Solilokui

Kenangan Ramadan Zaman “Gorombolan”

Di koran “Indonesia Raya” (Jakarta) ada berita berbunyi : “tentara semakin lalai, gerombolan semakin ganas”. Berita itu diterjemahkan secara harfiah oleh Koran Sunda “Sipatahunan”(Bandung), menjadi “Tentara Beuki Lalay, Gorombolan Beuki Ganas”, yang artinya “Tentara Doyan Kelelawar, Gerombolan Doyan Nanas”.

Oleh :  Usep Romli H.M.

Bagi orang berusia minimal 70 tahun, dan pernah tinggal  di perdesaan Jawa Barat (terutama Garut, Tasik, Ciamis, Sumedang, Majalengka, Kabupaten Bandung), tentu mengalami zaman “genting”. Yaitu masa gawat gangguan keamanan bersenjata (1949-1962).

Kelompok “Darul Islam/Tetara Islam Indonesia” (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo, melakukan pemberontakan terhadap pemerintah RI pimpinan Presiden Sukarno. Terjadilan setiap saat pertempuran antara TNI dengan para pemberontak yang disebut “gorombolan” itu. Banyak menimbulkan korban jiwa dan harta, di kalangan rakyat kecil penduduk pedesaan.

Hingga timbul ungkapan sarkastis : “Nu gelut Pa Karno jeung Pa Karto, nu korban Mang Karna jeung Pa Karta. Yang berkelahi Pa Karno lawan Pak Karto, yang jadi korban Mang Karna dan  Kang Karta”. Ya ibarat gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.

Rakyat harus mengalami “PSBB”, bahkan “lockdown” otomatis. Tidak dapat bepergian bebas. Bukan takut oleh virus Covid 19 seperti sekarang, tapi takut ancaman “gorombolan” dan kecurigaan tentara.

Sawah, kebun, kolam, dibiarkan tak terawat. Sebab kalau ditanami, pada musim memetik hasil nanti tak mustahil timbul masalah. Padi, singkong, jagung, ikan, kemungkinan dirampas oleh “gorombolan”. Tapi tentara tak ingin tahu, apa dirampas atau diserahkan kepada “gorombolan”. Maka pemiliknya akan “ditawan”. Dibawa ke markas tentara untuk diperiksa. Mungkin bisa selamat pulang ke rumah. Mungkin “didor” begitu saja, berdasarkan hukum perang yang berlaku.

Karena itu penduduk memilih diam di rumah saja. Tanpa bekal pangan yang cukup. Sehinggaa banyak yang menderita kelaparan. Penyakit busung lapar (hongeroedeem) merebak. Pada waktu itu, popular kembali lagu kawih Bang Toge, bodor reog asal Garut tahun 1940-an, yang berbunyi :

Kacapiring sisi lamping, kuciat di palataran

Ari pamingpin garinding, rahayat mah kalaparan

(kacapiring pinggir lereng, kuciat di pelataran

Para pemimpin bermewah-mewah, rakyat terus kelaparan) 

Masa jaya “gerombolan” berlangsung tahun 1957-1959. Waktu itu, pada setiap pertempuran, tentara selalu kalah. Banyak yang jatuh jadi korban, dan banyak senjata terampas musuh. Hal ini diakui oleh pihak tentara, seperti termuat dalam buku “Siliwangi dari Masa ke Masa” (1970).

Muncul berita di koran “Indonesia Raya” (Jakarta), berbunyi : “tentara semakin lalai, gerombolan semakin ganas”. Berita itu diterjemahkan secara harfiah oleh Koran Sunda “Sipatahunan”(Bandung), menjadi “Tentara Beuki Lalay, Gorombolan Beuki Ganas”, yang artinya “Tentara Doyan Kaling, Gerombolan Doyan Nanas”. Tapi lumayan, kalimat “Tentara beuki lalay, gorombolan beuki ganas” menjadi humor dan bahan hiburan meriah, untuk sejenak melupakan kesusahan hidup.

Salat Jumat atau salat tarawih di masjid, dilakukan dua atau tiga rombongan. Serombongan salat, serombongan lain berjaga-jaga, kalau tiba-tiba ada serangan gorombolan. Benar-benar praktek salat “siddatul khauf” (salat dalam kondisi genting/perang).

