Solilokui

Mengenang Situs “Kabuyutan” Gunung Sanghiang

Posisi situs dan alam sekitarnya mengandung unsur  “tritangtu di buana”. Tiga pegangan hidup dunia. Mencakup “tekad” (niat), “ucap” (gagasan, rencana) dan “lampah” (pelaksanaan). 

Oleh   : Usep Romli H.M.

Banyak situs sejarah bernilai arkeologi tinggi tersebar di Tatar Jabar. Sebagian sudah terbuka dan terkenal di kalangan khalayak. Seperti Gunung  Padang (Cianjur), Karangkamulyan, Kawali, Panjalu (Ciamis,) Batutulis (Bogor), Dayeuhluhur (Sumedang) dan lain-lain.

Sebagian lagi masih tertutup. Belum dapat diungkap asal-usul dan keberadaannya. Ini akibat kendala “pacaduan” (tabu) yang dipegang teguh masyarakat adat setempat. Atau kendala geografis, karena terletak di lokasi terpencil. Sehingga sulit dijangkau.

Contohnya, situs “kabuyutan” Gunung Sanghiang, di Kampung Cileunca, Desa Ciwangi, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut. Situs berbentuk batu cadas, setinggi kl.25 meter, panjang 10 meter, berada di puncak Gunung  Sanghiang (kl.500 meter di atas permukaan laut). Penduduk Kp.Cileunca dan sekitarnya, hanya menganggap situs tersebut  sebagai “makam karamat”. Siapa yang dimakamkan di situ, serta kapan kira-kira waktunya, tidak ada yang tahu.

Prof.Drs. Jakob Sumardjo, dosen pascasarjana ilmu sejarah, kebudayaan, seni dan filsafat di beberapa perguruan tinggi Bandung (STSI, UPI, Unpas, dan ITB), yang pernah  berkunjung ke lokasi situs, menjelaskan, kemungkinan besar, situs “kabuyutan” Gunung Sanghiang, merupakan peninggalan masyarakat Sunda pra-Hindu. 

Posisi situs dan alam sekitarnya, dapat  dibandingkan dengan situs-situs lain yang sudah diteliti. Yaitu mengandung unsur  “tritangtu di buana”. Tiga pegangan hidup dunia. Mencakup “tekad” (niat), “ucap” (gagasan, rencana) dan “lampah” (pelaksanaan).  Ketiga unsur tersebut, terpadu dalam konsep hidup sehari-hari “nyaah ka sarakan, ngariksa alam, kahadean ka sasama” (cinta tanah air, memelihara alam, dan kebaikan kepada sesama).

Situs  “kabuyutan” Gunung Sanghiang, sebagai bagian dari “tritangtu”,  berperan sebagai “pancer” (tiang pancang), didukung oleh aliran beberapa sungai yang menyatu dalam sungai besar, untuk menuju muara  . Juga didukung oleh  situs-situs lain di sekelilingnya, yang akan melahirkan sebuah “pakumbuhan” (kehidupan sosial).

Memang di kaki Gunung Sanghiang,mengalir sebuah anak sungai berair jernih berasal dari mata air “cikahuripan”. Anak sungai ini, bergabung dengan anak-anak sungai lain, membentuk aliran S.Cianten, yang bermuara di S.Cipancar. Sungai  Cipancar  kelak bermuara ke S.Cimanuk, yang bermuara di laut Jawa , kasawan Kab.Indramayu.

Pendapat Jakob yang dikemukakan dalam kesan-kesan singkat setelah turun dari situs “kabuyutan” Gunung Sanghiang, dikuatkan oleh Ani Suhartini, alumnus S2 Pendidikan Seni Rupa  UPI Bandung. Menurut Ani, ,  di kampung-kampung sekitar Cileunca, terdapat situs-situs lain. Di antaranya makam Sunan Rumenggong di Kp.Poronggol, yang ukurannya lebih besar  dan lebih panjang daripada makam-makam biasa.

“Sunan Rumenggong dipercaya sebagai leluhur para “dalem” Limbangan, yang menjadi cikal bakal Kabupaten Garut sekarang,”kata Ani, yang sehari-hari menjadi PNS Guru SD SMPN 2 Limbangan, tidak jauh dari Cileunca.

Baik Jakob, maupun Ani, berharap, kelak situs “kabuyutan” Gunung Sanghiang, dapat diteliti lebih cermat. Sehingga dapat menambah koleksi data sejarah dan kebudayaan lokal Tatar Sunda masa silam. Walaupun medan menuju lokasi sangat berat. Dari kota kecamatan Balubur Limbangan, perjalanan menggunakan minibus sampai Kp,Cianten. Dari sana, hingga Kp.Cileunca kl.6 km, harus menggunakan kendaran  gardan ganda (4×4) karena jalan    menanjak, penuh batu bercampur lumpur  tanah liat. Dari Cileunca ke lokasi situs, menempuh jalan setapak,menurun dan  mendaki sangat curam.

 “Tapi sesulit apa pun, pihak-pihak yang berkepentingan, terutama pemerintah Kab.Garut, tentu akan sanggup mengatasi. Mengingat nilai situs yang masih tertutup dan terasing itu, menyimpan data dan fakta kekayaan sejarah masa silam yang punya relevansi kuat dengan sejarah Tatar Sunda masa kini,”kata Jakob dan Ani.  [  ]

Back to top button