Solilokui

‘Stay At Home’ Ala Syekh Juha

Oleh :  Usep Romli H.M.

Tinggal di rumah, ternyata bukan masa sekarang saja, tatkala virus Covid-19 merebak.  Tapi dialami juga oleh Juha, seorang tokoh humor Timur Tengah abad pertengahan. Sezaman dengan Nasruddin Khoja dan Hani al Arabi. Anekdot-anekdotnya lucu menyegarkan. Mengeritik kesenjangan social pada masa masing-masing.

H Usep Romli HM

Sebagai tokoh humor (fiksi atau nyata), Juha, serta Nasruddin dan Hani, dapat disejajarkan dengan Kabayan di Tatar Sunda, Man Doblang di Jawa, Pan Balang Tamak di Bali, Lebai Malang di Melayu. Atau Baron van Munchausen di Jerman.

Anekdot-anekdot Juha telah banyak dihimpun berbentuk buku, baik dalam bahasa Arab, Turki, maupun Inggris, Jerman, Perancis, dll. Dijadikan bahan studi sastra dan filsafat di beberapa perguruan tinggi Arab dan Eropa.  Salah satu di antaranya “Nawadir Juha al Kubra” susunan Hakamat Syarif at Tarablus (Beirut, 1989), yang dijadikan acuan tulisan ini.

Juha sering tinggal di rumah. Ia penganggur akut. Paling ke luar, jika ingin memancing. Jika pulang memancing dengan  hampa tangan, tak memperoleh seekor ikanpun, ia berdalih :  “Ikan-ikan tak keluar dari rumahnya. Mereka “lockdown”. Jika tidak, mungkin mereka pemalas seperti aku”.

Nah,suatu hari  Juha berkeluh-kesah kepada seorang tetangga dekat : “Aku sudah lama ingin makan goreng-gorengan. Bala-bala, umpananya.”

“Tinggal ke pasar. Beli banyak-banyak, “kata tetangganya.

“Masalahnya, aku tak punya uang.”

“Ya lebih baik bikin sendiri saja, biar puas.”

 “Bikin bagaimana? Kan bahan bala-bala itu perlu tepung, sayuran, garam, dan lain-lain dan minyak goreng. Itu semua aku tak punya.”

Seminggu kemudian, Juha ngobrol lagi dengan tetangganya, masih tentang bala-bala:

“Kemarin aku punya tepung, sayuran, bumbu, minyak goreng. Tapi belum bisa membuat  bala-bala yang kuinginkan.”

“Mengapa?”

“Tak ada kayu bakar untuk menyalakan tungku.”

Keesokan harinya, Juha pulang dari memancing larut senja. Tetangganya mengabarkan :

 “Kulihat tadi istrimu membawa kabur. Sekarang kau jadi makan bala-bala.”

“Waduh !”Juha memukul keningnya. Tepung ada, sayuran ada, bumbu ada, minyak goreng ada, tapi sayang aku tidak ada. Berarti bala-bala juga tak akan ada.”

                                                                     ***

Tetangga Juha dikenal sebagai suami takut istri. Segala tindakannya harus atas perintah dan sepengetahuan istrinya.

Suatu hari, ia makan ayam goreng di beranda depan. Juha tergiur melihatnya. Lalu mencoba  meminta sedikit.

 “Tidak bisa, “jawab tetangganya. “Kata istriku, goreng ayam ini harus dihabiskan sendiri,”jawab tetangganya.

“Mengapa kau makan di beranda. Sehingga terlihat olehku. Membuat aku tergiur?”

 “Ini perintah istriku. Ia melarangku makan di dapur, karena tak akan terlihat orang lain. Ia menyuruhku makan di beranda, agar orang-orang tahu, aku makan ayam goreng.”

                                                              ***

Tak ada lagi barang di rumah Juha, yang dapat dijual untuk pembeli bahan makanan.Kecuali selembar tikar butut yang telah sobek-sobek, tempat ia tidur.

“Tapi siapa tahu, ada orang yang berminat membelinya,”kata Juha sambil bangkit. Berjalan ke pasar menawarkan tikar bututnya.

 “Tak akan ada orang yang mau membeli tikar butut sobek-sobek begitu, Juha,”kata seseorang.

Juha melotot. Berkata keras : “Hai kawan, hati-hati bicara. Jika kau tak berminat membeli, jangan menjelek-jelek jualan orang lain. Aku yakin tak ada sehelai tikar pun di dunia, yang mirip tikarku ini.”  [   ]    

Back to top button