Solilokui

Mengenang Adinegoro

Kembali kepada kredibilitas insan pers Indonesia, saya meyakini bahwa di samping profesionalisme dan kompetensi, akan sangat terhormat manakala seluruh insan pers nasional memegang teguh kode kehormatan yang erat digenggam Adinegoro hingga berpulang. Tak lain dan tak bukan kecuali kejujuran.

Oleh  : Atal S. Depari

JERNIH– Saya ingin mengawali pembicaraan kita dengan mengutip pernyataan seorang sejarawan dan filosof Inggris, Thomas Carlyle. Beliau bilang,”Sejarah dunia, sejatinya hanyalah rangkaian biografi orang-orang hebat.”

Atal S. Depari

Dalam interpretasi saya, dengan kata lain bisa dikatakan bahwa hanya orang-orang hebat pula yang mampu menggoreskan nama, serta memahatkan kiprah dan pengabdiannya untuk kemanusiaan itu pada sejarah. 

Tokoh yang akan kita perbincangkan nanti, dengan sederet pembicara terkemuka, jelas adalah orang besar. Jamaluddin Adinegoro dikenal terpuji bukan hanya di kalangan kita, para jurnalis. Beliau termasyhur di masyarakat tidak hanya karena popularitas akibat tulisan-tulisannya yang mendobrak era dan melampaui zaman. Meminjam istilah matematika, menurut saya seseorang hanya mungkin menjadi orang besar, jika dan hanya jika, ia mengabdikan diri dan membaktikan hidupnya kepada masyarakat dan kemanusiaan.

Itulah yang dilakukan ‘Allah Yarham’ Adinegoro. Bukan hanya karena ia merupakan orang pertama Indonesia yang menempuh kuliah jurnalistik di Jerman pada tahun ketika dunia mulai dilanda malaise, tahun  1926.

Karya tulisnya yang merupakan catatan bersambung, ”Melawat ke Barat”, tidak hanya sekadar kisah perjalanan wartawan Indonesia ke luar negeri. Bukan hanya rangkaian cerita traveling yang saat ini dilakukan mulai dari para gadis ABG hingga ibu-ibu setengah baya via media social. Namun semua lebih karena kisah-kisah yang ditulis Adinegoro itu telah membantu membuka mata orang-orang Indonesia tentang banyak sisi kemanusiaan di negeri orang. Perspektifnya yang ‘memberi’ dan ‘menyadarkan’ itulah yang membuatnya tak hanya membuat publik pembacanya terkesan, namun lebih jauh menggugah untuk juga memberikan ‘sesuatu’—apa pun itu—demi kemajuan masyarakat dan kesempurnaan kemanusiaan kita.

Karena itulah, saya selalu dan akan selalu mendukung pelaksanaan pemberian Anugerah Adinegoro ini. Anugerah Adinegoro ini sangat perlu untuk memacu dan–pada generasi wartawan yang lebih muda–memicu terus upaya mengejar kesempurnaan kompetensi. Sebab kompetensilah pada akhirnya yang membedakan ‘maqam’ atau dalam bahasa yang lebih vulgar, kasta seorang wartawan.

Kita perlu terus mendengung-dengungkan pernyataan legenda pers nasional lainnya, Rosihan Anwar, yang menegaskan dengan yakin bahwa “Kapan pun zamannya, wartawan dituntut harus kompeten. Yakni berwawasan keilmuan, profesional, dan beretika. Jika tidak, maka matilah jurnalisme ini.”

Kompetensi wartawan ini kian penting di masa post-truth seperti saat ini, manakala jurnalisme yang kita tegakkan seolah harus berhadapan dengan citizen journalism atau jurnalisme warga, serta media social, yang harus diakui, keduanya kurang taat asas. Sementara, dengan kondisi  civil society kita yang belum dewasa, di kehidupan sehari-hari publik masih kurang bisa menempatkan pers dan media social sesuai proporsinya yang tepat.

Saya yakin, hanya profesionalisme dan kompetensi insan pers itulah, maka cita-cita agung pers nasional untuk turut memberikan andil besar pada demokrasi Indonesia pun insya Allah akan tercapai. Sebab sebaliknya sebagaimana dinyatakan Victor Pickard dalam “Democracy Without Journalism?”,“Tanpa sistem media berita yang layak, demokrasi akan direduksi menjadi cita-cita yang tidak mungkin tercapai.”

Hal lain, berkaitan dengan potensi Anugerah Adinegoro. Saya yakin, paling tidak dengan besarnya jumlah wartawan Indonesia, seharusnya Anugerah Adinegoro pun pada saatnya bisa sebesar Penghargaan Pulitzer. Asal tahu saja, hingga saat ini anggota PWI saja—belum AJI, IJTV dan sebagainya—telah mencapai 16 ribu orang.

Sungguh potensi besar yang seharusnya aktual menjadi pengabdian besar terhadap kemanusiaan. Pemenang Pulitzer akan dihargai sepanjang hayat, bahkan terus disebut sebagai pemenang penghargaan itu manakala mendapatkan pemberitaan setelah mendiang. Mungkin, salah satu hal untuk membuat penghargaan Adinegoro ini menjadi kian terhormat, adalah dengan terus menuliskan bahwa seseorang yang kita tulis atau sebuah tulisan, ditulis seorang pemenang Adinegoro, sebagaimana lazim dilakukan di Amerika Serikat.

Untuk itu bukan tidak mungkin bila pada saatnya, agar kompetisi menjadi lebih besar, luas dan terbuka, kita pun  membuka ruang untuk partisipasi publik yang lebih luas. Misalnya, dengan menerima tulisan non-wartawan untuk ikut berkompetisi dalam anugerah ini.

Kembali kepada kredibilitas insan pers Indonesia, saya meyakini bahwa di samping profesionalisme dan kompetensi, akan sangat terhormat manakala seluruh insan pers nasional memegang teguh kode kehormatan yang erat digenggam Adinegoro hingga berpulang. Tak lain dan tak bukan kecuali kejujuran.

“Hanya ada satu mata uang yang berlaku di mana-mana. Bukan Gulden Negeri Belanda, bukan Deutche Mark Jerman, bukan Poundsterling Inggris, dan bukan pula Dolar Amerika. Mata uang itu bernama kejujuran,”tulis Adinegoro dalam sebuah karya tulisnya.

Selamat ber-webinar untuk mengambil ibrah dan keteladan dari legenda pers Indonesia, Adinegoro! Selamat mengejar kompetensi yang lebih baik lagi! [ ]

*Disampaikan pada webinar “Semangat dan Harapan Adinegoro, Kebanggaan Jurnalistik Indonesia”, Selasa 19 Oktober 2021

*Ketua Umum PWI Pusat

Back to top button