Solilokui

Kurang Spontan Berbuat Baik

Kenapa pria itu tak dipertemukan dengan pengusaha sukses, gubernur, atau pemimpin partai? Toh kejadian itu bisa dimaksimalkan untuk pencitraan.  Kenapa laki-laki ini tak ketemu dengan para pemimpin negara yang tengah berunding membicarakan masa depan dunia dan persoalan besar seperti krisis ekonomi dunia, ancaman terorisme dan pandemi global?

Oleh  : Anwar Holid

Suatu hari di pinggir jalan aku ditawari seorang laki-laki berwajah bingung dan memelas untuk membeli sekantung keresek beras. Dia bilang istrinya mau melahirkan. Dia tak punya cara lain mencari uang buat biaya persalinan, makanya menawari siapa saja.

Aku minta maaf menolak tawarannya. Laki-laki itu berusaha terus meyakinkan dan membujuk, tapi aku tetap menolak. Raut wajahnya tampak makin sedih. Aku lihat kilatan matanya makin berair mengalir ke sudut, menggumpal mau jatuh jadi tangis. Sambil melengos dia bilang,”Maaf ya… ini memang salah saya.”

Aku langsung nelangsa dengar itu dan memegang pundaknya sambil berkata,”Bukan, itu bukan salah Akang. Saya hanya nggak niat beli beras. Semoga nanti ada orang lain yang mau beli beras Akang. Maaf ya.” Dia mengangguk dan kami berpisah.

Aku percaya dia jujur atas kondisinya. Dia tak punya cara lain berusaha, sehingga berharap keberuntungan di pinggir jalan. Sementara aku tidak spontan membantu orang lain dan merasa kurang lapang. Aku pernah dalam situasi sulit serupa dan tahu persis betapa mencari bantuan memang bisa sangat sulit. Sekarang saja aku tengah butuh biaya untuk renovasi rumah, ingin beli kamera, beli sepeda balap, kadang-kadang dituntut membiayai bermacam keinginan, tapi masih terlalu lembam agar lebih giat mendulang rezeki. Aku merasa bahwa keperluan itu masih bisa ditunda.

Kejadian itu membuatku membatin: kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan pria itu? Kenapa aku tak langsung menolongnya dan terlalu keukeuh dengan rencana sendiri? Apa kalau aku beli berasnya hidupku bisa berantakan atau malah ditertawakan karena gampang ditipu orang pinggir jalan?

Jujur aku tidak kuatir oleh komentar orang lain. Cuma aku penasaran. Kenapa aku ditakdirkan menyaksikan detil kehidupan seseorang yang tengah kesulitan? Mungkin itu tanda sebenarnya aku bisa menolongnya sesuai kemampuan. Karena kemampuanku kecil, yang dihadapkan kepadaku juga detil kehidupan simpel. Kenapa pria itu tak dipertemukan dengan pengusaha sukses, gubernur, atau pemimpin partai? Toh kejadian itu bisa dimaksimalkan untuk pencitraan.

Kenapa laki-laki ini tak ketemu dengan para pemimpin negara yang tengah berunding membicarakan masa depan dunia dan persoalan besar seperti krisis ekonomi dunia, ancaman terorisme dan pandemi global? Apa kebutuhannya terlalu sepele, maka terjadi di sudut bumi di luar jangkauan radar kekuatan besar. Bukankah ‘persoalan kecil’ seperti kebutuhan pribadi juga tak terungkap di acara demikian? Apa mungkin di pertemuan ‘penting’ tingkat internasional seorang kepala pemerintahan minta tolong dirinya butuh biaya persalinan istri, ongkos sunatan, atau biaya nikah anaknya?

Orang akan bilang itu irelevan dan di luar konteks. Atau gila. Lantas kenapa sejarah suka mencatat para pemimpin ‘besar’ dengan peristiwa trivia agar dicap humanis? Apa artinya kejadian kecil itu sama bobotnya dengan peristiwa besar yang dinilai mempengaruhi sejarah?

Ah, mungkin aku terlalu repot mencari-cari alasan atas kemalasan untuk segera menolong — meski kejadiannya di luar rencana dan irelevan. Jujur saja aku suka menyesal tiap kali tak bisa menolong karena merasa sempit, padahal kalau mau bersikap lapang mestinya masih bisa menyisihkan kemampuan atau rezeki walau sedikit.

Sementara pada saat merasa mampu, kesempatan itu sudah lewat. Kita kurang spontan berbuat baik. Kita kehilangan momen. Padahal kesempatan itu cuma sekelebat. Waktunya sempit sekali dan mungkin tak terulang lagi. Seperti tendangan penalti. Dalam hitungan detik ia harus segera dieksekusi.

Gol!… atau meleset.[  ]

Anwar Holid, editor dan penulis, tinggal di Bandung. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid

Back to top button