Solilokui

Menikmati Opak Cipeujeuh, “Katuangan” Kangjeng Dalem Limbangan

Berdasarkan “folklore” (ceritera rakyat) yang dicatat Tim Pengumpul Folklor  Tahun Buku Internasional 1972 Unesco, opak Cipeujeuh” semula  merupakan makanan khusus untuk  “seba” (persembahan) kepada Kangjeng Dalem Limbangan,  Wangsadita I (1726-1740).

Oleh   : Usep Romli H.M.

“Opak” sejenis penganan tradisional masyarakat Sunda. Terbuat dari tepung beras ketan. Setelah melalui beberapa proses pengolahan, hingga menjadi “opak” mentah, proses paling ahir adalah menjadikan “opak” itu masak, siap saji, siap dimakan, dengan cara di”sangray”. Dimasukkan ke dalam kuali besar yang telah diisi pasir lembut dan dipanaskan di atas tungku kayu bakar.

Hampir di setiap daerah di Jawa Barat, terdapat sentra pembuatan dan perdagangan “opak”. Ada yang terkenal dan diproduksi besar-besaran, ada yang kecil-kecilan, bersifat lokal, bahkan hanya sebatas lingkungan dan keperluan tertentu saja.

Seperti “opak Cipeujeuh”. Yaitu “opak” buatan Kampung Cipeujeuh, Desa Ciwangi, Kecamatan Balubur Limbangan, Kabupaten Garut. Walaupun sudah muncul sejak abad 18, menyandang popularitas lumayan, namun “opak Cipeujeuh” tidak dipro-duksi secara massal. Hanya sebatas “industri” rumah tangga yang bersifat se-waktu-waktu pula. Padahal banyak konsumen merasa ketagihan oleh kegurihan “opak Cipeujeuh” yang ekslusif itu.  

Para peziarah yang berkunjung ke makam Sunan Rumenggong, di Kampung Poronggol, Desa Ciwangi, pasti mencari “opak Cipeujeuh” untuk oleh-oleh. Tapi caranya harus memesan dulu kepada beberapa orang pembuat “opak Cipeujeuh” yang seolah-olah “pasif” mencari pelanggan.

“Kalau ada yang pesan, baru kami layani,”kata Bu Papat (35 th), salah seorang anggota keluarga pembuat “opak Cipeujeuh”. 

Berdasarkan “folklore” (ceritera rakyat) yang dicatat Tim Pengumpul Folklor  Tahun Buku Internasional 1972 Unesco, “opak Cipeujeuh” semula  merupakan makanan khusus untuk  “seba” (persembahan) kepada Kangjeng Dalem Limbangan,  Wangsadita I (1726-1740). Ia merasa “kalandep” (tergugah selera) oleh “Opak Cipeujeuh” yang gurih renyah. Sehingga ia berpesan, agar opak tersebut terus dibuat dan mutu citarasanya dipertahankan.

Karena itu, opak Cipeujeuh mampu bertahan hingga sekarang. Menjadi salah satu cendera mata khas para pengunjung  wisata ziarah di kawasan utara Garut itu. Pesan Kangjeng Dalem dianggap sebagai “berkah”, sehingga “opak Cipeujeuh” mampu bertahan lintas abad. 

“Tentu dengan risiko sampingannya, seperti mempertahankan tanaman padi ketan, menjaga kelestarian pohon kelapa dan pohon enau. Sebab untuk membuat “opak Cipeujeuh” diperlukan bahan baku ketan, santan kelapa, dan gula kawung asli untuk “opak” yang rasanya manis. Kalau semua itu sudah tidak ada, “opak Cipeujeuh” juga sekarang tak akan ada,“kata Bu Papat, salah seorang keluarga turun-temurun, pembuat “opak Cipeujeuh” .

Mempertahankan kelestarian tanaman padi ketan, pohon kelapa dan pohon enau, itulah yang selalu menjadi problem utama dalam menjaga keberadaaan “opak Cipeujeuh”. Bibit padi ketan sudah sangat langka. Kalah oleh bibit padi buatan pabrik yang tak dapat dikembangkan secara trasisional. Demikian pula pohon kelapa dan pohon enau. Sulit regenerasi, akibat berbagai hal.

Untunglah, “opak Cipeujeuh” berkah  “wasiat” Dalem, masih mampu bertahan di tengah segala kesulitan tersebut. [  ]

Back to top button