Solilokui

Kisah Pelanggan Atas Tutupnya Warteg di Tegallega

Setahun lalu deretan toko persis di samping warteg itu terbakar ludes. Yang menakjubkan, warteg itu tidak terjilat api, meski waktu kejadian mereka pun panik menyelamatkan diri dan mengeluarkan barang-barang. Aku dengar betapa mereka bersyukur lolos dari kejadian mengerikan itu.

Oleh  :  Anwar Holid

JERNIH– Warteg langgananku di samping Lapangan Tegallega sudah sekitar dua bulan tutup. Waktu beberapa kali aku datangi sehabis kerja, warung ini tutup terus tanpa ada pengumuman di dindingnya.

Anwar Holid

Biasanya kalau mereka libur, selalu ada pengumuman kapan mereka akan buka lagi. Aku tanya juru parkir yang mangkal di situ, kenapa warung nasi ini tutup saja, mereka jawab, “Duka, A. Teu terang — Entah Mas, nggak tahu.”

Karena tutup lama, aku sangka mereka habis kontrak dan tidak memperpanjang, atau kena imbas pandemi Covid-19 — entah pelanggan jadi sangat turun, peraturan yang menyulitkan pedagang dan pembeli, atau amit-amit mereka terpapar penyakit mengerikan ini sampai berhenti beroperasi. Kadang-kadang aku sengaja lewat warteg itu sekadar buat ngecek apa mereka beneran tutup atau buka lagi.

Kadang-kadang pas makan di situ aku ngobrol dengan pemiliknya, sepasang suami-istri. Si istri perhatian sama rasa makanan dan nutrisi, sementara si suami suka mendengarkan khutbah di YouTube — meski mereka tetap mengumandangkan dangdut koplo agar suasana terus ceria. Mereka membolehkan aku bawa nasi, jadi aku cuma beli sayur dan lauk. Aku juga sering makan tanpa nasi — kebiasaan yang suka dianggap aneh oleh pelayannya, namun tidak oleh si istri.

Setahun lalu deretan toko persis di samping warteg itu terbakar ludes. Yang menakjubkan, warteg itu tidak terjilat api, meski waktu kejadian mereka pun panik menyelamatkan diri dan mengeluarkan barang-barang. Aku dengar betapa mereka bersyukur lolos dari kejadian mengerikan itu.

Pas tadi pagi lewat sana, aku lihat warteg itu ternyata buka. Langsung saja aku mampir. Awalnya aku mau cari keringat mengitari lapangan Tegallega. Tapi pas masuk tak ada wajah yang aku kenal. Apa mereka aplusan? (Mereka tak pernah melakukannya selama ini.) Aku tanya mbak yang melayaniku.

“Mbak mengganti yang lama?”

“Iya.”

“Memang, Mas dan Mbaknya ke mana?”

“Kecelakaan, Mas. Masnya patah kaki, pinggangnya hancur.”

Haduh… lemas aku mendengarnya.

“Kecelakaan apa?”tanyaku prihatin. Aku duga tabrakan dan semacamnya.

“Masnya kan bantu pasang lampu di rumah mertua. Nggak tahu gimana, dia jatuh…” “Aduh…. tertimpa tangga juga?”

Nggak tahu kalau itu.”

“Mbak saudaranya?”

“Iya, Mas. Keponakannya orang tua Si Mbak.”

“Sekarang gimana kondisi masnya?”

“Masih belum bisa jalan. Berdiri saja harus dibantu. Dirawat istrinya.”

“Sekarang di Tegal?”

“Iya, Mas…. tadinya dari sini sempat diobati ke rumah sakit di Solo, terus dibawa pulang ke kampung.”

Aku ngeri membayangkan kecelakaan itu. Musibah dan takdir, siapa yang tahu? Dulu mereka lolos dari bencana, sekarang harus menerima kenyataan gawat. Aku sarapan di situ tetap tanpa beli nasi. Kepala jadi rada berat dengar musibah itu. Aku lihat stiker paguyuban persatuan pengusaha warteg Bandung. Semboyannya dalam bahasa Jawa: sedulur selawase, saudara selamanya.

Semoga mereka kompak membantu rekan mereka yang lagi tertimpa musibah. Apa takdir dan peristiwa itu semacam koin yang salah satu sisinya bisa terlempar begitu saja, meski kita begitu hati-hati melakukannya? Aku kecelakaan sepeda, gaji dikurangi atau telat dibayar, orang di-PHK, honor dipotong, kerja keras tak dibayar, dipalak preman, dibohongi calon investor, ditipu orang yang bilang mau menyumbang, atau dirampok dengan kekerasan.

Entah dari mana terlintas selarik lagu Ebiet G. Ade: anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya // kita mesti tabah menjalani // hanya cambuk kecil agar kita sadar // adalah Dia di atas segalanya…

“Apa Mbak sering kontak sama mas dan mbaknya?” tanyaku sambil bayar.

“Kadang-kadang saja,Mas.”

“Semoga masnya cepat pulih dan sehat.”

“Iya Mas. Makasih. Nanti kalau aku kasih tahu ke mereka, dari siapa ya?”

“Bilang saja dari pelanggan yang bawa nasi sendiri,” jawabku.

Dia tertawa.  [  ]

*Anwar Holid, kerja sebagai editor dan penulis. Tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button