Solilokui

Ngantor Bebas dan Bebas Ngantor

Melihat peluang ini, lalu berlombalah perusahaan IT menciptakan teknologi dan tata kelola yang lazim disebut platform kolaborasi. Jika otomasi mencakup hal-hal yang berurusan dengan alat produksi, maka kolaborasi berkaitan dengan cara mengelola sumber daya manusia.

Oleh  :  Agus Kurniawan

JERNIH– Awal Maret 2020, tanpa ba-bi-bu Jack Dorsey, CEO Twitter, mengumumkan ke khalayak bahwa karyawannya boleh bekerja dari rumah — bebas ngantor –secara penuh dan selamanya. Disusul perusahaannya yang lain, Square, menerapkan hal yang sama. Pandemi covid-19 tentu saja menjadi momentum terealisasinya itu.

Jauh sebelumnya, kira-kira satu setengah dekade terakhir, Generasi X dan Generasi Xennial — orang yang lahir antara tahun 1965-1985 — menginisiasi apa yang disebut “ngantor bebas“. Mereka tetap pergi ke kantor untuk bekerja, tetapi waktunya tidak mesti bersamaan dengan karyawan yang lain. Mereka bebas menentukan jam kerja di kantor berdasarkan worksheet, sesuai semboyan mereka yang ngetop, “Kerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.”

Agus Kurniawan

Memang, “ngantor bebas” baru dilakukan pada sektor kreatif dan industri digital. Belum masif. Melihat peluang ini, lalu berlombalah perusahaan IT menciptakan teknologi dan tata kelola yang lazim disebut platform kolaborasi. Jika otomasi mencakup hal-hal yang berurusan dengan alat produksi, maka kolaborasi berkaitan dengan cara mengelola sumber daya manusia.

Seorang teman eselon dua suatu kementerian bercerita bahwa setahun dua tahun terakhir kantornya sudah biasa menerapkan “ngantor bebas“. Ini konsekuensi dari seringnya para pimpinan harus bekerja dinas ke luar kota sehingga sulit untuk selalu bekerja barengan di satu kantor. Sekalipun mereka belum menggunakan teknologi kekinian (misalnya rapat virtual  atau platform kolaborasi), tetapi rupanya pola ini cukup berhasil.

Pandemi covid mendorong perubahan tata kelola kerja. Bukan hanya ke arah “ngantor bebas“, tetapi lebih jauh lagi menuju “bebas ngantor“, sebagaimana telah dilakukan oleh Twitter dan Square. Pun pelakunya bukan hanya sektor kreatif dan digital, tetapi lebih luas lagi hampir seluruh sektor, termasuk manufaktur.

Pandemi mendorong para CEO dan pucuk pimpinan organisasi untuk merumuskan kembali cara mereka bekerja. Isu utamanya menyangkut tata kelola dan SDM. Tetapi enabler-nya tentu saja adalah ketersediaan teknologi digital sebagai pendukung utamanya.

Umumnya manfaat yang ingin diraih dalam penerapan “ngantor bebas” maupun “bebas ngantor” diantaranya:

1) Efisiensi. Tata kelola kerja yang baru ini diharapkan dapat menekan biaya operasional/overhead cost, yang makin ke sini makin besar (sewa kantor, akomodasi, dll).

2) Efektivitas. Seperti halnya spirit internet “any time anywhere“, kolaborasi virtual juga diharapkan bisa mendorong pola kerja dan pengambilan keputusan yang bersifat “any time anywhere“.

3) Kreativitas. “Ngantor bebas” dan “bebas ngantor” diharapkan akan memberikan kenyamanan lebih kepada pekerja, khususnya dalam menyeimbangkan antara kerja dan kesenggangan (work & leisure). Ujungnya tentu saja adalah meningkatnya kreativitas dan kinerja para karyawan.

Ke depan, sepintas tak akan terlihat antara seorang yang harusnya sibuk karena berbagai jabatan, dengan seorang pengangguran tak sebiji kerja formal pun ia pegang. [ ]

Penulis bisa dicolek pada akun goeska@gmail.com

Back to top button