SolilokuiVeritas

Moral Kepemimpinan

Banyak orang berkuasa bermental jelata: dahulukan apa yang dapat diambil dari negara daripada pelayanan terbaik bagi bangsanya. Menempuh jalan pintas pencitraan daripada menyelesaikan persoalan; mempertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan.

Oleh  : Yudi Latif

JERNIH– Mendekati satu abad Indonesia merdeka, masihkah radar hati bangsa ini dapat menangkap pancaran kearifan kepemimpinan pendiri bangsa?

Yudi Latif

Agus Salim kerap mengingatkan, “Memimpin adalah menderita” (Leiden is lijden). Seperti air Jernih yang mengalir dari hulu sungai ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya. Dari atas tandu ia berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara kearifan itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini,”Memimpin adalah menikmati”. Demokrasi Indonesia seperti baju dipakai terbalik: dahulukan kepentingan lapis tipis oligarki daripada rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa bermental jelata: dahulukan apa yang dapat diambil dari negara daripada pelayanan terbaik bagi bangsanya. Menempuh jalan pintas pencitraan daripada menyelesaikan persoalan; mempertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan.

Seperti suasana kehidupan pasca-perang Jawa, kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa pimpinan. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Saat Sarekat Islam muncul dengan  pembelaannya pada kaum tani dan buruh, pemimpin utamanya, seperti Tjokroaminoto, sontak disambut sebagai ratu adil.

Sekarang, dari manakah sumber kepemimpinan itu bisa diharapkan? Partai politik arus utama bukanlah solusi melainkan sumber masalah. Kepentingan oligarki nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana efektif untuk mengekspresikan diri. Ketika politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari suasana kebatinan rakyat. Partai wong cilik pun tinggal slogan kosong.

Elit politik lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Begawan ekonomi Jeffrey Sachs mengingatkan, masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tak memadai apabila orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas kasih.

Setiap bangsa yang ingin mencapai kemajuan harus siap membayar ongkos peradaban: tanggung jawab kepemimpinan, solidaritas, cinta kasih, dan keadilan bagi sesama dan bagi generasi mendatang. [ ]

Back to top button