada siapa saja.      

Termasuk untuk elit bangsa dan negara, baik eksekutif, maupun legislalatif. Mereka bisa berada pada kedudukan sekarang, karena mendapat sokongan suara dari rakyat. Mendapat kepercayaan rakyat melalui pilpres, pileg, pilkada, dsb,

Dari tidak punya jabatan dan kedudukan, mendapat jabatan dan kedudukan. Mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas menggiurkan lainnya. Awal mulanya dari dukungan rakyat, yang mendapat perkenan Allah SWT. 

Maka selayakya jangan jadi “kacang lupa cangkang”. Jangan lupa kepada rakyat. Dan jangan  lupa kepada Allah SWT. Apalagi dalam pembukaan UUD 1945, alinea 3, tercantum pengakuan, kemerdekaan bangsa dan negara kita adalah “berkat rahmat Allah”. 

Tegasnya, harus mengutamakan kebaikan dan kebajikan, karena rahmat Allah dekat dengan orang-orang pembuat kebaikan dan kebajikan (Q.s.al A’raf : 56), demi keselamatan dan kemajuan bangsa dan negara.   

Janganlah “kacang lupa cangkang” jika tak ingin bernasib seperti pemilik unta dan sapi dalam kisah di atas. Jadilah orang yang jujur, ikhlas dan amanah seperti pemilik domba. [  ]

Back to top button