Solilokui

Petani, Ibarat Raja Kehilangan Mahkota

Para produsen inilah yang kemudian memanipulasi diri menjadi “petani”. Menjadi “sahabat petani”, “pendorong kemajuan petani” dan lain-lain yang sangat berbau iklan. Sementara petani asli, petani “bulu taneuh” semakin terbenan ke dalam lumpur kemiskinan

Oleh   : Usep Romli HM

Sejak akhir 1960,  petani ibarat “raja kehilangan mahkota”. Tidak lagi punya kuasa atas tanah garapan sendiri, tidak lagi dapat menentukan tanaman apa yang ia inginkan, pupuk dan antihama apa yang akan ia gunakan, serta ke mana menjual hasilnya kelak.

Usep Romli HM

Tidak lagi menjadi “raja” yang dengan hasil buminya dapat menyejahterakan diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan bangsa dan negara, dengan kearifan budaya penyediaan pangan yang khas,  spesifik, spiritualistik, bahkan  ritualistik.

Tatkala menjadi “raja”, para petani dapat memelihara tradisi masa lampau, masa kini dan masa depan, dengan aneka macam tatacara, mulai dari istilah hingga pelaksanaan, yang serba rumit, namun mudah dimengerti kedalaman makna yang dikandungnya. Semua mengacu kepada prinsip “hirup hurip sugih mukti” (hidup senang lahir batin tidak kekurangan namun tidak berlebihan) , dan “neundeun miraweuy” (menyiapkan bekal masa depan). Tidak “awuntah” (boros) walaupun “bro di juru bro di panto ngalayah di tengah imah” alias berlebihan). Tapi tetap “ngirit” (hemat) menyimpan dan memelihara “sesa seubeuh” (merasa kenyang) untuk dimodalkeun kembali pada musim tanam mendatang.      

Siklus “basajan” (sederhana), terhapus begitu saja begitu muncul sistem pertanian “moderen” yang bertujuan mengejar nilai tambah dari hasil bumi. Menggalakkan intensitas dan insentifitas petanian, dengan menggalakkan pengolahan tanah tanpa henti, penebaran benih hasil rekayasa genetik dan bio-teknologi, serta penggunaan pupuk non-organik untuk menunjang produktivitas unsur hara tanah.

Akibat dari modernisasi tersebut, para pertani digenjot tanpa punya waktu istirahat kerja dan mengistirahatkan tanahnya dari eksploitasi sistem. Kehilangan unsur hara tanah yang begitu dahsyat setiap musim tanam, tidak dapat diimbangi oleh pemulihan kembali daya tanah tanah yang memadai.

Petani juga tak dapat dan tak sempat memproduksi benih dan penangkal hama serta penyakit buatan sendiri. Maka muncullah ketergantungan amat sangat kepada para produsen benih, pupuk dan obat-obatan non-organik.

Para produsen inilah yang kemudian memanipulasi diri menjadi “petani”. Menjadi “sahabat petani”, “pendorong kemajuan petani” dan lain-lain yang sangat berbau iklan. Sementara petani asli, petani “bulu taneuh” semakin terbenan ke dalam lumpur kemiskinan, karena tidak lagi memiliki kedaulatan terhadap lahan pertanian, bibit, pupuk, obat-obatan, yang sudah berada di tangan kekuasaan para produsen, distributor dan pengecer yang rata-rata menjalankan praktek ijon.

Sebagai contoh nyata, terjadi di Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Tahun 2000-an, tanaman jambu batu (kulutuk), di atas ratusan hektare tanah produktif, dibabat habis, karena hendak digantikan dengan tanaman jagung bibit unggul produk sebuah merek terkenal. Pada tahun-tahun pertama, memang sukses. Panen perdana menjadi “head-line”  berita media massa. Tentu saja, Bupati, dan Kepala Dinas Pertanian setempat, mendapat sanjung puji, tanpa seorang pun mempersoalkan berapa insentif yang mereka terima dari produsen benih atas keberhasilan “menjual” sekian ton bibit jagung kepada para petani yang semula mengusahakan jambu kulutuk. 

Tapi musim-musim selanjutnya, para petani mulai  kecewa. Tanaman jagung hibrid tersebut, setelah dipanen, ternyata memerlukan perlakuan khusus yang membutuhkan waktu dan tenaga sangat banyak. Mulai dari mengupas, memereteli biji dari tongkol, mengeringkan, memasukkan ke dalam wadah (karung), agar mendapat harga cocok. Sedangkan harga jual/beli , berada di tangan para tengkulak yang lebih dulu telah memasok benih, pupuk dan obat-obatan, serta bekal hidup sehari-hari kepada para petani.

Harga jual amat rendah tidak termasuk ongkos pemeliharaan pasca-panen. Padahal ketika menanam jambu kulutuk, para petani merasa lebih ringan. Tinggal petik saja.  Bahkan mereka dapat memajang dagangan masing-masing di pinggir jalan yang kebetulan berada di jalur wisata Situ Bagendit. Buah jambu kulutuk juga diperlukan oleh pabrik pembuat obat anti diare dan anti demam berdarah.

Juga jenis jagung hibrida, tidak dapat menjadi bahan konsumsi sebagai makanan pengganti. Tidak dapat diolah langsung sebagai cadangan persediaan pangan di musim paceklik, seperti  “emping”, “boder”, “kejo jagong” dan lain-lain, seperti dari jagung lokal biasa. Sebab dari sananya sudah dirancang hanya untuk dijual. Bukan untuk dimakan. Untuk komoditas perputaran keuntungan produsen, bukan untuk menyejahterakan petani.

Demikian pula padi. Petani hanya sekedar “dititipi” menanamkannya, dan diam-diam dikorbankan dalam pusaran pertarungan kaum pemodal yang tidak punya “rasrasan” (simpati kemanusiaan). Semua bersumber dari “mencari kesejahteraan”, yang sudah diwarisi turun-temurun di kalangan para petani,  menjadi “mencari untung” yang dimiliki para pemodal dengan mengorbankan kehidupan petani dan sistem pertanian.

Begitulah, di tengah ancaman rawan pangan global, petani menjadi “raja kehilangan mahkota”. Bahkan menjadi “sahaya” hina dina tak berdaya setelah tanah garapan merela beralih fungsi menjadi lahan industri, perumahan, dlsb. [  ]

Back to top button