Solilokui

Lagu Arab di Israel: Orangnya Dibenci, Lagunya Digemari

Di tiap pos “chek point” yang dijaga rapat tentara Israel berseragam tempur, bersenjata otomatis, tak usah heran mendengar gema suara serak-serak basah Lutfi Butsanah, diiringi petikan gambus Ahmad Fatihi, menyenandungkan lagu “Laila Intal Ghalla” atau “Intasyaina”

Oleh   :   Usep Romli H.M.

Perang boleh berkecamuk. Pertentangan ideologi boleh berlarut-larut. Tapi kesukaan, dan juga bisnis, mustahil terganggu. Contoh  nyata, terjadi di Israel yang sudah 72 tahun berseteru dengan Palestina dan negara-negara Arab lain.

Di balik itu,  musik Arab  ternyata sangat digemari di Israel. Bahkan  musik Arab merupakan ladang bisnis menguntungkan bagi para produser rekaman dan para manajer pertunjukan musik  di kota-kota negara Yahudi tersebut.

Usep Romli HM

Lagi pula, tidak semua orang Yahudi anti kepada orang Arab. Juga tidak semua orang Yahudi pro kepada Israel. Paling tidak, sebagaimana dikatakan Rabbi Yisroil Dovid Weiss, juru bicara Naturei Karta Internasional – sebuah organisasi Yahudi di  Amerika Serikat yang sangat gigih menentang Zionisme dan negara Israel (pernah berkunjung ke Jakarta tahun 2008). Dovid Weiss menyatakan, yang   membuat kacau kehidupan damai di Palestina adalah kaum Zionis yang mendirikan negara Israel. Kedamaian di Palestina yang dibangun oleh komunitas Muslim, Nasrani yang mayoritas Arab, dan umat Yahudi, akan terwujud apabila negara Zionis Israel dilucuti (Madina, The Trully Islamic Magazine , edisi 6 Th.1, Juni 2008, hal.49).

Suasana yang digambarkan Rabbi Yisroil Dovid Weiss, terlukiskan jelas dalam kehidupan permusikan di Israel dan kawasan Palestina yang diduduki Israel saat ini. Lagu-lagu Arab yang didendangkan para penyanyi Arab, mendapat tempat di hati orang-orang Israel. Mulai dari lagu-lagu Arab  klasik, berbentuk qasidah tradisional, diiringi tabuhan musik asli khas padang pasir (gambus), hingga lagu-lagu Arab pop bercorak hard-rock, terdengar bergema sepanjang waktu di kota-kota Tel Aviv, Haifa, Tiberias, Nazaret, dan kota-kota lain yang sejak Israel diproklamasikan 14 Mei 1948, telah masuk wilayah geografis Israel.

Apalagi di kota-kota Palestina, yang merupakan kawasan pendudukan Israel dan pemukiman Yahudi, baik di Tepi Barat, maupun di perbatasan Jalur Gaza, seperti Askelon dan Asdod. Dapat dikatakan sangat lumrah. Hal ini diakui oleh Aaron Hasalet, 27 tahun, pengamat musik amatir di Haifa.

Lagu-lagu Arab terbaru, yang laris di Israel, di antaranya “Ummul Habibah” yang dilantunkan Hisam Abbas, “Asqaly” (Saha Nabih),  “Aishen” (Mustafa Amar), “Alfu Laila wa Laila” (Asala), dll.

Para artis Yahudi pun banyak yang merobah gaya dan irama nyanyian mereka, dengan mendekatkannya kepada “cengkok” Arab. Sehingga mendapat dua keuntungan sekaligus. Digemari kalangan Yahudi peminat musik, dan disukai orang Arab. Salah seorang artis top Israel bergaya Arab adalah  Zavana, yang bersama artis-artis top lainnya, seperti Avi Golan, Zahour Aaron, menyatakan, tidak sulit mengadaptasi lagu-lagu Arab. Mengingat bahasa Ibrani yang mereka gunakan sebagai “bahasa ibu”, masih seakar dengan bahasa Arab. Sama-sama bersumber dari bahasa Semitik. Cuma terdapat perbedaan kecil dalam istilah dan dialek, yang mudah diatasi.

