Solilokui

“Percikan Agama Cinta”: Peradaban Kita Kian Kepayahan

Sebagai seorang anak yang lahir dari rahim keluarga pendidik, aku masih gagal paham dengan kebijakan menteri pendidikan Indonesia yang padahal lebih cocok jadi pengusaha.

JERNIH–  Saudaraku,

Seorang ibu di Lebak, Banten, tega membunuh anak kandungnya. Lantaran korban susah diajarkan saat belajar daring. Sungguh, inilah kabar paling menggemparkan sepanjang 2020. Sialnya, terjadi di negeri terindah di bumi. Tragis, miris, dan menggiris hati. Senin, 14 September itu, adalah hari di mana akal budi kita digedor dengan palu godam.

Deden Ridwan,jernih.co,mizan,
Deden Ridwan

Sebagai seorang anak yang lahir dari rahim keluarga pendidik, aku masih gagal paham dengan kebijakan menteri pendidikan Indonesia yang padahal lebih cocok jadi pengusaha. Bagaimanakah reaksinya mengetahui kabar duka itu? Sadarkah dirinya bila kejadian tersebut buah dari kebijakannya selama masa pandemi? Betulkah segala piranti belajar manusia kiwari harus terdigitalisasi melalui internet?

Kecelakaan fatal pendidikan era modern adalah, upaya mengukur derajat intelektualitas manusia dengan deretan angka. Pesantren, pun lembaga pendidikan yang semula hanya diperuntukkan mempelajari agama, juga latah mengadopsi monster pendidikan modern yang serba bias tersebut. Akhlak mulia yang seharusnya jadi tolok ukur keberhasilan seorang santri, kalah saing dengan matrikulasi nilai. Jagat dewa batara…

Kenapa kondisi kita jadi buruk rupa begini? Setelah kehidupan kita jadi sedemikian teknikal-teknologis, kebudayaan manusia pun bertolok ukur material. Peradaban kini benar-benar sangat menjemukan dan kepayahan. Semua itu bisa terjadi, lagi-lagi karena gerusan pendidikan yang sama sekali tak berpihak pada kemanusiaan. Melainkan hanya untuk mencetak kelas buruh model baru, atau sekelompok akademisi yang sibuk di menara gading, dan bahkan jauh dari kenyataan hidupnya sendiri.

Sejak di bangku sekolah, anak-anak manusia sudah dibuat bingung dengan beragam pelajaran yang membingungkan. Duabelas tahun di bangku sekolah, mereka akhirnya menghamba pada korporasi dengan selembar ijazah. Lantas  seluruh mata pelajaran yang telah diajarkan, menguap begitu sebab tak dapat diterapkan dalam kehidupan mereka. [Deden Ridwan]

Back to top button