Selain tentara, yang ikut berjuang melawan gorombolan adalah Organisasi Keamanan Desa (OKD). Sebuah organiasi warga sipil yang mendapat latihan dasar militer sekadarnya, serta  mendapat kepercayaan memegang senjata api laras panjang.

Sebelum menjadi OKD , dinamakan  Pemuda Desa (PD).Tahun 1957 diubah menjadi OKD. Taun 1961 diubah lagi menjadi  Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR). Setelah aman (1962), OPR menjelma menjadi Hansip/Hanra yang berada di bawah kordinasi Kepala Desa.

Setiap hari Sabtu pagi, pasukan OKD suka dilatih baris-berbaris di alun-alun depan kecamatan. Pakaiannya tidak seragam. Ada satu dua memakai baju hijau. Mungkin pemberian tentara. Tapi kebanyakan “kulir” saja.  Maklum, OKD tidak mendapat gaji resmi. Tidak mendapat pembagian beras atau pakaian seragam seperti tentara, walaupun mereka menjalankan tugas ketentaraan hampir sepenuhnya.

Rekrutmen juga asal saja. Siapa yang mau dan siap, jadilah OKD. Yang disebut gaji, mungkin 10-20 kg gabah setiap musim panen dari pemerintah desa, hasil pungutan dari warga masyarakat. Karena itu tidak mengherankan jika siang hari para anggota OKD bekerja serabutan untuk menafkahi keluarga, malam hari melaksanakan tugas “militer. Betul-betul ikhlas, “clik putih clak herang”, tanpa pamrih, mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara dalam skala kecil.  

Anak-anak sekolah sangat menyukai “parade” para  OKD. Sebelum latihan baris-berbaris, mereka apel dulu. Dipimpin seorang  komandan OKD yang mirip tentara tulen.  Baju seragam loreng, pada ikat pinggang kopelriem tergantung pistol “Buldog” besar. Sepatu lars. Pokoknya tegap we. Jauh sekali dari dandanan dan penampilan  anak buahya yang “warna-warni”.

Yang menjad inspektur upacara, biasanya Komandan Bintara Onderdistrik Militer (BODM, sekarang Koramil), berpangkat Sersan Mayor.

Komandan OKD segera maju. Menghadap Inspektur Upacara. Laporan dengan suara membahana persis tentara asli :

 “Lapor ! OKD dari mana mendi sudah hadir ! Laporan selesai…”

Mendengar ucapan “dari mana mendi”, tawa anak-anak sekolah yang berada di sekitar alun-alun, meledak.  Komandan BODM juga terbawa “geumpeur”. Ia menjawab laporan, dengan suara pelan agak gemetar :

 “Kalau begituh, heug atuh. Bubar sajah!”

OKD juga membantu rakyat membuat “bewak” (lubang persembunyian. Berasal dari kata “bivak”) di setiap RT. Cukup besar. Bisa menampung 40-an orang. Tempatnya agak tersembunyi di bawah rumpun-rumpun pohon. Jika ada serangan “gorombolan”, penduduk segera berlarian masuk ke dalam bewak. Terutama wanita dan anak-anak. Untuk menghindari peluru ngawur dan api, jika rumah dibakar.

Selama pertempuran berlangsung, penduduk yang bersembunyi dalam bewak aman terlindung.  Tapi ancaman lain, tetap ada. Seperti ular berbisa atau kalajengking. Terdapat berita duka, seorang wanita dan anaknya, dipatuk ulang belang. Tanpa pertolongan pertama. Sehinggga esok harinya, ketika hari siang dan keadaan aman, ibu dan anak itu sudah meninggal. Orang-orang saling berbisik : “Takdir tak pilih-pilih. Jika sudah tertulis dari sananya harus mati karena dipatuk ular, ya dipatuk ular. Tidak dipatuk peluru.”

Kondisi gawat darurat keamanan dan kelaparan itu berakhir tanggal 4 Juni 1962, setelah Kartosuwiryo tertangkap  di Gunung Rakutak, Majalaya, Kabupaten Bandung, oleh pasukan Siliwangi Batalion 328/Kujang II, pimpinan Letda Suhanda.

Tatar Sunda “baru” betul-betul merdeka sejak hari itu. [   ]   

Back to top button