Sedangkan lagu-lagu Arab yang “abadi” di kalangan masyarakat Israel, antara lain “Jamil Jamal Maush Mitsal” (Cantik Rupawan Tiada Tara), yang pada tahun 1970-an sangat populer di seluruh Timur Tengah, dinyanyikan oleh biduan top Mesir, Farid Atrash, seorang “diva” musik Arab setelah Ummi Kultsum.

Kegemaran terhadap musik dan lagu Arab di kalangan orang Israel, merupakan warisan budaya turun temurun dari para leluhur Yahudi yang pernah bermukim di wilayah-wlayah Arab, seperti Madinah, Irak, Yaman, Maroko, dlsb. Mereka datang ke sana sejak zaman diaspora, setelah Jerusalem dihancurkan oleh Titus Romawi th.70 Masehi, dan sebagian datang ke Israel setelah negara Yahudi Zionis itu berdiri. Kebiasaan berinteraksi dengan budaya setempat (Arab) ternyata dipelihara sehingga menjadi tradisi. Salah satu di  antaranya mengonsumsi lagu-lagu Arab.

Bahkan kemudian dikembangkan menjadi mata usaha menguntungkan bagi Israel. Produksi lagu-lagu Arab dalam bentuk kaset, VCD, DVD, dan media lain, berada dalam jaringan bisnis Yahudi. Konsumennya meliputi seluruh Israel dan dunia Arab. Orang-orang Arab yang ingin merasakan keindahan lirik dan irama qasidah tahun 1930-an, berdatangan ke Tel Avis, Haifa, dan kota –kota Israel lain. Sebab rekaman lagu-lagu Arab lama, jarang didistribusikan ke luar Israel. Sengaja, agar orang-orang Arab datang dan secara langsung menghidupkan wisata Israel.

Bagi orang-orang Arab yang relatif kaya raya, tak sungkan mengeluarkan dolar sekedar untuk memanjakan telinga dan perasaan meresapkan suara emas para biduan Arab tempo dulu, seperti Nazim Ghazali, Saleh al Kuwaiti, Basharia Ghali, Husein Sabi, Abdul Halim Hafidz, dll. yang pernah termashur di seluruh Timur Tengah, Teluk Persia dan Anatolia (Turki).

Para komposer Israel pun, sangat kreatif menciptakan lagu-lagu berlirik Ibrani dengan langgam musik Arab. Atau mengadopsi lagu-lagu Arab terkenal menggunakan lirik Ibrani. Salah satu di antaranya, yang terkenal sejak awal 2000-an, adalah “Ahafty, Ahafty” (Kekasihku, Kekasihku), adaptasi dari lagu Arab Libanon “Maryam, ya Maryamty”.

Alla kulli hal, jika sewaktu-waktu berkendara dari Tel Aviv ke Jerusalem, di tiap pos “chek point” yang dijaga rapat tentara Israel berseragam tempur, bersenjata otomatis, tak usah heran mendengar gema suara serak-serak basah Lutfi Butsanah, diiringi petikan gambus Ahmad Fatihi, menyenandungkan lagu “Laila Intal Ghalla” atau “Intasyaina” yang liriknya ditulis Syekh Mohammad bin Rosyad al Maktum.

Perang adalah perang, dan musik adalah musik, “Anta tadhab ila halika, wa ana adhab ila haliyy” (Kamu menempuh jalanmu, dan aku menempuh jalanku), kata pepatah Arab.   Dan itulah yang terjadi. Perang , bisnis, dan hobby ternyata punya jalan sendiri-sendiri. [ ]

Back to top button