Solilokui

Penunggu Kebun yang Pemurah

Abdullah bin Ja’far, terhenyak. Ia diakui oleh para sahabat yang lain, sebagai orang pemurah. Suka membantu orang lain. Namun dibandingkan dengan kemurahan penunggu kebun, kemurahannya selama ini amat tidak berarti.    

Oleh   : H.Usep Romli HM

Seekor anjing tersesat ke tengah kebun-kebun kurma Madinah, yang sedang berbuah. Jalannya gontai, lidahnya terjulur. Tak ada secuil pun makanan ditemukan selama menempuh perjalanan jauh sejak dua hari yang lalu.

Di dekat gerbang sebuah kebun, anjing itu benar-benar ambruk. Tak dapat lagi menahan lelah, lapar dan dahaga. Seorang penjaga berkulit hitam, melihat peristiwa  tersebut. Tergerak hatinya untuk menolong. Segera ia mengambil jatah makan siang yang dikirimkan pemilik kebun. Sekerat roti, sekerat  ikan dan semangkuk air.

Ia berjongkok. Meneteskan air ke mulut anjing yang sudah hampir pingsan itu. Setetes air yang disertai ketulusan hati pemberinya, membuat sang anjing mulai bertenaga kembali. Apalagi setelah setengah mangkuk air masuk ke tenggorokannya yang kering kerontang.   

“Anjing dari mana ini? Mungkin datang dari tempat jauh, sebab di sekitar sini tidak ada anjing seekor pun,” gumam penjaga kebun, sambil mengangsurkan secabik roti ke dekat mulut anjing. Hingga habis semua roti jatah makan siangnya. Tapi sang anjing masih kelihatan lapar. Setengah mangkuk air dan sekerat roti, baru mampu memulihkan tubuhnya saja.  Belum mampu mengusir rasa lapar.

Maka sekerat ikan yang ada, segera diberikan. Juga sisa setengah mangkuk air . Barulah sang anjing kelihatan bertenaga kembali dan cukup kuat untuk berdiri. Sang anjing mengibas-ibaskan ekornya, seolah-olah mengucapkan terimakasih kepada penjaga kebun yang pemurah itu. Jika dapat berbicara, sang anjing mungkin akan mengatakan :“Berkat kebaikanmu memberiku makan, aku selamat dari kematian akibat kelaparan.”

Peristiwa itu, disaksikan dari awal hingga akhir, oleh sahabat Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari  kebunnya yang berbatasan dengan kebun itu. Ia heran dan amat terkesan oleh sikap dan tindakan penjaga kebun tetangganya memberi makan anjing kelaparan. Segera ia datang ke situ, dan bertanya: “Wahai penjaga kebun, engkau memberikan jatah makan siangmu kepada anjing. Lantas apa yang akan engkau makan hingga selesai bekerja sore nanti?”

“Tidak ada. Karena majikanku hanya memberiku jatah makan siang sekali itu saja,”jawab penunggu kebun.

“Mengapa engkau berikan semua kepada seekor anjing, sementara engkau sendiri tak punya makanan lagi?”tanya Abdullah.

“Tidak apa. Aku masih kuat. Tidak merasa lapar.  Jika  anjing tadi mati kelaparan di sini, padahal aku punya makanan untuk menyelamatkannya dari kelaparan, tentu aku akan mendapat celaan di hadapan Mahkamah Allah SWT, kelak,”penunggu kebun memberi alasan.

Abdullah bin Ja’far, terhenyak. Ia diakui oleh para sahabat yang lain, sebagai orang pemurah. Suka membantu orang lain. Namun dibandingkan dengan kemurahan penunggu kebun, kemurahannya selama ini amat tidak berarti.    Hari itu juga, Abdullah menemui pemilik kebun. Membeli kebun itu dengan harga tinggi. Setelah selesai akad jual-beli, segera menyerahkan kebun bersama segala isinya kepada penunggu kebun yang murah hati itu.

“Aku memberikan kebun ini kepadamu, sebagai pertanda kemurahanku kepada orang-orang pemurah seperti engkau. Namun kemurahanku ini, masih amat tak berarti dibanding kemurahanmu memberikan semua jatah makan siangmu untuk menyelamatkan nyawa seekor anjing yang kelaparan,”kata Abdullah kepada penunggu kebun. [ ] Sumber : Ihya Ulumuddin, karya Imam Gazhali

Back to top button